Musim Kemarau Tahun 2025 Beda, BMKG Ingatkan Petani Siap Siaga

6 hours ago 1

Jakarta, CNBC Indonesia - Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengonfirmasi, musim kemarau tahun 2025 ini datang lebih lambat dan berdurasi lebih pendek. Disebutkan, hingga awal bulan Juni 2025, baru sekitar 19% zona musim di Indonesia yang sudah masuk musim kemarau.

Hal itu menunjukkan, sebagian besar wilayah di Indonesia hingga saat ini masih dalam kategori musim hujan. Meski kalender klimatologis biasanya menunjukkan, pada periode ini seharunya kemarau telah dimulai di banyak daerah.

Bahkan, dalam rilis Prospek Cuaca Mingguan periode 24-30 Juni 2025, BMKG masih mengeluarkan peringatan siaga hujan lebat dan angin kencang di berbagai wilayah di Indonesia.

Dalam keterangan di situs resmi, Kepala BMKG Dwikorita Karnawati menjelaskan, mundurnya awal musim kemarau tahun 2025 terutama akibat kondisi curah hujan yang lebih tinggi dari biasanya (Atas Normal) selama periode April hingga Mei 2025. Di mana periode ini seharusnya merupakan masa peralihan dari musim hujan ke musim kemarau.

"Kondisi ini telah diprediksi sebelumnya oleh BMKG melalui prakiraan iklim bulanan yang dirilis pada Maret 2025," kata Dwikorita, dikutip Rabu (25/6/2025).

Dia menjelaskan, dalam prediksi tersebut, BMKG mengantisipasi adanya peningkatan curah hujan di wilayah Indonesia bagian selatan, seperti Sumatra bagian selatan, Pulau Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur.

"Prediksi musim dan bulanan yang kami rilis sejak Maret lalu menunjukkan adanya anomali curah hujan yang di atas normal di wilayah-wilayah tersebut. Dan ini menjadi dasar utama dalam memprediksi mundurnya musim kemarau tahun ini," sebut Dwikorita.

"Peningkatan curah hujan ini menyebabkan wilayah-wilayah tersebut belum dapat bertransisi sepenuhnya ke musim kemarau sebagaimana biasanya," ujarnya.

Tanda-Tanda Transisi ke Musim Kemarau

Meski begitu, bebernya, analisis data curah hujan di seluruh Indonesia pada Dasarian I (sepuluh hari pertama) Juni 2025 menunjukkan, sifat hujan di berbagai wilayah mulai menunjukkan tanda-tanda pergeseran menuju kemarau. Sebanyak 72% wilayah berada dalam kategori Normal, 23% dalam kategori Bawah Normal (lebih kering dari biasanya), dan hanya sekitar 5% wilayah yang masih mengalami curah hujan Atas Normal.

"Ini berarti tren pengurangan curah hujan mulai dirasakan di sebagian besar wilayah Indonesia, meskipun secara spasial belum merata," katanya.

"Sumatra dan Kalimanta justru telah mengalami beberapa dasarian berturut-turut dengan curah hujan yang lebih rendah dari normal, sehingga indikasi awal musim kemarau lebih cepat terlihat di wilayah tersebut dibanding wilayah selatan Indonesia," sambungnya.

Hanya saja, imbuh dia, pada bulan April-Mei lalu, beberapa wilayah di Indonesia bagian selatan mengalami kondisi curah hujan Atas Normal, termasuk Sumatra Selatan, Jawa, Bali, NTB, NTT, sebagian kecil Kalimantan, sebagian wilayah Sulawesi, dan Papua bagian selatan.

"Pola ini menunjukkan transisi musim kemarau tidak berlangsung seragam di seluruh Indonesia," ungkap Dwikorita.

"Berdasarkan prediksi cuaca bulanan terbaru, BMKG memperkirakan kondisi curah hujan dengan kategori Atas Normal masih akan berlanjut di sebagian wilayah hingga bulan Oktober 2025. Karena itu, BMKG menyatakan konfirmasi kembali, musim kemarau tahun 2025 cenderung akan memiliki durasi yang lebih pendek dibandingkan dengan normalnya dengan sifat hujan di atas normal," terangnya.

Akibat Hujan di Periode Kemarau

Kondisi curah hujan yang tetap tinggi selama periode kemarau, kata Dwikorita, memicu 2 konsekuensi yang harus dipahami dan disikapi secara tepat.

"Di satu sisi, hujan selama musim kemarau dapat jadi berkah bagi petani padi, karena pasokan air irigasi relatif tetap tersedia. Ini dapat mendukung kelangsungan masa tanam dan produksi pertanian," ujarnya.

"Namun, peningkatan curah hujan di musim kemarau juga menimbulkan risiko bagi pertanian hortikultura, yang pada umumnya lebih sensitif terhadap kondisi kelembapan tinggi. Tanaman hortikultura seperti cabai, bawang, dan tomat sangat rentan terhadap serangan hama dan penyakit akibat kelembaban berlebih," cetusnya.

Karena itu, Dwikorita mengimbau petani hortikultura untuk mengantisipasi kondisi ini dengan menyiapkan sistem drainase yang baik dan perlindungan tanaman yang memadai.

"Penting kesiapsiagaan berbagai pihak, termasuk pemerintah daerah dan masyarakat, untuk merespons dinamika iklim yang semakin tidak menentu," tukasnya.

"Kita tidak bisa lagi berpaku pada pola iklim lama. Perubahan iklim global menyebabkan anomali-anomali yang harus kita waspadai dan adaptasi harus dilakukan secara cepat dan tepat," tegas Dwikorita.

Lanjutnya, informasi prediktif dan analisis dari BMKG harus menjadi landasan dalam menyusun kebijakan dan strategi adaptasi di berbagai sektor, mulai dari pertanian, pengelolaan sumber daya air, hingga penanggulangan bencana.

"Musim kemarau tahun ini bukan hanya tantangan, tapi juga peluang untuk menguji kemampuan adaptasi nasional terhadap dinamika iklim yang semakin kompleks," kata Dwikorita.

"Dengan kerangka pemantauan atmosfer yang terus diperbarui secara real time, BMKG memastikan akan terus menyampaikan informasi iklim yang akurat, terukur, dan relevan bagi seluruh lapisan masyarakat. BMKG akan terus berkomitmen mendampingi masyarakat dan pemangku kepentingan dalam membaca perubahan cuaca dan iklim dengan lebih presisi, agar setiap langkah ke depan bisa lebih bijak dan berbasis data," pungkasnya.


(dce/dce)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article La Nina Berakhir, BMKG Jelaskan Kapan Musim Kemarau Tahun 2025 Dimulai

Read Entire Article
Kepri Bersatu| | | |