Menata Ulang Perizinan Tambang, Belajar dari Kasus di Raja Ampat

4 hours ago 1

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Ketika Presiden Prabowo Subianto mengumumkan rencana pencabutan empat izin usaha pertambangan (IUP) di kawasan Raja Ampat, wilayah dengan kekayaan keanekaragaman hayati laut yang terkenal mendunia, masyarakat menyambutnya sebagai langkah afirmatif untuk melindungi lingkungan dan keindahan di sana.

Namun, respons dari lapangan justru memperlihatkan sisi lain yang lebih kompleks. Para penambang lokal memblokade akses wisatawan, menuntut kejelasan nasib ekonomi mereka. Sementara itu, satu IUP di Pulau Gag tetap dipertahankan, menimbulkan tanya soal konsistensi kebijakan.

Kasus ini membuka tabir peliknya tata kelola izin pertambangan nasional.

Regulasi Tambang yang Berubah-Ubah
Rezim perizinan tambang di Indonesia mengalami evolusi yang panjang dan tidak selalu linier. Sejak era Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) yang didominasi kepentingan asing dengan durasi panjang dan daya tawar pemerintah yang rendah, kita beralih ke rezim Izin Usaha Pertambangan (IUP) lewat UU Nomor 4 Tahun 2009.

Namun, desentralisasi pascareformasi justru memunculkan fenomena "banjir izin" oleh pemerintah daerah, yang tidak selalu berbasis tata ruang dan kajian lingkungan. Tumpang tindih peraturan mulai menjadi masalah serius.

UU Kehutanan melarang tambang terbuka di hutan lindung, UU Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil melarang tambang di pulau kecil, dan UU Lingkungan mensyaratkan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Namun ketiganya sering kali diabaikan karena minimnya koordinasi lintas sektor.

Pemerintah pusat mencoba membenahi dengan merevisi UU Minerba (UU Nomor 3/2020) dan melalui PP Nomor 96/2021 memperkuat sistem perizinan melalui Online Single Submission (OSS). Meski demikian, harmonisasi regulasi belum optimal.

Pencabutan Izin: Alasan dan Konsekuensi
Momentum terbesar penertiban izin terjadi di awal 2022, saat Presiden Joko Widodo mencabut lebih dari 2.000 izin tambang yang dianggap tidak aktif, bermasalah, atau berada di kawasan lindung. Langkah ini disambut baik, namun juga menuai gugatan hukum.

Sekitar 585 izin dikembalikan kepada pemegangnya setelah proses verifikasi. Prosedur pencabutan izin yang tidak transparan dan minim partisipasi publik membuat banyak pihak mempertanyakan legitimasi proses tersebut.

Pencabutan izin juga menimbulkan pertanyaan hukum: apakah perusahaan tambang berhak atas kompensasi? Jawabannya rumit. Secara hukum nasional, kompensasi tidak diberikan bila perusahaan dinilai lalai atau melanggar ketentuan.

Namun, bagi investor asing, peluang menggugat pemerintah Indonesia melalui mekanisme arbitrase internasional tetap terbuka berdasarkan perjanjian investasi bilateral. Ini bisa berdampak pada reputasi hukum dan iklim investasi kita.

Dalam konteks Raja Ampat, pencabutan empat IUP ditujukan untuk menjaga ekosistem laut Geopark Raja Ampat yang belum lama memperoleh status sebagai UNESCO Global Geopark. Namun, kegagalan dalam komunikasi dan penyediaan alternatif ekonomi bagi masyarakat setempat berpotensi menciptakan gesekan sosial yang lebih ruwet.

Tanpa pendekatan kolaboratif, keputusan pencabutan dapat melahirkan konflik horisontal maupun vertikal yang berlarut-larut.

Menuju Tata Kelola yang Adil dan Berkelanjutan
Untuk membenahi tata kelola tambang, diperlukan langkah menyeluruh. Pertama, audit nasional atas seluruh IUP aktif harus dilakukan secara transparan dan partisipatif, melibatkan kementerian teknis dan pemda. Audit ini harus mencakup aspek administratif, lingkungan, sosial, serta kepatuhan terhadap tata ruang.

Kedua, pemerintah perlu menetapkan prosedur pencabutan izin yang tegas dan adil. Kejelasan dasar hukum, alur tahapan, batas waktu penyelesaian, serta hak untuk mengajukan keberatan harus dijamin agar tidak menimbulkan ketidakpastian hukum.

Ketiga, kebijakan pertambangan ke depan harus berbasis pendekatan lanskap dan daya dukung wilayah. Penetapan zona tambang tidak boleh berdiri sendiri, melainkan harus selaras dengan perlindungan ekosistem, hak masyarakat adat, dan potensi ekonomi lain seperti pariwisata berkelanjutan. Keterlibatan masyarakat lokal sejak perencanaan menjadi kunci keberhasilan.

Keempat, negara perlu memperkuat skema restorasi pascatambang dan jaminan reklamasi, serta memastikan dananya dikelola secara akuntabel. Dana ini dapat digunakan untuk membangun alternatif ekonomi berbasis sumber daya lokal di wilayah bekas tambang.

Terakhir, mekanisme koordinasi antarkementerian dan pemangku kepentingan harus diperkuat. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Kehutanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta pemerintah daerah perlu duduk bersama secara rutin dalam forum lintas sektor yang bersifat permanen.

Forum ini dapat merumuskan kebijakan spasial, mengevaluasi izin secara berkala, dan menjadi wadah mediasi atas konflik perizinan yang berpotensi muncul. Dalam jangka panjang, pendekatan yang terintegrasi ini akan mencegah pemborosan sumber daya, mendorong investasi yang bertanggung jawab, dan menjamin perlindungan ekosistem yang lebih kuat.

Kasus Raja Ampat memberi pelajaran bahwa sumber daya alam bukan sekadar komoditas ekonomi, tetapi bagian dari warisan bangsa. Melindunginya membutuhkan keberanian politik dan konsistensi kebijakan, sekaligus empati terhadap rakyat yang menggantungkan hidupnya dari sektor tambang.

Bila semua aspek ini diabaikan, pencabutan izin hanya akan menjadi kebijakan tambal sulam yang tak menyelesaikan akar persoalan.


(miq/miq)

Read Entire Article
Kepri Bersatu| | | |