Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Dunia atau World Bank mencatat tenaga kerja Indonesia hingga kini mayoritas masih terus bekerja di sektor produktivitas rendah. Misalnya, di sektor jasa, agrikultur, perdagangan, hotel dan restoran, hingga manufaktur bernilai tambah minim.
Lead Economist World Bank Indonesia dan Timor Leste Habib Rab mengatakan, jumlah tenaga kerja di sektor yang hanya menghasilkan nilai tambah Rp 8 juta per bulan per orang mencapai 69%.
Lalu, 21% pekerja yang bekerja di sektor produktivitas menengah ke bawah dengan nilai tambah sekitar Rp 17-19 juta per bulan per orang, dan hanya 10% yang bekerja di sektor usaha berproduktivitas tinggi atau yang menghasilkan Rp 24 juta per orang per bulan.
"Jadi pada tahun 2024, 69% pekerja di Indonesia bekerja di kegiatan yang menghasilkan kurang dari Rp 8 juta rupiah per bulan dalam nilai tambah per pekerja," kata Habib dalam acara peluncuran Indonesia Economic Prospects edisi Juni 2025 di Jakarta, Senin (23/6/2025).
Habib menjelaskan, sebetulnya sejak tahun lalu Bank Dunia telah memperingatkan masalah ini. Namun, pemerintah belum mampu memperbaiki kondisinya, seiring masih banyaknya tenaga kerja Indonesia yang terperangkap bekerja di sektor informal dengan bayaran yang minim dan tidak memiliki jaminan kestabilan kerja atau job security.
Bank Dunia mencatat hampir 60% tenaga kerja Indonesia mencari nafkah di sektor informal. Diperburuk dengan peningkatan jumlah pekerja yang terdampak pemutusan hubungan kerja (PHK) atau kehilangan pekerjaan dari Januari 3.325 menjadi 18.610 pada 2025 ini.
Jumlah pekerja yang kehilangan pekerjaan terkonsentrasi di Jawa Tengah, DKI Jakarta, dan Riau, wilayah yang dikenal dengan industri manufakturnya. Sebagian besar kehilangan pekerjaan terjadi di industri tekstil, alas kaki, dan elektronik, dengan sedikitnya 10 perusahaan manufaktur tutup pada Q1-25 berdasarkan data dari Kementerian Perindustrian.
"Bahkan, jumlah pekerja dengan penghasilan kelas menengah menurun dari 14% pada 2019 menjadi 8% pada 2024. Ini menunjukkan semakin banyak pekerja terkonsentrasi di sektor bernilai tambah rendah, termasuk pertanian. Artinya, semakin sedikit pekerja yang mampu mencapai standar hidup kelas menengah," kata Habib.
Habib menganggap, masalah ketenagakerjaan ini menjadi salah satu pemicu utama terus melambatnya tren konsumsi rumah tangga di Indonesia, sebab hanya ditopang oleh 10% kelas atas.
"Pertumbuhan konsumsi kelas menengah hanya 1,3% per tahun, lebih rendah dari kelompok 40% termiskin, dan pertumbuhan konsumsi 10% kelompok terkaya jauh lebih cepat, sehingga kelas menengah justru makin tertinggal. Ini tantangan besar bagi Indonesia," ucap Habib.
"Padahal, pertumbuhan kelas menengah adalah indikator pasar yang berkembang untuk memproduksi barang dan jasa yang lebih canggih, yang mendorong pertumbuhan ekonomi lebih cepat," tegasnya.
(arj/mij)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Video: Ratusan Ribu Sarjana di Indonesia Menganggur