RI Rentan Terkena Dampak Negatif Perang, Ini Risikonya

5 hours ago 1

Jakarta, CNBC Indonesia - Semakin panasnya perang di Timur Tengah, antara Israel dan Iran, ditambah dengan keterlibatan Amerika Serikat (AS), diperkirakan akan berdampak negatif pada Indonesia.

Pasalnya, ini akan berdampak pada melonjaknya harga minyak mentah dunia. Indonesia sebagai negara net impartir minyak tentunya akan dirugikan.

Analis Energi Institute of Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) Putra Adhiguna mengungkapkan konflik yang terjadi di Timur Tengah tersebut memicu peningkatan harga minyak mentah dunia, bahkan sejak serangan awal Israel ke Iran.

"Harga minyak sudah merangkak naik semenjak serangan awal Israel dan dengan terlibatnya AS resiko semakin memuncak, terlebih dengan saling merusak fasilitas produksi migas, termasuk lapangan gas South Pars di Iran," jelasnya kepada CNBC Indonesia, Senin (23/6/2025).

Dengan ditambahnya penutupan Selat Hormuz oleh Iran, ini bisa menghambat laju transportasi minyak dan gas bumi (migas) internasional. Ditambah, Selat Hormuz ini memiliki peran terhadap 20% jalur perlintasan migas dunia.

"Lebih dari produksi Iran, resiko tersendatnya perdagangan melalui selat Hormuz memiliki peranan sangat besar tempat melintasnya sekitar 20% minyak dunia. Selat ini juga sangat penting karena dapat dilalui oleh tanker-tanker raksasa yang tidak mudah melalui jalur lain," paparnya.

Khususnya bagi Indonesia, lanjutnya, Selat Hormuz ini juga tempat lalu lintas impor minyak mentah, Bahan Bakar Minyak (BBM), dan Liquefied Petroleum Gas (LPG) yang berasal dari negara-negara Timur Tengah. Bila ini terjadi gangguan, maka dikhawatirkan pasokan energi dalam negeri juga akan terhambat.

Dengan lonjakan harga minyak dunia dan potensi gangguan pasokan, pada akhirnya ini juga berpotensi membuat Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) akan semakin membengkak.

"Resiko peningkatan subsidi semakin membengkak dan lagi-lagi mengingatkan pentingnya Indonesia bergeser menuju kendaraan listrik. Biaya yang membengkak tersebut akan membebani kantong masyarakat ataupun APBN," terangnya.

Oleh karena itu, menurutnya penting bagi pemerintah untuk segera mencari jalan keluar terhadap potensi kenaikan harga BBM dan LPG. Salah satunya, dengan program elektrifikasi, baik untuk sektor transportasi maupun konsumsi rumah tangga, yang dinilai bisa meringankan beban APBN.

"Hal seperti ini terus berulang dan memerlukan cara pandang yang lebih jauh - terus berusaha mengganti peran BBM dan LPG dengan elektrifikasi kendaraan dan dapur, serta membuat cadangan BBM yang lebih kuat," tandasnya.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia mengimpor minyak dan gas bumi (migas) sebesar US$ 36,27 miliar pada 2024, naik dari US$ 35,83 miliar pada 2023.

Impor migas sepanjang 2024 tersebut terdiri dari impor minyak mentah yang tercatat mencapai US$ 10,35 miliar, turun tipis dari US$ 11,14 miliar pada 2023. Kemudian, impor produk minyak seperti Bahan Bakar Minyak (BBM) tercatat mencapai US$ 25,92 miliar, naik dari US$ 24,68 miliar pada 2023.

Adapun asumsi harga minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Price/ ICP) pada APBN 2025 sebesar US$ 82 per barel. Sementara produksi terangkut (lifting) minyak pada APBN 2025 ditetapkan sebesar 605.000 barel per hari (bph).

Harga Minyak Dunia Melonjak

Asal tahu saja, harga minyak dunia melonjak tajam pada perdagangan Senin pagi (23/6/2025) setelah Iran secara resmi menutup Selat Hormuz, menyusul serangan udara Amerika Serikat (AS) terhadap tiga fasilitas nuklir utama Iran, Fordow, Natanz, dan Isfahan.

Mengacu data Refinitiv pada pukul 08:30 WIB, harga minyak Brent untuk kontrak terdekat naik 2,69% menjadi US$79,08 per barel. Sementara itu, WTI menguat 1,23% ke US$75,85 per barel.

Kenaikan ini memperpanjang reli minyak dalam sepekan terakhir. Sejak 12 Juni 2025, harga Brent sudah melonjak hampir 14%, dari level US$69,36.

Kenaikan harga minyak dipicu oleh keputusan Iran menutup Selat Hormuz, jalur laut sempit yang menjadi penghubung Teluk Persia dengan Laut Arab dan merupakan satu-satunya akses keluar masuk minyak dari kawasan Teluk.

Langkah ini diambil setelah AS melancarkan serangan udara presisi menggunakan jet siluman B-2 terhadap tiga situs nuklir penting milik Iran pada Sabtu malam waktu setempat. Presiden Donald Trump menyebut operasi ini sukses besar dan memperingatkan akan adanya respons lebih besar jika Iran membalas.

"Kami telah menjatuhkan bom penuh ke situs utama Fordow. Semua pesawat telah keluar dari wilayah udara Iran dan kembali dengan selamat," ujar Trump melalui Truth Social.

Sebagai informasi, hampir 20% pasokan minyak global dan sebagian besar LNG dunia melewati Selat Hormuz. Ketegangan di wilayah ini dikhawatirkan akan mengganggu pasokan dan mendorong lonjakan harga minyak global lebih lanjut.

Penutupan Hormuz meningkatkan ketidakpastian pasokan di tengah pasar yang sebelumnya sudah sensitif terhadap konflik di Timur Tengah. Analis memperkirakan jika penutupan berlangsung lebih dari beberapa hari, harga minyak bisa menembus US$85 bahkan US$90 dalam jangka pendek.

Menurut Goldman Sachs dan firma konsultan Rapidan Energy, harga minyak dapat melonjak di atas US$ 100 per barel jika selat tersebut ditutup untuk waktu yang lama. Analis JPMorgan menilai risiko Iran menutup Hormuz rendah karena AS akan menganggap tindakan tersebut sebagai deklarasi perang.

Iran adalah produsen minyak terbesar ketiga di OPEC, yang menghasilkan 3,3 juta barel per hari. Iran mengekspor 1,84 juta barel per hari bulan lalu.

Menurut Kpler, sebagian besar minyak Iran dijual ke China. Sekitar setengah dari impor minyak mentah China melalui perairan berasal dari Teluk Persia.

"Itu akan menjadi luka yang ditimbulkan sendiri: menutup Selat itu akan menghentikan aliran ekspor minyak mentahnya ke China, menghentikan aliran pendapatan utama," kata Matt Smith, analis minyak utama di Kpler.


(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Harga Minyak Mentah ICP di Januari Naik Jadi US$ 76,81 per barel

Read Entire Article
Kepri Bersatu| | | |