Jakarta, CNBC Indonesia - Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi menyampaikan keprihatinan mendalam soal cara pandang masyarakat Indonesia terhadap kekayaan laut yang melimpah, namun belum dimanfaatkan secara optimal. Menurutnya, selama ini masyarakat masih terlalu fokus menggantungkan hidup di daratan.
"Kita memahami bahwa ada culture (budaya) yang harus dirubah dalam mindset atau cara berpikir rakyat kita. Laut itu adalah kekayaan alam Indonesia yang paling besar. Tetapi sampai hari ini, fokus berpikir kita masih di darat. Masih berputar cari rejeki di darat dan hampir melepaskan laut yang luas," kata Dedi dalam sambutannya di acara Penandatangan Nota Kesepakatan dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) di Jakarta, Rabu (25/6/2026).
Ia menilai, pola pikir ini menyebabkan berbagai permasalahan lingkungan yang bermuara ke laut. Mulai dari minimnya penghargaan terhadap sungai sebagai bagian dari ekosistem, hingga kebiasaan membuang limbah ke aliran sungai.
"Di hulu, kita tidak menghargai sungai. Rumah-rumah membelakangi sungai. Membuang limbah rumah tangga ke sungai. Membuang limbah industri ke sungai. Dan pada akhirnya bermuara ke laut," ujarnya.
Kerusakan yang terjadi di daratan, menurut Dedi, menciptakan kekacauan di laut. Hal inilah yang mendorong Pemerintah Provinsi Jawa Barat melakukan pembenahan menyeluruh, termasuk membongkar bangunan liar di bantaran sungai.
"Perspektif itulah yang mendorong kami untuk terus-menerus melakukan pembenahan. Membongkar kembali bangunan-bangunan di bantaran sungai di seluruh provinsi Jawa Barat," tegas dia.
Sebagai upaya pemulihan lingkungan, Dedi menyebutkan langkah konkret yang tengah dijalankan, termasuk penanaman pohon kelapa yang ke depan akan dijaga satuan marinir.
"Menanami pohon kelapa dan kedepannya akan dijaga oleh satuan marinir. Ini adalah cara untuk mengembalikan kembali kejayaan tanah kita dan kejayaan laut kita," tuturnya.
Dedi juga mengungkap masalah serius lain di bagian hulu sungai, yaitu sedimentasi yang disebabkan oleh pembalakan liar dan alih fungsi hutan menjadi lahan pertanian.
"Hulunya mengalami problem sedimentasi, pembalakan liar, perubahan area hutan menjadi kebun sayur. Itu melahirkan bongkahan-bongkahan tanah yang terus menguruk sungai, yang pada akhirnya menjadi problem di muara," jelasnya.
Foto: Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi dalam apel kesiapsiagaan satgas pemberantasan premanisme. (Tangkapan layar youtube humas Jabar)
Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi dalam apel kesiapsiagaan satgas pemberantasan premanisme. (Tangkapan layar youtube humas Jabar)
Pendangkalan muara dan sungai pun tak terhindarkan. Dampaknya, biaya pemulihan yang ditanggung pemerintah menjadi sangat besar.
"Efek dari itu adalah pendangkalan muara sangat tinggi. Pendangkalan aliran sungai sangat tinggi. Dan biaya recovery-nya mahal. Biaya recovery mahal yang dilakukan oleh Kementerian PU (Pekerjaan Umum), terhadap upaya pengerukan sungai, berhadapan lagi dengan apa? Perubahan daerah bantaran sungai yang sudah bersertifikat, dan berbangunan beton. Problematika ini harus diselesaikan," kata dia.
Dedi bahkan menargetkan dalam dua tahun ke depan, tidak ada lagi bangunan liar dan sertifikat tanah di wilayah sungai, serta tak ada lagi pendangkalan muara.
"Saya menargetkan dalam 2 tahun di Jawa Barat, tidak ada lagi bangunan liar di sungai, tidak ada lagi sertifikat tanah di daerah sungai, tidak ada lagi pendangkalan muara," ujarnya.
Tak berhenti di situ, ia juga menyoroti persoalan sampah yang kerap dialirkan begitu saja ke sungai dan berakhir mencemari laut.
"Problematika pengelolaan sampah di hulu, itu berdampak pada dengan mudahnya orang mengalirkan sampah ke sungai. Baik sampah rumah tangga maupun sampah yang dikoleksi dalam sebuah rumah tangga. Yang pada akhirnya laut itu menjadi kumpulan dosa," kata Dedi.
Akibat laut yang tercemar, kerusakan lingkungan pun meluas. Mangrove dibabat, abrasi semakin parah, dan muncullah kawasan kumuh di sepanjang garis pantai.
"Karena laut menjadi kumpulan dosa, maka laut mengalami masalah lagi. Mangrove-nya dibabat, dan terjadi abrasi. Lahirlah lingkungan-lingkungan kumuh sepanjang pantai," tambahnya.
Dedi juga menyesalkan minimnya edukasi terhadap anak-anak untuk mencintai dan memahami laut. Hal ini, katanya, turut membentuk persepsi keliru bahwa kawasan pantai adalah wilayah yang tidak menarik dan identik dengan kemiskinan.
"Anak-anak tidak diarahkan untuk memahami laut secara utuh. Sehingga orang berpandangan, sepanjang garis pantai adalah sepanjang pandangan yang tidak menyenangkan. Yang dianggap sebagai basic kemiskinan," tuturnya.
Padahal, dalam pandangan Dedi, dua tempat yang paling diidamkan manusia untuk meraih kebahagiaan adalah pantai dan gunung.
"Dalam perspektif kemanusiaan, kebahagiaan itu selalu ingin didapatkan di dua tempat. Satu, kebahagiaan itu ingin didapatkan di pantai. Dua, kebahagiaan ingin didapatkan di gunung," ucapnya.
"Di gunung orang ingin menikmati matahari terbit. Di pantai orang ingin menikmati matahari tenggelam. Kedua-duanya itu terjadi dalam prinsip hidup kita," lanjutnya.
Namun ironisnya, kedua tempat yang penuh makna itu justru rusak akibat eksploitasi ekonomi jangka pendek.
"Tetapi kita melupakan kedua tempat ini, dilakukan kerusakan secara sistemik dan berorientasi hanya kepentingan ekonomi yang bersifat jangka pendek," pungkas Dedi.
(wur)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Video: Gubernur Jawa Barat Bakal Pangkas APBD Rp 5,5 T