- Pasar keuangan RI pekan lalu ditutup merah karena tensi geopolitik di Timur Tengah makin memanas dan suku bunga the Fed ditahan lagi.
- Pekan lalu Wall Street mayoritas juga ditutup merah.
- Tensi geopolitik memanas masih akan menjadi story utama yang mempengaruhi pasar hari ini, terutama setelah AS ikut menyerang Iran.
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Tanah Air berakhir di zona merah pada sepanjang pekan lalu. Pasar saham dan mata akan menghadapi tekanan berat pada pekan ini setelah memanasnya geopolitik di Timur Tengah.
Proyeksi dan sentimen pasar keuangan satu pekan ke depan bisa dibaca pada halaman 3 artikel ini.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dalam sepekan yang berakhir Jumat (20/6/2025) ditutup koreksi 3,61% ke posisi 6.907,13.
IHSG sudah turun selama tiga hari beruntun dan menandai penurunan dalam sepekan yang bisa dibilang cukup signifikan, menghapus setengah dari penguatan yang terjadi sepanjang Mei lalu sebesar 6%.
Koreksi IHSG yang terjadi Jumat pekan lalu seiring dengan outflow asing yang signifikan sampai Rp2,73 triliun di keseluruhan pasar, dari pasar reguler terjadi net sell asing Rp2,74 triliun, sementara di pasar nego dan tunai masih ada net buy tipis Rp3,92 miliar.
Net sell asing yang besar kemungkinan besar karena ada rebalancing FTSE edisi Juni 2025 yang menggunakan cut off closing pekan lalu.
Deretan saham banking big caps mewarnai net sell asing terbanyak pada Jumat lalu, di mana saham PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) dilego sampai Rp576,8 miliar, disusul PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) dijual Rp445,7 miliar, PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) net sell Rp308,9 miliar, dan PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) sebanyak Rp129,4 miliar.
Sebaliknya yang mencatat net buy asing paling banyak adalah PT Adaro Andalan Indonesia Tbk (AADI) sebanyak Rp55,7 miliar, ini inline dengan keputusan FTSE yang memasukkan saham emiten batu bara thermal dalam konstituen-nya.
Outflow asing ini turut mengimplikasi pergerakan mata uang Garuda yang terdepresiasi terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada pekan lalu.
Merujuk data Refinitiv, rupiah pada Jumat berakhir di posisi Rp16.380/US$, dalam sepekan koreksi 0,55%.
Pelemahan rupiah sejalan dengan tekanan indeks dolar AS (DXY) yang kembali menguat sebesar 0,53% dalam seminggu, terpicu keputusan the Fed yang masih hawkish dengan menahan suku bunga lagi.
Sampai paruh pertama tahun ini, The Fed sama sekali belum menurunkan suku bunga. Pelaku pasar berpandangan dengan suku bunga tinggi yang bertahan lebih lama akan membuat outlook kembali ke mode hati-hati.
Beralih ke pasar obligasi terpantau juga terjadi aksi jual dari investor karena imbal hasil naik lagi. Menurut Refinitiv, sepanjang pekan lalu yield obligasi RI untuk tenor 10 tahun mengalami penguatan 0,85% atau 5,7 basis poin menjadi 6,75%.
Perlu dipahami, bahwa pergerakan yield dan harga dalam obligasi itu berlawanan arah. Ketika yield naik, maka harga sedang turun, artinya investor sedang melakukan aksi jual.
Pages