Jakarta, CNBC Indonesia - ASEAN+3 Macroeconomic Research Office (AMRO) menyarankan pemerintah untuk segera memperbaiki sistem lapisan tarif pajak penghasilan (PPh). Sebab, ada kesenjangan atau gap besar antara tarif pajak orang super kaya, dengan tarif orang kaya yang penghasilannya di bawah Rp 5 miliar setahun.
Hal ini AMRO jabarkan dalam laporan terbarunya dalam AMRO Annual Consultation Report: Indonesia-2025. Menurutnya, sistem penerimaan negara harus diperbaiki secara komprehensif karena anggaran kebutuhan belanja negara kian membengkak di Indonesia, efek besarnya biaya program prioritas pemerintah saat ini.
"Kini, tarif pajak penghasilan tertinggi sebesar 35% berlaku untuk orang pribadi dengan pendapatan tahunan melebihi Rp5 miliar. Ini sekitar 10 kali lebih tinggi dari kelompok pendapatan tertinggi kedua, minimal Rp 500 juta per tahun, yang dikenakan tarif pajak 30 persen," tulis AMRO dalam laporannya itu.
Untuk memobilisasi pendapatan dari perpajakan berbasis pendapatan, AMRO menilai pemerintah perlu mempertimbangkan perluasan kelompok pajak bagi penerima penghasilan tinggi.
Terutama karena meskipun Indonesia telah meningkatkan kelompok pajak penghasilannya dari empat menjadi lima tingkatan, kelompok pajak tersebut masih lebih sedikit dibandingkan negara-negara tetangga, selain besarnya kesenjangan tarif antara orang super kaya dengan di bawahnya tadi.
"Misalnya, Malaysia memiliki sembilan kelompok pajak penghasilan (1% hingga 3%), Singapura memiliki dua belas (2%hingga 24%), sementara Thailand dan Vietnam masing-masing memiliki tujuh kelompok (5% hingga 35%).
Kelompok pajak penghasilan pribadi di Indonesia juga AMRO anggap kurang progresif dibandingkan dengan beberapa negara tetangganya. Sebagai ilustrasi, wajib pajak yang berpenghasilan lima kali lipat dari pendapatan rata-rata di negara masing-masing dikenakan tarif pajak penghasilan yang lebih tinggi daripada wajib pajak Indonesia.
Lebih jauh, tarif pajak tertinggi 35% di Indonesia hanya berlaku untuk pendapatan lebih dari Rp5 miliar, atau sekitar 141 kali upah rata-rata nasional, sedangkan tarif 30% berlaku untuk pendapatan Rp500 juta hingga Rp5 miliar, atau sekitar 14 kali upah rata-rata.
Mengingat kesenjangan yang signifikan dalam ambang batas pendapatan antara tarif pajak penghasilan pribadi sebesar 30% dan 35%, AMRO menilai, memperkenalkan kelompok pajak tambahan bagi penerima penghasilan tinggi juga dapat menjadi pertimbangan pemerintah.
"Pemerintah juga perlu mempertimbangkan untuk mereformasi sistem pajak penghasilan pribadi dengan memperkenalkan lebih banyak kelompok pendapatan antara kategori pendapatan tertinggi kedua dan tertinggi, mengingat kesenjangannya yang lebar saat ini," saran tim ekonom AMRO.
Sebagai informasi, lapisan tarif PPh diterapkan pemerintah dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Dalam UU baru yang mulai berlaku 2022 ini, penghasilan kena pajak (PKP) yang dikenakan tarif 5% diperlebar dari mereka yang berpenghasilan Rp 50 juta/tahun menjadi Rp 60 juta/tahun. Kemudian, pemerintah mengenakan pajak lebih tinggi yakni 35% bagi orang kaya berpenghasilan di atas Rp 5 miliar/tahun.
Berikut ini detailnya:
1. Lapisan Penghasilan Kena Pajak sampai dengan Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) dikenai tarif 5%(lima persen)
2. Lapisan Penghasilan Kena Pajak di atas Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) sampai dengan Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dikenai tarif 15%(lima belas persen)
3. Lapisan Penghasilan Kena Pajak di atas Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) sampai dengan Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dikenai tarif 25%(dua puluh lima persen)
4. Lapisan Penghasilan Kena Pajak di atas Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) sampai dengan Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dikenai tarif 30%(tiga puluh persen)
5. Lapisan Penghasilan Kena Pajak di atas Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dikenai tarif 35% (tiga puluh lima persen).
(arj/mij)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Terkuak! Ini Tugas Dirjen Pajak Baru dari Sri Mulyani