Rare Earth Elements: Senjata Baru Diplomasi Indonesia

5 hours ago 2

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Di era teknologi tinggi yang bergerak cepat, perang bukan lagi hanya soal minyak atau gas. Kini, kompetisi global diam-diam bergeser ke medan baru yang lebih sunyi namun memegang peran penting: elemen mineral kritis, terutama logam tanah jarang atau rare earth elements (REE).

Mulai dari baterai kendaraan listrik, panel surya, radar militer, hingga ponsel pintar, semuanya bergantung pada REE. Namun, ironisnya, kendali atas rantai pasok global dari elemen-elemen vital ini kini berada di tangan segelintir negara saja, dengan China sebagai penguasa utama.

Di tengah realitas ini, Indonesia sesungguhnya duduk di atas kekayaan yang belum sepenuhnya dikenali. Cadangan logam tanah jarang Indonesia tersebar dari Bangka Belitung, Kalimantan Barat, Sulawesi Tengah hingga Papua.

Namun sejauh ini, sebagian besar hanya ikut tertambang sebagai residu dari penambangan timah atau bauksit. Ketika dunia makin mengkhawatirkan ketergantungan terhadap pasokan dari China, inilah saatnya Indonesia menyusun strategi besar: membangun kedaulatan REE dengan membentuk cadangan strategis mineral kritis nasional.

Langkah ini bukan soal proteksionisme sempit, melainkan jawaban atas tren global yang sangat strategis. Amerika Serikat melalui Defense Production Act, Uni Eropa dengan Critical Raw Materials Act, Jepang dengan program pendanaan eksplorasi luar negeri-semuanya bergerak menuju satu tujuan: memastikan keberlanjutan pasokan REE dan mineral kritis demi keamanan nasional dan masa depan teknologi mereka. Indonesia perlu turut menanggapi kondisi ini dengan cepat dan tepat.

Kita perlu menyadari bahwa mineral kritis bukan sekadar komoditas ekspor, melainkan komponen fundamental dari kedaulatan ekonomi dan teknologi. Tanpa logam seperti neodymium, dysprosium, praseodymium, dan terbium, Indonesia tidak akan mampu membangun industri strategisnya sendiri, dari energi terbarukan, pertahanan, otomotif hingga digitalisasi. Jika mineral ini sepenuhnya diekspor dalam bentuk mentah dan tanpa kendali negara, maka kita tengah menyerahkan masa depan industri nasional kepada tangan asing.

Kedaulatan atas REE harus dimulai dari identifikasi yang menyeluruh. Saat ini, data nasional mengenai cadangan REE masih sangat terbatas dan tidak terintegrasi. Perlu ada kebijakan eksplorasi khusus yang digerakkan oleh negara untuk memetakan secara perinci potensi logam tanah jarang di Indonesia. Ini bukan hanya kerja geologi, tapi kerja peradaban. Karena dari sinilah kita akan menentukan arah industri dalam 50 tahun ke depan.

Setelah pemetaan, langkah berikutnya adalah pengaturan status hukum mineral kritis. Pemerintah perlu secara resmi menetapkan REE sebagai komoditas strategis nasional. Dengan status ini, negara memiliki dasar untuk mengatur tata kelola produksi, ekspor, cadangan nasional, dan insentif bagi industri hilir. Status ini juga akan memberi arah yang lebih tegas dalam penataan izin tambang-agar tidak semua REE lepas ke pasar bebas, terutama saat harga global naik dan memicu eksploitasi liar.

Lalu, bagaimana mekanisme cadangan strategis ini dibangun?
Indonesia dapat belajar dari model cadangan strategis energi dan pangan yang telah diterapkan di banyak negara. Sama seperti cadangan beras atau BBM, cadangan strategis REE dapat berbentuk logam murni, konsentrat, bahkan bentuk intermediary yang disimpan di gudang negara atau zona industri tertentu. Tujuannya jelas: menjamin ketersediaan pasokan untuk kebutuhan industri dalam negeri, terutama saat pasar global terganggu.

Cadangan strategis ini bukan berarti semua REE harus disimpan dan dilarang diekspor. Sebaliknya, REE justru menjadi objek strategis nasional yang harus dikelola secara bijak.

Negara bisa menetapkan batas ekspor minimum, atau menyusun mekanisme ekspor swap dengan negara mitra, di mana ekspor REE hanya dilakukan untuk pertukaran teknologi, investasi pemurnian, atau alih pengetahuan. Dengan begitu, ekspor tetap berlangsung, tapi ada nilai strategis yang ditukar balik untuk bangsa.

Lebih jauh lagi, REE bisa dijadikan bagian dari diplomasi mineral modern. Dalam dunia yang kian kompetitif, Indonesia harus cerdas menjadikan cadangan mineralnya sebagai alat tawar dalam negosiasi dagang dan teknologi.

Misalnya, negara-negara yang ingin mendapatkan akses REE dari Indonesia harus bersedia membangun fasilitas pemrosesan di dalam negeri, berbagi teknologi ekstraksi ramah lingkungan, atau menjalin kerja sama litbang jangka panjang. Ini akan mempercepat penguasaan teknologi hilir oleh anak bangsa.

Namun, semua strategi ini akan sia-sia tanpa dukungan infrastruktur dan kebijakan insentif. REE dikenal sebagai logam yang sulit dipisahkan, memiliki proses pemurnian yang kompleks dan menghasilkan limbah yang berbahaya jika tidak dikelola dengan baik.

Maka, pemerintah harus menyiapkan kawasan industri khusus dengan fasilitas pemrosesan dan limbah terintegrasi yang memenuhi standar lingkungan. Perlu pula investasi dalam pelatihan SDM dan litbang agar kita tidak terus bergantung pada teknologi luar.

Dalam hal ini, keberadaan BUMN atau lembaga khusus seperti "Badan Strategis Mineral Kritis" bisa menjadi solusi kelembagaan. Badan ini bertugas mengatur cadangan, menyusun kebijakan ekspor, menjalin kerja sama luar negeri, serta mengelola basis data REE nasional. Dengan peran koordinatif dan otoritatif, badan ini dapat menyinergikan kementerian terkait seperti ESDM, Perindustrian, BUMN, Luar Negeri, hingga BRIN agar dapat berkolaborasi dan bergerak beriringan.

Lebih jauh lagi, strategi cadangan strategis REE dapat diintegrasikan dalam kerangka besar transisi energi nasional. Turbin angin, baterai kendaraan listrik, dan sistem penyimpanan energi membutuhkan REE dalam jumlah besar. Jika Indonesia ingin menjadi pemain utama dalam rantai pasok energi bersih dunia, maka kita harus mengamankan bahan mentahnya terlebih dahulu. Kegagalan dalam mengelola REE adalah kegagalan dalam membangun kemandirian energi bersih.

Narasi besar tentang kedaulatan mineral kritis ini juga harus dibawa ke forum-forum internasional. Dalam G20, ASEAN, atau IPEF, Indonesia bisa memimpin pembentukan mekanisme kerja sama lintas negara dalam pengelolaan REE yang transparan, berkelanjutan, dan berkeadilan. Kita bisa menawarkan model governance baru, di mana negara-negara penghasil mineral tidak lagi sekadar penambang, tapi juga pemegang kendali atas masa depan industri global.

Momentum untuk bergerak ada sekarang. Dunia sedang bergejolak karena ketidakpastian geopolitik, krisis pasokan, dan ketegangan ekonomi antara kekuatan besar. Indonesia harus menempatkan REE sebagai bagian dari strategi ketahanan nasional, bukan hanya dari sisi ekonomi, tapi juga teknologi, diplomasi, dan ekologi. Karena dalam dunia baru yang didorong oleh energi bersih dan teknologi tinggi, negara yang menguasai mineral kritis adalah negara yang menguasai masa depan.

Rare-earth sovereignty bukan sekadar istilah teknis. Ia adalah manifestasi dari semangat berdikari dalam bentuk paling mutakhir. Dari yang dulunya kita tergantung pada ekspor minyak atau batu bara, kini kita punya kesempatan untuk membalikkan peta: dari penyuplai dunia menjadi pengatur tempo. Tapi semua itu hanya bisa terjadi jika kita berani menyusun langkah hari ini, untuk masa depan yang tidak hanya bersih, tapi juga berdaulat.


(miq/miq)

Read Entire Article
Kepri Bersatu| | | |