Jakarta -
PT Sri Rejeki Isman Tbk bukan perusahaan kemarin sore. Dikenal dengan nama Sritex, lini bisnis yang dibangun H.M. Lukminto sejak tahun 1966 di Pasar Klewer, Solo itu pernah berjaya sebagai raksasa tekstil seantero Asia Tenggara.
Namun roda berputar. Pada Oktober 2024, Sritex dinyatakan pailit. Ribuan karyawan yang menggantungkan nasib terkatung-katung.
Puncaknya ada dugaan pelanggaran hukum yang diungkap Kejaksaan Agung (Kejagung) pada Mei 2025 yaitu dengan dijeratnya mantan Direktur Utama (Dirut) Sritex Iwan Setiawan Lukminto. Salah satu putra dari pendiri Sritex itu diduga berkongkalikong terkait pemberian kredit.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Memang apa yang dilakukan Iwan?
Pada Rabu, 21 Mei 2025, Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Dirdik Jampidsus) Kejagung Abdul Qohar menyebut ada anomali yang ditemukan pada laporan keuangan Sritex yaitu pencatatan keuntungan pada tahun 2020 sebesar USD 85,32 juta atau setara Rp 1,24 triliun dan tahun berikutnya rugi USD 1,08 miliar atau setara Rp 15,65 triliun.
"Keganjilan dalam 1 tahun mengalami keuntungan yang sangat signifikan, kemudian tahun berikutnya juga mengalami kerugian yang sangat signifikan," kata Qohar.
Qohar tak memungkiri kondisi itu terjadi saat pandemi Covid melanda. Untuk itu Qohar masih mendalami kemungkinan-kemungkinan yang terjadi.
"Itulah anomali yang saat ini kita dalami. Ya, tadi saya sampaikan, satu tahun untung yang sangat drastis. Tahun berikutnya, rugi yang sangat drastis," imbuh Qohar.
Tahun berganti hingga pada 2024 Sritex diketahui terjerat kredit macet yang angkanya tak main-main: Rp 3,5 triliun. Jaksa yang mengusut perkara ini menduga ada kongkalikong antara PT Sritex dengan sejumlah bank milik pemerintah dan swasta.
Saat ini yang diungkap Kejagung baru ada dua bank yang terlibat yakni PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat Banten (BJB) dan PT Bank DKI Jakarta. Mereka yang terlibat dalam kongkalikong ini adalah Direktur Utama Bank DKI Tahun 2020 Zainuddin Mappa (ZM) dan Pimpinan Divisi Komersial dan Korporasi Bank BJB Dicky Syahbandinata (DS).
Menurut Qohar, Zainuddin dan Dicky Syahbandinata memberikan kredit secara melawan hukum. Akibatnya negara menjadi rugi.
"Terhadap adanya pemberian kredit kepada PT Sri Rejeki Isman TBK yang dilakukan secara melawan hukum dan mengakibatkan adanya kerugian keuangan negara," katanya.
Mengapa negara ikut rugi? Hal itu dikarenakan PT Sritex merupakan perseroan terbatas dengan komposisi kepemilikan saham yaitu PT Huddleston Indonesia sebesar 59,03%, dan masyarakat, karena sudah TBK sebesar 40,97%.
Dalam laporan keuangan perusahaan, Sritex melaporkan adanya kerugian dengan nilai mencapai USD 1,08 miliar atau setara dengan Rp 15,65 triliun pada tahun 2021. Padahal, setahun sebelumnya, Sritex masih memiliki keuntungan sebesar Rp 85,32 juta USD atau setara dengan Rp 1,24 triliun.
"Jadi ini ada keganjilan dalam satu tahun mengalami keuntungan yang sangat signifikan kemudian tahun berikutnya juga mengalami kerugian yang sangat signifikan," kata Qohar.
Karena kerugian ini, Sritex menjadi memiliki kredit senilai Rp 3,5 triliun. Lebih parahnya lagi, Iwan selaku Direktur Utama Sritex saat itu tidak menggunakan uang pinjaman itu untuk modal kerja perusahaan tetapi malah menggunakan uang pinjaman itu untuk membayar utang dan membeli aset non-produktif, seperti membeli tanah di Yogyakarta dan Solo.
Lebih lanjut, selain kredit Sritex juga mendapat pemberian kredit dari 20 bank swasta, dari pemberian ini lah mulai terjadi kongkalikong antara Iwan dengan Zainuddin dan Dicky.
"Dalam pemberian kredit kepada PT Sri Rezeki Isman TBK, ZM selaku Direktur Utama Bank DKI dan DS selaku Pimpinan Divisi Korporasi dan Komisaris Komersial PT Bank Pembangunan Jawa Barat dan Banten telah memberikan kredit secara melawan hukum karena tidak melakukan analisa yang memadai dan mentaati prosedur dan persyaratan yang telah ditetapkan," terang Qohar.
Sritex Harusnya Tak Bisa Kredit
Menurut Qohar, Sritex sejatinya tidak bisa menerima kredit karena Sritex tidak memenuhi syarat kredit. Sritex itu memperoleh predikat BB min atau risiko gagal bayar pinjaman.
"Yaitu salah satunya adalah tidak terpenuhinya syarat kredit modal kerja karena hasil penilaian dari lembaga peringkat kit dan modis disampaikan disampaikan bahwa PT Sri Rejeki Isman TBK hanya memperoleh predikat BB min atau memiliki resiko gagal bayar yang lebih tinggi," sambungnya.
Idealnya, pemberian kredit tanpa jaminan hanya dapat diberikan kepada perusahaan atau debitor yang memiliki peringkat A.
Alhasil, kredit Sritex menjadi macet, tidak bisa terbayarkan. Aset perusahaan juga tidak bisa dieksekusi karena tidak dijadikan jaminan.
"Aset perusahaan tidak bisa dieksekusi untuk menutupi nilai kerugian negara, karena nilai lebih kecil dari nilai pemberian pinjaman kredit, serta tidak dijadikan sebagai jaminan atau agunan," katanya.
Selain itu, PT Sritex juga dinyatakan pailit oleh Pengadilan Negeri Niaga Semarang Melalui putusan nomor perkara 2/PDT.SUS- homologasi/2024/PN Niaga Semarang. Karena itulah negara menjadi rugi Rp 629 miliar.
Akibat kredit macet ini, Kejagung pun menetapkan tiga orang sebagai tersangka. Tiga orang tersangka itu adalah Iwan Setiawan Lukminto, Zainuddin Mappa,
Ketiga tersangka diduga melanggar Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jucto Pasal 55 ayat 1 ke 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
(zap/dhn)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini