Jakarta, CNBC Indonesia - Harga Bahan Bakar Minyak (BBM) di dalam negeri diperkirakan bakal naik tajam. Hal tersebut menyusul memanasnya konflik antara Iran dan Israel, terutama jika Selat Hormuz, jalur vital ekspor minyak global terganggu.
Mantan Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Periode 2016-2019, Arcandra Tahar mengungkapkan bahwa ketegangan geopolitik di Timur Tengah sekali lagi menunjukkan betapa sensitifnya harga minyak global terhadap konflik yang terjadi.
"Gejolak di Timur Tengah kembali terjadi. Kali ini antara Israel dan Iran. Seolah-olah ketidakstabilan kawasan ini sudah direncanakan untuk tidak pernah ada. Tentu kita semua bertanya-tanya kenapa kestabilan di Timur Tengah merupakan barang mahal dan susah didapat?," tulis Arcandra dikutip dari akun Instagramnya, Senin (23/6/2025).
Arcandra menilai bahwa peristiwa penyerangan Israel terhadap Iran pada 13 Juni 2025 langsung direspons pasar dengan lonjakan harga minyak mentah dunia jenis Brent, dari yang semula di awal Juni US$ 65 per barel menjadi US$ 73 di pertengahan Juni.
"Sekali lagi kita diingatkan akan volatilitas harga minyak mentah dunia. Satu peristiwa bisa mengubah harga minyak mentah dalam sekejap," katanya.
Ia lantas mencontohkan gejolak harga minyak mentah untuk tahun ini. Misalnya saja, ketika Presiden Trump mengumumkan kenaikan tarif impor pada tanggal 9 April 2025, harga minyak mentah Brent turun dari US$ 76 per barel menjadi US$ 65 per barrel dua bulan kemudian. Begitu juga dengan serangan Israel ke Iran, harga minyak mentah langsung naik.
Dengan ketegangan yang terus masih berlangsung dan potensi gangguan distribusi energi global, lagi-lagi masyarakat harus bersiap menghadapi kemungkinan lonjakan harga BBM domestik pada awal Juli mendatang.
Sebagaimana diketahui, harga minyak dunia melemah pada perdagangan Jumat pagi (20/6/2025), setelah Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengindikasikan keputusan terkait aksi militer ke Iran baru akan diambil dalam dua pekan ke depan. Sentimen ini meredakan kekhawatiran pasar atas potensi serangan dalam waktu dekat.
Berdasarkan data Refinitiv pukul 09:45 WIB, harga minyak Brent kontrak Agustus turun ke level US$76,90 per barel, sementara West Texas Intermediate (WTI) menguat tipis ke US$75,61 per barel. Ini menandai koreksi dari reli tajam sehari sebelumnya, di mana Brent sempat ditutup melonjak hampir 3% ke US$78,85 per barel.
Volatilitas pasar minyak pekan ini sangat tinggi, dengan pergerakan harga dalam rentang hampir US$8. Data Bloomberg menyebutkan, ekspektasi opsi sempat seagresif saat invasi Rusia ke Ukraina. Namun, pernyataan juru bicara Gedung Putih Karoline Leavitt bahwa "negosiasi dengan Iran masih memiliki peluang substansial" membuat pasar menurunkan premi risiko serangan.
"Komentar Leavitt mengurangi urgensi dari pasar. Setidaknya untuk saat ini, harga tetap akan berada di rentang sangat fluktuatif US$70-US$80 per barel," kata Robert Rennie, Kepala Riset Komoditas Westpac kepada NDTV.
Di sisi lain, ketegangan tetap tinggi. Israel terus melancarkan serangan ke fasilitas nuklir Iran, walau hingga kini belum berdampak langsung pada infrastruktur ekspor minyak. Namun, indikasi bahwa Iran mempercepat pengiriman ekspor-terlihat dari penuhnya terminal Kharg Island-menggambarkan situasi yang masih dinamis.
Pasar juga tetap memantau Selat Hormuz, jalur vital pengiriman energi dunia di mana sekitar 20% suplai minyak global melewati kawasan sempit ini. Hingga saat ini, belum ada tanda-tanda gangguan dari Iran terhadap pelayaran.
(pgr/pgr)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Genjot Minyak! Trump Siap Drill Baby Drill, SKK Migas Punya Jurus Ini