Di Balik Perang Timur Tengah-Amerika Ikutan: Dunia Rebutan Minyak!

3 hours ago 1

Jakarta, CNBC Indonesia - Konflik Timur Tengah saat ini tengah memanas, seiring dengan pecahnya perang antara Israel dan Iran, ditambah dengan keterlibatan Amerika Serikat dalam perang kedua negara tersebut.

Setelah Donald Trump mengumumkan adanya gencatan senjata antara Israel dan Iran, harga minyak dunia pun kembali melesu, setelah beberapa hari lalu mengalami lonjakan, terutama sejak perang kedua negara tersebut pecah.

Dalam pengumuman resminya, Trump menyebut bahwa kesepakatan damai akan berlangsung bertahap: dimulai oleh Iran, disusul oleh Israel 12 jam kemudian.

Pengumuman Trump ini memupus kekhawatiran pasar akan gangguan pasokan dari kawasan Timur Tengah.

Berdasarkan data Refinitiv pukul 10:00 WIB, harga Brent kontrak Agustus 2025 berada di US$ 69,71 per barel, ambles 2,48% dari sehari sebelumnya. Sementara itu, minyak mentah acuan AS, WTI, juga longsor ke US$ 66,71 per barel, merosot 2,63% dibandingkan Senin. Ini menjadi kelanjutan dari aksi jual brutal pada perdagangan sebelumnya, di mana kedua kontrak minyak sempat anjlok lebih dari 7%.

Meski Presiden AS Donald Trump Selasa (24/06/2025) pagi waktu Indonesia, mengumumkan telah tercapainya kesepakatan gencatan senjata antara Israel dan Iran, namun kemudian kabar ini dibantah oleh Pemerintah Iran.

Menteri Luar Negeri Iran Abbas Araghchi memberi pernyataan resmi soal pengumuman gencatan senjata Israel dan Iran dari Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump. Abbas menegaskan belum ada kesepakatan gencatan senjata dengan Israel hingga saat ini. Tetapi jika Israel menghentikan serangannya, maka Teheran juga akan berhenti menembak.

"Sampai saat ini, TIDAK ADA kesepakatan tentang gencatan senjata atau penghentian operasi militer," tulis Araghchi di media sosial, dikutip AFP, Selasa (24/06/2025).

"Jika rezim Israel menghentikan agresi ilegalnya terhadap rakyat Iran selambat-lambatnya pukul 4.00 pagi waktu Teheran, kami tidak berniat untuk melanjutkan tanggapan kami setelahnya," tegasnya.

Kondisi perang dan pengumumannya gencatan senjata yang membuat harga minyak bergejolak namun kemudian bisa tiba-tiba terjungkal, menandakan betapa setiap isu perang, terutama di kawasan penghasil dan jalur transportasi minyak, Bahan Bakar Minyak (BBM), hingga gas alam cair (LNG) dunia ini sangat berdampak pada ketersediaan dan harga energi dunia.

Keamanan Energi di Balik Isu Perang Dunia

Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Periode 2016-2019 Arcandra Tahar menjelaskan, setiap adanya perang di sejumlah negara, tak lain karena terkait mengamankan pasokan energi di setiap negara yang terlibat perang tersebut.

Dia menyebut, ada beberapa cara yang dilakukan dunia untuk mengamankan energi, yakni militer, politik, menggulingkan dan mengganti kekuasaan, hingga destabilisasi atau sengaja membuat tidak stabil kawasan penghasil dan transportasi energi dunia.

Cara pertama yakni melalui militer. Dia mencontohkan, ketika Nazi, Jerman, melakukan agresi militer atau menyerang negara-negara tetangganya setelah ditemukannya teknologi batu bara menjadi cair atau liquid.

"Sewaktu itu dia men-declare bahwa kita sudah mampu memenuhi kebutuhan energi dalam negeri kita. Maka negara pertama yang dia serang waktu itu adalah Polandia. Polandia itu, kalau kita lihat, tiga besar batu bara, cadangan-cadangan terbesar di dunia pada saat itu adalah Inggris, Jerman, dan Poland. Maka Poland yang diserang pertama karena Jerman ingin menyelamatkan batu bara dia karena dia tidak punya minyak. Itu yang pertama," paparnya kepada CNBC Indonesia dalam Program Energy Corner, Selasa (24/06/2025).

Kasus kedua terkait cara militer juga terjadi saat Jepang menyerang Pearl Harbor.

"Kenapa tiba-tiba Jepang menyerang Pearl Harbor? Kita lihat lagi bahwa 80% kebutuhan minyak Jepang pada saat itu itu diimpor dari Amerika Serikat. Sewaktu Amerika mengembargo Jepang, Jepang memerlukan volume yang 80% tadi untuk industrinya dan untuk peralatan perang mereka. Maka, mereka melakukan invasi ke negara yang punya minyak. Salah satunya Indonesia," jelasnya.

"Jadi kalau kita lihat waktu itu, pergerakan Jepang ke Indonesia itu salah satunya dalam rangka mendapatkan volume minyaknya. Jadi energy security Jepang pada saat Perang Dunia Kedua itu didapat lewat pendekatan militer," ujarnya.

Kemudian, setelah Perang Dunia Kedua, negara-negara mengamankan pasokan minyak melalui pendekatan politik.

"Waktu itu deal-lah Amerika sebagai pemenang Perang Dunia Kedua dengan Arab Saudi. Terbentuk waktu itu Arabian American Company. Di situ deal-nya apa? Volume minyaknya Arab itu diekspor ke Amerika, Amerika memberikan jaminan keamanan untuk Arab Saudi. Ini cara politik yang pertama, mengamankan volume," paparnya.

Cara politik kedua, lanjutnya, adalah mengamankan jalur transportasinya. Seperti diketahui, ada jalur utama transportasi laut untuk perdagangan energi dunia, yakni Terusan Suez, Terusan Panama, dan Selat Hormuz.

"Sewaktu Terusan Suez dinasionalisasi oleh Gamal Abdel Nasser sebagai Presidennya Egypt atau Mesir, yang menguasai jalur itu waktu itu siapa? Terusan Suez, Prancis, Inggris, dan Israel. Nah, Egypt mengambil alih itu. Terancamlah energy security Eropa karena harus jalan lewat ke bawah ke Afrika Selatan," tuturnya.

"Nah, jalur ini juga sekarang menjadi target untuk energy security. Selain dua jalur utama, Terusan Suez dan Terusan Panama, jalur utama sekarang adalah Selat Hormuz. Jadi inilah cara metodologi by politics untuk mengamankan energy security banyak negara. Jadi tiga sekarang jalur itu," imbuhnya.

Kemudian, terkait politik ada cara lainnya lagi yaitu mengganti kepemimpinan di negara terkait.

"Itu pernah dilakukan sewaktu Amerika menurunkan Mozaddeh sebagai Presiden tahun 1950-an, dan mendukung Shah Iran (Mohammad Reza Pahlavi). Dengan Shah Iran diangkat tahun 54-56, maka volume minyaknya Iran itu dengan sendirinya bisa bekerja sama dengan Amerika," jelasnya.

"Masuklah waktu itu perusahaan-perusahaan besar Amerika. Exxon, Chevron, dan lain-lain. Yang sebelumnya, minyak di Iran itu dikuasai Anglopersian, yang merupakan BP, sewaktu Mozaddeh itu dinasionalisasi, disuruh pergi. Kemudian mengganti leadership-nya Mozaddeh dengan Shah Iran, masuklah kembali perusahaan-perusahaan Amerika. Ini juga termasuk by politics untuk mengamankan volume," paparnya.

"Nanti kita bisa lihat yang mana yang dipakai Amerika. Kan tadi by military, by politics, by politics itu mengamankan volume, mengamankan jalur, yang ketiga mengganti leadership," bebernya.

Cara keempat yaitu dengan melakukan destabilisasi kawasan atau sengaja membuat kawasan tidak stabil.

"Yang keempat apa? Cara untuk mendapatkan energy security itu kita mau destabilisasi kawasan. Kawasan itu harus tidak distabilkan. Kenapa? Karena sewaktu Perang Arab Israel, tahun 73, Arab Saudi menggunakan minyak sebagai senjata. Jadi minyak sebagai senjata. Dengan menggunakan minyak sebagai senjata, caranya mengembargo Amerika," jelasnya.

"Tidak ada lagi volume yang dari Arab Saudi yang masuk ke Amerika. Terjadi krisis energi di Amerika. Negara yang pernah mendeklarasikan krisis energi salah satunya adalah Amerika, tahun 73. Itu antrian mobil-mobil di sana. Tidak mendapatkan minyak. Kalaulah kawasan ini tenang, kemungkinan besar negara-negara besar khawatir. Bisa jadi minyak ini akan dijadikan sebagai senjata. Dan itu pernah terjadi," ucapnya.

"Untuk itu, strategi negara-negara besar ini adalah mungkin salah satunya bagaimana caranya tidak stabil. Dan uang yang dihasilkan dari minyak tadi, ini juga diungkap dalam buku yang saya baca, itu yang saya pernah tulis di IGSA juga, dari Prize-nya Daniel Yergin, itu juga ditulis di situ. Bahwa dengan cara itu, bagaimana caranya uang yang didapatkan dari minyak tadi, dibelikan untuk senjata," imbuhnya.

"Jadi bukan minyak untuk senjata, tapi uang minyak untuk membeli senjata. Dengan sendirinya, negara kayak Arab Saudi memperkuat persenjataannya, Iraq, Kuwait, Iran juga memperkuat persenjataannya," tandasnya.

Pasokan Migas Dunia Terganggu

Arcandra menjelaskan, Perang Israel dan Iran ini bukan hanya mengganggu pasokan minyak dari Iran. Pasalnya, Iran "hanya" mengekspor minyak 1,5-2 juta barel per hari (bph). Adapun produksi minyak Iran sekitar 3 juta bph.

Artinya, ekspor minyak dari Iran "hanya" sekitar 2% dari kebutuhan minyak dunia.

"Tapi yang masalah itu, di situ ada Arab Saudi yang lewat Selat Hormuz, ada Kuwait di situ, ada UAE di situ, dan jumlahnya ini adalah kalau kurut itu sekitar bisa 15-14 juta barrels per day, itu mewakili 14-15% kebutuhan dunia," bebernya.

Kemudian, dari sisi BBM. Dia menyebut, ada sekitar 8 juta ton BBM yang ditransportasikan melalui Selat Hormuz, atau sekitar 20% dari total kebutuhan BBM dunia.

"Ditambah lagi LNG, LNG sekarang gas itu sudah menjadi komoditi yang diperdagangkan lewat kapal dan lain-lain, lewat Selat Hormuz berapa? Juga sekitar 20%, 15%-20% itu yang berasal dari UAE, dari Qatar, itu lewat Selat Hormuz," ucapnya.


(wia)
[Gambas:Video CNBC]

Next Article Ngeri! Gegara Perang, Harga Minyak Dunia Diprediksi Bakal to The Moon

Read Entire Article
Kepri Bersatu| | | |