AS, Rusia dan Arab Punya Harapan Beda Soal Harga Minyak, Ini Alasannya

6 hours ago 2

Jakarta, CNBC Indonesia - Tiga negara pemilik produksi minyak terbesar di Dunia ternyata punya cara pandang yang berbeda mengenai harga komoditas itu. Tiga negara itu adalah Amerika Serikat (AS), Rusia dan juga Arab Saudi.

Berkaca dari konflik yang terjadi di Timur Tengah belakangan ini, tentunya akan memiliki dampak terhadap harga minyak mentah dunia. Apalagi, Iran berencana menutup Selat Hormuz-selat peredaran minyak, LNG hingga BBM.

Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Periode 2016-2019 Arcandra Tahar mengungkapkan, dari konflik Timur Tengah, memiliki dampak atas harga minyak dunia.

Nah, sementara ada tiga negara penghasil minyak terbesar di Dunia yang memiliki sudut pandang berbeda mengenai harga. "Tiga negara, yang tiga terbesar, Amerika, Rusia, dan Arab Saudi, itu punya karakter yang berbeda dalam melihat harga minyak," jelasnya kepada CNBC Indonesia dalam program Energy Corner, Selasa (24/6/2025).

Khusus AS, kata Arcandra, negara tersebut melihat harga minyak dunia tidak boleh berada di bawah level US$ 70 per barel, namun tidak boleh juga melebihi level US$ 100 per barel. Alasannya, titik impas penjualan minyak oleh Negeri Paman Sam tersebut berada di level US$ 40-50 per barel, sedangkan negara tersebut tidak memberikan subsidi terhadap minyak mentah.

"Sewaktu pengumuman tarif kemarin harga di US$ 63-65. Wah, itu bisa limbung. Yang independent all company di Amerika bisa limbung. Tapi, menurut feeling saya, Amerika juga tidak menginginkan negara-negara US$ 100. Kenapa? Karena di sana tidak ada subsidi. Setiap harga yang tinggi itu masuk ke market dan masyarakat menanggung itu. Mereka sedang berjuang melawan inflasi," ujarnya.

Sementara Rusia menginginkan harga bisa lebih dari US$ 100 per barel. Kenapa? Karena Negeri Beruang Merah tersebut memiliki ongkos produksi yang lebih murah yakni US$ 30 per barel. Ditambah lagi adanya subsidi untuk produksi minyak.

"Kalau harga, dia biasanya ngasih diskon sekarang itu bisa US$ 20-30 (per barel), kalau dia kasih diskon US$ 30, harga produksi US$ 30, tambah diskon US$ 30 berarti dia harus menjual minimum US$ 60, maka dia juga tidak mau harga di bawah US$ 75. Terlalu tipis buat Rusia, karena harga diskon tadi. Tapi kalau di atas US$ 100 dia oke. Jauh, semakin tinggi semakin oke, karena dia harus ngasih diskon tadi US$ 20-30 per barrel. Jadi kalau di atas US$ 100, dia oke sekali," paparnya.

Terakhir, Arab Saudi dalam melihat harga minyak mentah dunia berbeda dibandingkan kedua negara yang sudah disebutkan. Arcandra mengungkapkan Arab tidak memiliki masalah sama sekali terhadap harga minyak. Hal itu dinilai lantaran biaya produksi minyak mentah di negara tersebut di bawah US$ 20 per barel yang artinya jika harga minyak dunia anjlok, Arab tidak khawatir akan hal tersebut.

Jika harga minyak melonjak mencapai US$ 100 per barel, Arab juga tidak masalah lantaran kebutuhan minyak di negara tersebut sedikit.

"Arab Saudi, ini Arab Saudi ini yang sangat robust. Atas boleh, bawah boleh, karena ongkos produksinya belasan dolar per barrel. US$ 10-11 atau berapa. Jadi kalau harga US$ 20 pun, US$ 30 pun, Arab Saudi masih oke. Di atas US$ 100 pun tidak apa-apa, karena apa? Dia subsidi di sana. Kebutuhan di dalam negeri kecil. Jadi rakyatnya pun, kalau di atas US$ 110-120, dia oke," tandasnya.

Berdasarkan data Refiniitv pada perdagangan Selasa (24/6/2025) hingga pukul 14.00 WIB harga minyak mentah acuan AS West Texas Intermediate (WTI) tercatat di US$65,74 per barel atau telah turun 16% dari harga tertinggi di masa perang di US$78 per barel pada perdagangan kemarin (23/6/2025).

Begitu juga dengan minyak mentah acuan Brent yang tercatat di US$68,75 per barel atau ambruk 14% dari harga tertinggi yang tercatat di masa perang kemarin di US$80,29 per barel.


(pgr/pgr)
[Gambas:Video CNBC]

Next Article Harga Minyak Mentah ICP di Januari Naik Jadi US$ 76,81 per barel

Read Entire Article
Kepri Bersatu| | | |