Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Indonesia baru saja menyalakan mercusuar transisi energi terbaru lewat Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN (Persero) 2025-2034. Dokumen berdurasi satu dekade ini -disusun setelah KEN disahkan DPR (5 Februari 2025) dan RUKN ditetapkan Menteri ESDM (5 Maret 2025)- menegaskan ambisi pemerintah mencapai swasembada energi melalui bauran ramah lingkungan.
Di dalamnya tercantum target yang mencengangkan: 76 % kapasitas listrik nasional pada 2034 berasal dari energi baru terbarukan (EBT) . Bagi pelaku pasar, investor, dan pembuat kebijakan, RUPTL edisi ini ibarat "term sheet" raksasa senilai triliunan rupiah yang menata jalur Indonesia menuju ekonomi hijau sekaligus memastikan keandalan pasokan listrik.
Selama sepuluh tahun ke depan PLN berencana menambah 69,5 GW kapasitas terpasang, setara lebih dari dua kali beban puncak Jawa-Bali hari ini. Yang menarik, 61 % atau 42,6 GW di antaranya adalah EBT.
Perinciannya: tenaga surya 17,1 GW, hidro 11,7 GW, angin 7,2 GW, panas bumi 5,2 GW, bioenergi 0,9 GW, dan-untuk pertama kalinya dalam rencana resmi-nuklir 0,5 GW. Tambahan penyimpanan energi (storage) 10,3 GW melalui pumped-storage hidro 4,3 GW dan baterai 6 GW menandai pergeseran serius menuju sistem kelistrikan fleksibel. Sementara pembangkit gas hanya bertambah 10,3 GW dan batubara 6,3 GW, menegaskan arah dekarbonisasi bertahap.
Transformasi bauran tak terpusat di Jawa. Dari total penambahan pembangkit, Jawa-Madura-Bali memimpin dengan 33,5 GW (19,6 GW EBT). Namun Sumatera mendapat 15,1 GW, Kalimantan 5,8 GW, Sulawesi 10,4 GW, dan Maluku-Papua-Nusa Tenggara 4,7 GW.
Distribusi ini penting untuk mengejar pertumbuhan industri hijau di KEK Sei Mangkei, hilirisasi mineral di Kalimantan, dan proyek hidrogen hijau di Sulawesi. Penambahan surya skala utilitas terbesar akan tersebar di koridor Batam-Bintan dan Nusa Tenggara yang paling kaya radiasi, sementara ladang angin kian masif di selatan Sulawesi dan pesisir Jawa.
EBT intermiten menuntut jaringan transmisi kokoh. RUPTL memuat rencana pembangunan 47.758 km sirkuit transmisi dan 107.950 MVA gardu induk di seluruh
Nusantara-setara mengitari khatulistiwa lebih dari sekali. Proyek backbone 500 kV Sumatra-Jawa HVDC dan penguatan interkoneksi Kalimantan-Sulawesi akan memudahkan ekspor-impor daya antar-pulau, menekan curtailment surya/angin, dan menjaga kestabilan frekuensi.
Di sisi hilir, program Distribusi & Listrik Desa (Lisdes) 2025-2029 menargetkan 780 ribu rumah tangga baru tersambung listrik-dengan investasi hingga Rp50 triliun.
Mesin Pertumbuhan menuju target 8 % pertumbuhan ekonomi
PLN memproyeksikan penjualan energi naik dari 306 TWh pada 2024 menjadi 511 TWh pada 2034-lonjakan 205 TWh atau rata-rata 21 TWh per tahun. Tambahan daya ini krusial mendukung target pertumbuhan ekonomi 8 % pada 2029, khususnya di kawasan industri EV, smelter nikel, dan kawasan wisata superprioritas.
Artinya, setiap GW EBT yang masuk bukan semata mendorong dekarbonisasi, melainkan juga menghidupkan rantai pasok manufaktur dari panel surya, turbin angin, hingga modul baterai ber-TKDN tinggi. Bagi pelaku pasar finansial, RUPTL adalah peta harta karun: peluang investasi pembangkit mencapai Rp2.133,7 triliun, di mana 73 % dialokasikan untuk Independent Power Producer (IPP).
Dari porsi IPP tersebut, EBT mendominasi Rp1.341,8 triliun-magnet kuat bagi dana ESG global dan dana pensiun yang haus proyek hijau berimbal hasil stabil. Pengaturan tarif berbasis "feed-in premium" dan mekanisme competitive auction bakal menjadi kunci menekan biaya modal (WACC) agar LCOE EBT lebih kompetitif ketimbang pembangkit fosil.
Boom Tenaga Kerja Hijau, Inklusivitas dan Pemerataan
RUPTL bukan hanya angka megawatt, tapi juga cerita manusia. Implementasinya diperkirakan menyerap lebih dari 1,7 juta tenaga kerja di rantai nilai manufaktur,
konstruksi, operasi, dan pemeliharaan. Khusus di segmen pembangkitan, 836 ribu pekerja dibutuhkan dan lebih dari 760 ribu di antaranya sebanyak 91 % tergolong green jobs.
Sektor surya menyerap 348 ribu pekerja, hidro 94 ribu, angin 58 ribu, panas bumi 42 ribu, baterai 68 ribu, dan bahkan nuklir memerlukan hampir 130 ribu talenta. Angka ini membuka peluang vokasi-dari teknisi panel surya di Kupang hingga analis keselamatan nuklir di Serpong-serta mendorong reformasi kurikulum politeknik energi.
Program Lisdes (Listrik Desa) dan Bantuan Pasang Baru Listrik (BPBL) bukan sekadar CSR negara; keduanya menyiapkan pondasi demand side. Akses listrik 24 jam/hari di desa terluar akan mendorong adopsi layanan digital, cold-chain perikanan, dan micro-EV untuk logistik desa. Dengan demikian, manfaat EBT tidak terkonsentrasi di kawasan industri saja, tetapi juga membasuh desa terpencil-meneguhkan agenda pemerataan pembangunan.
Tantangan Eksekusi RUPTL
Ambisi besar tak luput dari risiko. Pertama, kesesuaian regulasi harga EBT, terutama skema "tarif base-load + variabel" untuk project ber-storage, harus segera difinalkan. Kedua, rantai pasok panel surya dan baterai masih dominan impor; dibutuhkan insentif hilirisasi litium, tembaga, dan silikon agar local content naik tanpa mengorbankan biaya.
Ketiga, pendanaan IPP bergantung pada kepastian offtake PLN dan mekanisme viability gap funding untuk proyek di wilayah beban rendah. Terakhir, land acquisition masih menjadi rintangan klasik, terutama untuk bendungan PLTA dan ladang angin skala gigawatt.
Namun, momentum global sebenarnya memihak Indonesia. Kesepakatan Just Energy Transition Partnership (JETP) membuka ruang pembiayaan murah untuk early
retirement PLTU; sementara jaringan kredit karbon domestik lewat Bursa Karbon Indonesia siap memberi nilai tambah untuk proyek EBT bersertifikat. Bila dikombinasikan dengan deregulasi permitting dan one-stop service P2EBT, risiko proyek bisa ditekan signifikan.
RUPTL 2025-2034 jelas lebih dari sekadar rencana utilitas; ia adalah cetak biru transisi energi sekaligus katalis industrialisasi rendah karbon. Dengan bauran EBT 76 %, investasi Rp2.133 triliun, serta 760 ribu peluang kerja hijau, dokumen ini menempatkan Indonesia di jalur strategis menuju net-zero 2060-bahkan lebih cepat jika eksekusi tepat sasaran.
Tantangannya kini berpindah ke project preparation dan harmonisasi regulasi agar modalswasta, teknologi, dan talenta dapat masuk tanpa gesekan berlebih. Bagi pembuat kebijakan, fokus berikutnya adalah menuntaskan aturan power wheeling, renewable portfolio standard, dan peta jalan carbon pricing.
Bagi investor, ini saatnya mengunci posisi di klaster surya, angin lepas pantai, baterai, dan hidrogen hijau. Bagi masyarakat, manfaat yang dinanti adalah listrik andal, tarif terjangkau, udara bersih, serta kesempatan kerja masa depan.
Singkat kata, RUPTL 2025-2034 adalah angin segar, sekaligus kompas, yang menuntun Indonesia menyongsong ekonomi hijau berdaya saing global.
(miq/miq)