Jakarta, CNBC Indonesia - Keputusan pemerintah yang menghentikan pengenaan Bea Masuk Anti-Dumping (BMAD) untuk produk benang filamen asal China mendapat pertentangan dari kalangan pengusaha. Apalagi, pengusaha mengaku mengetahui keputusan pemerintah tidak memproses lanjut rekomendasi pengenaan BMAD dari surat yang bocor dan beredar di publik.
Ketua APSyFI (Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia) Redma Gita Wirawasta mempertanyakan munculnya surat internal Kementerian Perdagangan (Kemendag) tertanggal 13 Juni 2025 di mana muncul rekomendasi agar pengenaan BMAD untuk produk benang filamen asal China tidak dilanjutkan.
"Surat ini bocor, dan sekarang semua ribut. Yang jadi pertanyaan kok bisa arahan sepenting ini berubah diam-diam. Ini menyangkut nasib ribuan pabrik dan jutaan tenaga kerja," kata Redma kepada CNBC Indonesia, Jumat (20/6/2025).
Mengacu pada Pasal 70 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan, pemerintah berkewajiban mengambil tindakan anti-dumping apabila terdapat produk impor yang dijual di bawah harga normal dan menyebabkan kerugian bagi industri dalam negeri. Tindakan tersebut dilakukan melalui pengenaan BMAD.
Redma menyebut Komite Anti-Dumping Indonesia (KADI) selaku pihak yang memberikan rekomendasi telah menemukan adanya dumping dan merekomendasikan adanya BMAD untuk produk benang filament. Kondisi ini pun memicu kegaduhan dan kemarahan di kalangan pelaku industri tekstil dalam negeri.
Pelaku industri pun merasa dikhianati oleh kebijakan negara sendiri yang memberikan 'karpet merah' bagi barang impor.
Padahal tekanan dari produk-produk impor, khususnya dari China, sudah di luar batas kewajaran. Harga produk impor yang masuk jauh di bawah harga pasar lokal, bukan karena efisiensi produksi, melainkan karena subsidi negara dan praktik dumping sistemik. Jika dibiarkan begitu saja, Indonesia, sebagai negara dengan ekosistem tekstil lengkap di dunia selain China dan India, industri bisa punah.
"Ini bukan soal efisiensi, ini soal siapa yang dikasih izin main. Lama-lama industri dalam negeri bisa mati," terang dia.
Menurut Redma, pendekatan pemerintah selama ini terlalu berpihak pada harga murah yang mengorbankan industri dalam negeri. Padahal, industri tekstil memiliki efek berantai yang besar, dengan satu pabrik bisa menyerap 1.000 hingga 3.000 tenaga kerja, dan seluruh rantai pasok dari hulu ke hilir ikut hidup.
"Kalau pabrik jalan, tenaga kerja hidup, PLN dapat pemasukan, negara juga hemat karena nggak perlu kasih BLT (bantuan langsung tunai), karena semua kerja. Tapi sekarang cuma mikir satu sisi, harga murah," tegasnya.
Adapun Pemerintah memutuskan untuk tidak memproses lebih lanjut rekomendasi Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) mengenai pengenaan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) atas impor benang filamen sintetis tertentu asal China.
Alasan Mendag Budi Tolak Rekomendasi KADI
Menteri Perdagangan (Mendag) Budi Santoso mengungkapkan, keputusan ini diambil dengan mempertimbangkan kondisi industri tekstil dan produk tekstil (TPT) nasional secara menyeluruh, serta masukan dari para pemangku kepentingan terkait.
"Keputusan ini diambil dengan mempertimbangkan kondisi industri TPT nasional, khususnya pasokan benang filamen sintetis tertentu ke pasar domestik yang masih terbatas. Kapasitas produksi nasional belum mampu memenuhi kebutuhan industri pengguna dalam negeri. Sebagian besar produsen benang filamen sintetis tertentu memproduksi untuk dipakai sendiri," jelas Budi dalam keterangannya Kamis, (19/6/2025).
Pertimbangan lainnya, sektor hulu industri TPT saat ini telah dikenakan trade remedies, seperti Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 46 Tahun 2023. Selain itu, BMAD untuk produk polyester staple fiber dari India, China, dan Taiwan berdasarkan PMK No 176 Tahun 2022.
"Pemerintah berkomitmen menjaga keseimbangan antara perlindungan industri dalam negeri dan kebutuhan akan bahan baku yang kompetitif bagi sektor hilir, demi menjaga kelangsungan dan daya saing industri nasional secara menyeluruh," tegas Budi.
(dce)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Ini Biang Kerok Industri Tekstil RI "Berdarah-darah", Awas Tsunami PHK