Pekan Kelabu! IHSG dan Rupiah Dihantam Perang Israel-AS vs Iran

5 hours ago 1

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan Rupiah langsung dibuka drop pada perdagangan Senin pagi hari ini (23/6/2025) merespon ketegangan geopolitik yang semakin meluas gara-gara Amerika Serikat (AS).

IHSG pagi ini sampai pukul 09.25 WIB dibuka turun signifikan 1,62% ke posisi 6.795.53. Jika ditutup koreksi lagi, IHSG akan menandai empat hari beruntun di zona merah dan mengakumulasi penyusutan dalam sebulan terakhir sampai 4,16%

Koreksi tersebut semakin menghapus penguatan kencang yang terjadi pada Mei lalu sebanyak lebih dari 6%, serta menandai posisi terendah dalam sebulan terakhir.

Rupiah juga anjlok signifikan pagi ini, sampai pukul 09,30 WIB pagi ini, mata uang Garuda bertengger di Rp16.465/US$, melemah 0,65% sejak pembukaan.

Sentimen terbesar yang membayangi awal pekan ini datang dari keputusan Presiden AS Donald Trump, yang mengumumkan pengeboman tiga fasilitas nuklir di Iran, meliputi wilayah Fordow, Natanz, dan Esfahan, dengan kerusakan besar difokuskan di Fordow. Meski Trump menyatakan bahwa saatnya untuk perdamaian, serangan ini telah menempatkan Washington dalam konflik bersenjata langsung dengan Iran.

Maximilianus Nico Demus, Associate Director of Research and Investment di Pilarmas Investindo Sekuritas, mengatakan bahwa keterlibatan AS memperbesar ketidakpastian global dan mendorong harga energi kembali melonjak. "Keterlibatan Amerika membuat situasi semakin kompleks, apalagi ketika tensi di Timur Tengah semakin tajam. Ini bisa membuat harga komoditas, khususnya energi, bergerak naik," ujarnya.

Nico juga menyoroti potensi respons Iran yang belum tentu lunak. "Meskipun Presiden Trump mengatakan pentingnya perdamaian, bukan berarti Iran akan tinggal diam. Pelaku pasar pasti akan menunggu reaksi lanjutan dari Iran sebelum mengambil posisi baru, khususnya di sesi perdagangan malam nanti," tambahnya.

Ia juga mengingatkan bahwa keberpihakan dalam konflik ini berisiko memperburuk kondisi global. "Bukan tidak mungkin akan muncul blok-blok baru antarnegara. Apalagi di tengah kebijakan tarif AS yang protektif, banyak negara mulai enggan berdiplomasi dengan Washington. Amerika harus berhati-hati mengambil posisi agar tidak menambah eskalasi."

Kepala Ekonom PT Bank Permata Tbk. Josua Pardede mengingatkan tekanan terhadap rupiah diperkirakan akan meningkat secara signifikan. Pasca serangan awal pada pertengahan Juni 2025, rupiah sudah melemah sekitar 0,9% atau 150 point menjadi Rp16.385 per USD.

"Kondisi ini disebabkan oleh meningkatnya permintaan dolar AS sebagai safe haven akibat ketidakpastian geopolitik global serta lonjakan harga minyak dunia," kata Josua.

Eskalasi perang juga semakin diperparah dengan keputusan Iran menutup selat Hormuz, sebagai respons atas serangan udara Amerika Serikat semalam terhadap situs nuklir Iran, demikian dilaporkan media pemerintah Iran pada Minggu.

Saluran milik negara, Press TV, melaporkan bahwa legislatif telah mencapai konsensus untuk menutup selat tersebut. Keputusan final berada di tangan Dewan Keamanan Nasional Tertinggi Iran dan Pemimpin Tertinggi Ayatollah Ali Khamenei.

Selat ini, yang memisahkan Iran dan Oman, merupakan jalur utama bagi pengiriman minyak dari negara-negara di Teluk Persia.

Selat tersebut menghubungkan Teluk Persia dengan laut lepas dan menjadi salah satu titik tersumbat minyak paling kritis di dunia.

Iran diketahui mengontrol dua jalur pelayaran strategis yang sangat penting bagi perdagangan minyak dunia, yaitu Selat Hormuz dan Laut Merah.

Selat Hormuz mengangkut sekitar 20% dari pasokan minyak dunia dan 30%-35% untuk LNG secara global. Sementara Laut Merah mengangkut sekitar 12% minyak dunia dan 6% LNG.

Ekonom yang juga merupakan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Andalas Syafruddin Karimi menilai, gangguan jalur perdagangan global di Selat Hormuz, kawasan Iran, dapat memicu harga minyak melonjak, memperbesar tekanan inflasi global dan mempersempit ruang kebijakan moneter banyak negara.

"Dalam konteks ini, Indonesia menghadapi tantangan ganda: potensi depresiasi rupiah yang dapat memicu kenaikan harga barang impor dan beban fiskal yang meningkat akibat subsidi energi yang membengkak," ucap Karimi, Senin (23/6/2025).

Karimi mengungkapkan, bila merujuk skenario terburuk yang diperkirakan Oxford Economics, harga minyak dunia bisa mencapai US$ 130 per barel, dari posisi saat ini di kisaran US$ 70 per barel, jika Iran menutup Selat Hormuz.

CNBC INDONESIA RESEARCH

Sanggahan : Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investor terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.

(tsn/tsn)

Read Entire Article
Kepri Bersatu| | | |