Jakarta, CNBC Indonesia - Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump berbeda pandangan dengan badan intelijen negaranya sendiri soal ancaman nuklir Iran. Ia mengatakan bahwa Direktur Intelijen nasionalnya Tulsi Gabbard salah atas kesaksiannya di Kongres KTT G7 di Kanada yang menyatakan Iran belum melanjutkan program senjata nuklirnya sejak dihentikan pada 2003.
Kesaksian Gabbard mengutip data badan intelijen AS yang menyatakan tidak ada bukti Iran mengaktifkan kembali program nuklir militer mereka. Sementara itu, Trump mengatakan kepada wartawan bahwa dirinya tidak peduli dan percaya Iran berada pada tahap akhir pengembangan senjata nuklir.
"Saya tidak peduli dengan pernyataannya," tegas Trump dilansir Aljazeera, Sabtu (21/6).
"Kalau begitu, komunitas intelijen saya salah. Direktur intelijen nasional, Tulsi Gabbard salah," kata Trump.
Gabbard pun tampaknya membenarkan ucapan Trump pada saat itu.
"Amerika memiliki informasi intelijen bahwa Iran sudah berada pada titik di mana mereka dapat memproduksi senjata nuklir dalam beberapa minggu hingga bulan, jika mereka memutuskan untuk menyelesaikan perakitannya. Presiden Trump telah menegaskan bahwa hal itu tidak mungkin terjadi, dan saya setuju," tulisnya dalam sebuah unggahan di media sosial.
Namun, pernyataan itu tidak bertentangan dengan penilaian sebelumnya bahwa Iran tidak sedang membangun senjata. Tidak ada penilaian intelijen AS yang menyimpulkan bahwa Iran sedang mempersenjatai program nuklirnya.
Foto: Presiden AS Donald Trump, Menteri Pertahanan AS Pete Hegseth dan ibu negara Melania Trump bertepuk tangan selama parade Ulang Tahun ke-250 Angkatan Darat AS, pada hari yang sama dengan ulang tahun ke-79 Presiden AS Donald Trump, di Washington, D.C., AS, 14 Juni 2025. (REUTERS/Carlos Barria)
Presiden AS Donald Trump, Menteri Pertahanan AS Pete Hegseth dan ibu negara Melania Trump bertepuk tangan selama parade Ulang Tahun ke-250 Angkatan Darat AS, pada hari yang sama dengan ulang tahun ke-79 Presiden AS Donald Trump, di Washington, D.C., AS, 14 Juni 2025. (REUTERS/Carlos Barria)
Menurut analis politik senior Al Jazeera, Marwan Bishara mengatakan bahwa sangat jarang bagi seorang Presiden AS untuk secara terbuka menentang komunitas intelijen negara itu. Para kritikus menuduh Trump secara terang-terangan mengabaikan bukti untuk membenarkan potensi keterlibatan langsung AS dalam pertempuran itu.
"Ini bukan hanya satu orang, satu tim yang mengatakan sesuatu. Ini adalah seluruh komunitas intelijen di Amerika Serikat. Bahwa dia mengabaikan mereka sungguh mengejutkan," paparnya.
Berbicara pada hari Jumat (20/6), Trump juga tampak meremehkan prospek AS menjadi perantara perjanjian gencatan senjata antara Iran dan Israel, dengan mengatakan bahwa ia mungkin mendukung kesepakatan tersebut, dan menyebut bahwa Israel berhasil dalam hal perang dan Iran tidak melakukannya dengan baik.
"Sulit untuk mengajukan permintaan itu sekarang. Ketika seseorang menang, itu lebih sulit daripada ketika mereka kalah," tambahnya.
Trump pada hari Kamis mengatakan ia akan membutuhkan waktu dua minggu untuk memutuskan tanggapan AS terhadap konflik tersebut. Para ahli mengatakan keputusan itu kemungkinan akan bersifat transformatif.
AS dipandang sebagai salah satu dari sedikit negara yang memiliki pengaruh untuk menekan Israel agar mundur dari ambang perang regional berskala lebih luas.
Pada saat yang sama, keterlibatan militer AS dipandang sebagai kunci misi Israel untuk membongkar sepenuhnya program nuklir Iran, yang bergantung pada penghancuran pabrik pengayaan bawah tanah Fordow.
Serangan yang berhasil terhadap fasilitas tersebut akan membutuhkan GBU-57 Massive Ordnance Penetrator seberat 30.000 pon (13.000 kg) milik Washington dan pesawat pengebom B-2 yang dibutuhkan untuk mengirimkannya.
Trump juga meremehkan potensi peran negara-negara Eropa dalam meredakan situasi. Hal itu terjadi beberapa jam setelah Menteri Luar Negeri Iran, Abbas Araghchi bertemu dengan para diplomat tinggi dari Prancis, Inggris, Jerman, dan Uni Eropa di Jenewa.
"Eropa tidak akan dapat membantu," ucap Trump.
(lih/wur)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Jumlah 'Hukuman Mati' Melonjak di Arab Saudi, Naik Dua Kali Lipat