Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar dolar Amerika Serikat (AS) tengah mengalami tekanan berat sejak Presiden Donald Trump resmi kembali menjabat pada 20 Januari 2025. Pelemahan dolar AS ini merupakan salah satu bentuk dari menggemanya arus "sell America" yang kencang sejak era Trump.
Istilah "sell America" trade merujuk pada situasi di mana investor menjual aset-aset Amerika Serikat, termasuk saham, obligasi, dan instrumen keuangan lainnya, demi beralih ke pasar luar negeri atau aset safe haven seperti emas.
Fenomena ini biasanya terjadi karena adanya kekhawatiran terhadap kondisi ekonomi AS. Di antaranya adalah menurunnya kepercayaan terhadap kelayakan kredit AS, ketidakstabilan fiskal, kebijakan perdagangan yang dinilai proteksionis atau merugikan mitra dagang, serta risiko politik.
Dalam kurun waktu kurang dari enam bulan sejak Trump dilantik, indeks dolar AS (DXY) sudah merosot hingga 9,25%, mencerminkan hilangnya kepercayaan investor global terhadap stabilitas ekonomi Negeri Paman Sam di bawah kepemimpinan Trump.
Indeks dolar bahkan ditutup ditutup di 97,858 pada perdagangan kemarin, Selasa (26/6/2025). Posisi tersebut adalah yang terendah sejak 17 Maret 2022 atau awal perang Rusia-Ukraina.
Pelemahan dolar ini bukan sekadar fenomena pasar biasa. Investor global mulai kehilangan kepercayaan terhadap prospek fiskal dan stabilitas ekonomi AS di bawah kepemimpinan Trump jilid dua.
Sentimen pasar yang negatif diperparah dengan meningkatnya risiko geopolitik dan keputusan lembaga pemeringkat global yang menyiratkan kekhawatiran mendalam terhadap kelayakan utang pemerintah AS.
Ada lima katalis utama yang mempercepat tekanan terhadap dolar AS dalam beberapa bulan terakhir:
1. Kebijakan Tarif Trump dan Ketegangan Dagang Baru
Trump kembali menghidupkan semangat proteksionisme lewat kebijakan "Liberation Day" yang diumumkan pada 2 April 2025.
Dalam pidato resminya, Trump menyatakan bahwa AS harus keluar dari ketergantungan terhadap China dan negara-negara pesaing lainnya. Sepekan setelah pengumuman tersebut, tepatnya 7 April 2025, AS resmi menaikkan tarif impor terhadap produk-produk asal China, Meksiko, Vietnam, Indonesia, dan banyak negara lainnya.
Langkah ini langsung memicu respons negatif dari mitra dagang dan menciptakan ketegangan baru dalam rantai pasok global. Pasar memandang kebijakan ini akan memicu kenaikan harga barang impor, memperburuk inflasi domestik, dan menekan pertumbuhan ekonomi. Ketidakpastian dagang pun membuat investor mengurangi eksposur terhadap dolar AS.
2. Harapan Pemangkasan Suku Bunga AS (Fed)
Para pejabat bank sentral AS The Federal Reserve (The Fed) semakin mendukung kemungkinan pemangkasan suku bunga tahun ini.
Hal ini menekan imbal hasil obligasi AS, membuat dolar kurang menarik bagi investor.
3. Turunnya Ketegangan Timur Tengah & Harga Minyak
Kesepakatan gencatan senjata Israel-Iran mereda, membuat harga minyak global kembali turun. Hal ini menurunkan permintaan dolar sebagai instrumen safe-haven.
Harga minyak mentah dunia ambruk 6% pada perdagangan kemarin, Selasa (25/6/2025). Jatuhnya harga minyak kemarin juga memperpanjang tren negatifnya. Harga minyak sudah jatuh 14% dalam tiga hari beruntun.
Harga minyak turun tajam untuk hari kedua berturut-turut. Minyak mentah AS ditutup melemah 6%, sementara Brent sebagai acuan internasional jatuh 6,1%. Sehari sebelumnya, harga minyak mentah AS sempat merosot lebih dari 7%. Kenaikan saham semakin menguat ketika harga minyak mencapai titik terendah baru dalam sesi perdagangan.
4. Kekhawatiran Defisit & Utang Pemerintah
Kekhawatiran soal defisit anggaran AS yang membengkak (dengan paket stimulus dan pemotongan pajak) turut mengurangi kepercayaan komunitas investasi terhadap dolar.
Defisit anggaran federal Amerika Serikat pada Mei 2025 menembus US$ 314 miliar. Sementara itu, defisit kumulatif tahun fiskal 2025 (Oktober 2024-Mei 2025) mencapai US$ $1,4 triliun, naik sekitar 7% dibanding tahun sebelumnya.
5.Penurunan Rating Utang AS oleh Moody's
Pada 16 Mei 2025, Moody's resmi menurunkan peringkat utang jangka panjang AS dari Aaa menjadi Aa1. Ini merupakan penurunan pertama sejak krisis fiskal lebih dari satu dekade lalu. Moody's menyebutkan bahwa keputusan tersebut diambil karena memburuknya outlook fiskal AS, lonjakan utang publik, serta lemahnya komitmen politik dalam menurunkan beban anggaran.
Penurunan rating ini menjadi tamparan keras bagi dolar AS. Total utang nasional Amerika Serikat telah menembus US$30.000 miliar , hal mencerminkan tekanan fiskal yang semakin berat di tengah belanja pemerintah yang tinggi dan pendapatan pajak yang stagnan.
Investor institusi global seperti bank sentral dan dana pensiun mulai menyesuaikan portofolionya, beralih dari aset dolar ke aset dengan risiko fiskal lebih rendah seperti euro atau franc Swiss. Arus keluar ini memperburuk tekanan terhadap indeks dolar AS (DXY) dan memperlemah posisi dolar sebagai aset lindung nilai utama di pasar global.
CNBC RESEARCH INDONESIA
(evw/evw)