Jakarta, CNBC Indonesia - Dunia berada diambang kiamat minyak usai Iran mengancam menutup Selat Hormuz yang menjadi jalur perdagangan minyak global.
Ini terjadi sebagai reaksi atas serangan yang dilancarkan Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, terhadap tiga tempat yang disebut sebagai fasilitas nuklir Iran, pada Sabtu (21/6/2025) waktu setempat.
Ancaman kiamat minyak oleh Iran bukan hal baru. AS pernah mengalami langsung dan bergegas membuat skenario kudeta terhadap Perdana Menteri Iran, Mohammad Mossadegh, tahun 1953.
Operasi rahasia ini kemudian sukses dan AS lolos dari kiamat minyak. Fakta keterlibatan AS dalam operasi ini baru diungkap secara resmi pada 2019.
Digulingkan Demi Bisnis Minyak
Setelah Iran merdeka pada 1941, AS disebut mengendalikan pemerintahan lewat dukungannya pada Dinasti Pahlavi, khususnya Mohammad Reza Pahlavi (1941-1979) yang dijuluki "boneka" Washington.
Namun, situasi mulai berubah saat Mohammad Mossadegh terpilih sebagai Perdana Menteri Iran pada 1951. Dalam sistem pemerintahan kala itu yang dianut Iran, Mossadegh menjabat sebagai kepala pemerintahan dan Reza Pahlevi tetap menjadi kepala negara.
Terpilihnya Mossadegh didorong oleh gagasan radikal yang dianggap mengancam kepentingan Barat, terutama AS dan Inggris, yakni nasionalisasi industri minyak.
Sejak abad ke-19, Iran mengalami nasib ironis. Mayoritas pertambangan minyak dikendalikan Inggris, sehingga hasil produksinya dikirim ke Eropa. Sementara rakyat tak mendapat keuntungan layak.
Bagi Mossadegh, dominasi Inggris dalam sektor minyak tak hanya merugikan rakyat, tetapi juga membahayakan kedaulatan politik nasional. Maka, dia pun mendorong ide nasionalisasi yang kemudian mendapat dukungan besar dari publik.
"Nasionalisasi adalah ide yang tidak dapat diganggu gugat," ungkap Mossadegh, dikutip dari buku The Anglo-Iranian Oil Dispute of 1951-1952 (1954).
Akhirnya, pada 20 Maret 1951, Mossadegh berhasil mengesahkan Undang-Undang Nasionalisasi. Dalam buku Oil: A Cultural and Geographic Encyclopedia of Black Gold (2014), kebijakan ini langsung membuat Inggris dan banyak perusahaan Barat kalang kabut takut menghadapi krisis minyak.
Kala itu, Iran tercatat sebagai negara dengan kilang minyak terbesar di dunia, eksportir minyak terbesar kedua, dan pemilik cadangan minyak terbesar ketiga. Minyak dari Negeri Para Mullah bahkan menjadi sumber utama energi bagi Eropa. Tak heran, langkah nasionalisasi Mossadegh memicu kepanikan besar di Barat.
"Ada ketakutan lebih luas bahwa nasionalisasi minyak Iran dapat memicu efek domino yang akan menghancurkan perusahaan minyak Barat. Konsekuensi atas hal ini dapat membawa bencana sebab sejumlah besar minyak berasal dari Timur Tengah," ungkap Leonardo Davoudi dalam buku Persian Petroleum (2020, hlm. 151).
Pemerintah Inggris langsung mengambil sikap tegas. London menarik semua pegawai Inggris, melakukan embargo minyak, membekukan aset Iran di Inggris, dan menambah pasukan militer di Teluk Persia. Mossadegh pun tak tinggal diam.
Dia memutuskan hubungan diplomatik dengan Inggris dan menutup pintu negosiasi. Dari sinilah, PM Iran ke-35 itu menjadi ancaman utama bagi kepentingan Barat.
Badan Intelijen AS (Central Intelligence Agency, CIA) dan Dinas Intelijen Rahasia Inggris (MI6) kemudian melakukan operasi rahasia bersandi Ajax pada 1953.
Dalam arsip rahasia berjudul "The Central Intelligence Agency and The Fall of Iranian Prime Minister Mohammed Mossadeq, August 1953", CIA menganggap Mossadegh sebagai diktator yang ogah diajak kerja sama.
"Mossadegh tampak dengan cepat berubah. [...] Perdana Menteri makin bersikap diktator," ungkap CIA dalam dokumen tersebut.
CIA dan MI6 menggelontorkan dana sebesar US$ 1 juta untuk memicu amarah rakyat terhadap Mossadegh. Tujuannya menciptakan kerusuhan dan ketidakstabilan politik agar Mossadegh bisa digulingkan lewat tekanan massa.
Dengan skenario tersebut, massa dihasut untuk kehilangan kepercayaan terhadap kepemimpinan Mossadegh. Mereka diajak turun ke jalan, menciptakan kekacauan, dan menjatuhkan pemerintahan yang sah.
Hasilnya pun sesuai rencana. Antara 15-19 Agustus 1953, kerusuhan besar terjadi di Teheran. Mossadegh dipaksa menyerahkan kekuasaan dan akhirnya dijatuhi hukuman penjara.
Setelah itu, PM baru dilantik dan segera membuka kembali keran kerja sama dengan Inggris dalam sektor minyak. Usaha nasionalisasi demi kesejahteraan rakyat Iran pun berakhir gagal. Kekayaan alam kembali jatuh ke tangan asing. Sementara rakyat tetap hidup dalam keterpurukan.
Mossadegh menghabiskan sisa hidupnya sebagai tahanan rumah hingga wafat pada 5 Maret 1967. Selama bertahun-tahun, dia dicap sebagai pengkhianat oleh pemerintahan baru Iran.
Begitu juga para aktivis dan pendukung Mossadegh yang berakhir ditangkap. Barulah pada 1979, setelah Republik Islam Iran berdiri, nama baik Mossadegh mulai dipulihkan.
Keterlibatan Barat di internal Iran tahun 1953 tak diketahui publik selama puluhan tahun. Publik baru mengetahui keterlibatan CIA dan MI6 usai Pentagon membuka arsip rahasia Operation Ajax pada 2019.
Naskah CNBC Insight merupakan tulisan-tulisan yang berisi ulasan khusus sejarah yang mencoba menjelaskan kondisi masa kini dengan relevansinya pada masa lalu.(mfa/luc)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Polisi Serakah Curi Harta Karun Emas, Berakhir Dipecat & Masuk Penjara