Jakarta, CNBC Indonesia - Keterlibatan Amerika Serikat dalam konflik antara Iran dengan Israel menambah ketidakpastian global. Kondisi ini bukan hanya berdampak pada kenaikan harga minyak dunia, namun juga perekonomian negara-negara berkembang seperti Indonesia.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira menilai serangan langsung yang dilakukan AS ke Iran untuk pertama kalinya memunculkan kekhawatiran yang cukup serius, terutama atas potensi meluasnya konflik di wilayah tersebut.
"Situasi nya akan menyebabkan terganggunya distribusi migas dan berbagai bahan baku melalui Selat Hormuz. Estimasi harga minyak mentah menyentuh US$ 80-83 per barrel dalam waktu dekat, setidaknya awal Juli 2025. Meski permintaan energi saat ini sedang turun, tapi konflik bisa mendorong naiknya harga minyak signifikan," kata Bhima kepada CNBC Indonesia, Senin (23/6/2025).
Ia lantas menyoroti dampak konflik terhadap pasar mata uang. Bhima menilai perhatian terhadap konflik Timur Tengah bisa menjadi blessing in disguise bagi rupiah, karena kepercayaan terhadap dolar AS mulai menurun.
"Sejak awal tahun dollar index sudah turun 8,95% ke level 98,7 menunjukkan makin tak berdaya dollar AS terhadap mata uang lainnya. Investor justru menghindari aset dolar dan pindah ke aset safe haven lainnya," katanya.
Namun, ia mengingatkan agar pemerintah Indonesia juga tetap waspada. Pasalnya, lonjakan harga minyak mentah akan berdampak langsung terhadap biaya impor BBM yang semakin tinggi, dan berpotensi memicu inflasi pada harga-harga yang diatur pemerintah, di tengah lesunya daya beli masyarakat.
"Yang harus diperhatikan pemerintah adalah lonjakan biaya impor bbm akan sebabkan inflasi harga yang diatur pemerintah melonjak, tapi disaat daya beli lesu," kata Bhima.
Menurut dia, hal ini bukanlah inflasi yang baik. Pasalnya, begitu harga BBM naik, efeknya akan langsung diteruskan ke pelaku usaha dan konsumen. Akibatnya, pertumbuhan konsumsi rumah tangga bisa melambat.
Lebih lanjut, Bhima memperkirakan apabila konflik berlangsung lebih lama, pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini bisa saja hanya akan mencapai 4,5% secara tahunan (year-on-year), jauh dari target optimistis pertumbuhan ekonomi 8%.
"Proyeksinya jika perang berlangsung lebih lama ekonomi Indonesia hanya akan tumbuh 4,5% year on year tahun ini. Makin berat mencapai target 8% pertumbuhan ekonomi karena situasi eksternal nya terlalu berat, ditambah adanya efisiensi anggaran pemerintah," ujarnya.
(pgr/pgr)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article
Trump Menggila, Detik-Detik Houthi Yaman Dibombardir Serangan Udara AS