Ekonomi Sirkular: Jalan Keluar dari Kontradiksi Pertumbuhan dan Emisi

3 hours ago 2

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto Djojohadikusumo dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka terus berupaya mengejar pertumbuhan ekonomi tinggi. Namun, Indonesia masih terpaku pada satu indikator utama: Produk Domestik Bruto (PDB).

Sayangnya, PDB hanya menghitung seberapa banyak kita memproduksi dan mengonsumsi, tanpa memperhitungkan kerusakan lingkungan atau ketimpangan sosial yang terjadi dalam prosesnya.

Oleh karena itu, menurut hemat penulis, sudah saatnya kita mempertimbangkan pendekatan baru, yaitu model ekonomi sirkular. Dalam sistem ini, barang dan material dirancang agar dapat digunakan kembali, diperbaiki, atau didaur ulang.

Sebagai contoh, pakaian bekas bisa dijual kembali, peralatan elektronik bisa diperbaiki, dan kemasan bisa dimanfaatkan ulang. Pendekatan tersebut tidak hanya ramah lingkungan, akan tetapi juga membuka peluang bisnis baru serta efisiensi biaya operasional bagi para pelaku usaha.

Model tersebut juga sangat sesuai dengan kondisi Indonesia. Banyak sektor informal seperti tukang servis, pasar barang bekas, dan pelaku daur ulang sudah eksis secara alami.

Tantangannya adalah mengoptimalkan mereka menjadi bagian dari sektor formal yang produktif dan berdaya saing. Sebuah pekerjaan yang memerlukan kolaborasi berbagai kalangan.

Secara global, pendekatan sirkular berpotensi menurunkan emisi karbon hingga 39 persen dan mengurangi penggunaan material baru sebesar 28 persen (Circularity Gap Report, 2023).

Di dalam negeri, Indonesia menghasilkan lebih dari 18 juta ton limbah nonorganik setiap tahunnya, termasuk limbah tekstil, plastik, dan elektronik. Ini merupakan potensi ekonomi besar jika dikelola dengan pendekatan sirkular.

Pengalaman dari implementasi Paris Agreement (Perjanjian Paris) yang disahkan pada tanggal 12 Desember 2015 pada Konferensi Perubahan Iklim PBB (COP21) di Paris, Prancis, menunjukkan bahwa negara berkembang menghadapi kesulitan dalam menurunkan emisi jika pertumbuhan ekonomi tetap hanya diukur dari sisi PDB.

Penulis menilai kita membutuhkan indikator yang lebih adil dan mencerminkan realitas negara berkembang. Untuk itulah ekonomi sirkular hadir.

Ekonomi sirkular dapat tampil sebagai solusi yang memadukan pertumbuhan dengan keberlanjutan. Ini bukan soal memilih salah satu dan mengorbankan yang lain, melainkan bagaimana keduanya bisa berjalan beriringan.

Pemerintah, dunia usaha, dan sektor pendidikan memiliki peran penting dalam mendorong transisi ini. Kita tidak harus menghentikan pertumbuhan ekonomi, melainkan mengarahkannya ke jalur yang lebih bijak dan berkelanjutan.


(miq/miq)

Read Entire Article
Kepri Bersatu| | | |