Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Konsep Masyarakat 5.0 merupakan gagasan futuristik yang pertama kali diperkenalkan oleh pemerintah Jepang sebagai respons terhadap berbagai dampak Revolusi Industri 4.0. Masyarakat 5.0 tidak hanya menekankan pada pertumbuhan ekonomi melalui teknologi, tetapi juga pada integrasi teknologi canggih seperti kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) dan realitas tertambah (Augmented Reality/AR) untuk menyelesaikan permasalahan sosial serta meningkatkan kualitas hidup manusia secara menyeluruh (Fukuyama, 2018).
Di tengah transformasi digital global, AI dan AR dianggap sebagai pilar utama dalam membentuk sistem masyarakat yang lebih cerdas, efisien, dan berorientasi pada manusia. Teknologi ini memiliki potensi untuk meningkatkan produktivitas di berbagai sektor, mulai dari kesehatan, pendidikan, transportasi, hingga industri kreatif.
Namun, di balik potensi besar tersebut, muncul berbagai tantangan dan hambatan yang harus dihadapi, terutama dalam konteks negara berkembang seperti Indonesia. Mulai dari keterbatasan infrastruktur digital, kurangnya literasi teknologi di kalangan masyarakat, hingga persoalan etika dan keamanan data, semua menjadi hambatan nyata dalam mengimplementasikan AI dan AR secara luas.
Belum lagi, ketimpangan akses teknologi juga memperbesar risiko kesenjangan sosial dan ekonomi di era digital. Oleh karena itu, penting untuk memahami secara menyeluruh tantangan-tantangan tersebut agar implementasi AI dan AR dalam kerangka Masyarakat 5.0 benar-benar memberikan manfaat merata bagi seluruh lapisan masyarakat (World Bank, 2021; CNBC Indonesia, 2025).
Salah satu tantangan utama dalam penerapan AI dan AR di era Masyarakat 5.0 adalah keterbatasan infrastruktur digital yang belum merata. Di banyak wilayah Indonesia, terutama daerah terpencil dan kepulauan, akses internet masih belum stabil, bahkan tidak tersedia sama sekali.
Padahal, konektivitas yang andal dan cepat menjadi fondasi penting dalam menjalankan sistem berbasis AI dan AR. Tanpa dukungan infrastruktur tersebut, penerapan teknologi canggih ini akan timpang dan hanya dinikmati oleh kelompok masyarakat tertentu yang tinggal di pusat-pusat kota (World Bank, 2021). Hal ini memperbesar digital divide atau kesenjangan digital, yang pada akhirnya menciptakan ketidaksetaraan akses terhadap layanan teknologi dan informasi.
Selain itu, implementasi AI dan AR membutuhkan dukungan perangkat keras dan lunak yang canggih, seperti cloud computing, edge computing, dan sensor-sensor cerdas yang masih mahal dan belum terjangkau oleh banyak institusi, khususnya di sektor publik.
Banyak lembaga pendidikan, pelayanan kesehatan, hingga usaha kecil menengah (UKM) masih tertinggal dalam pemanfaatan teknologi karena keterbatasan sumber daya manusia, pendanaan, maupun kebijakan yang mendukung adopsi teknologi digital secara menyeluruh (Kementerian Kominfo RI, 2023).
Tantangan berikutnya yang tak kalah penting adalah persoalan etika dan perlindungan data pribadi dalam penggunaan teknologi AI dan AR. AI memiliki kemampuan untuk memproses dan menganalisis data dalam jumlah besar, termasuk data pribadi masyarakat, yang jika tidak diatur dengan ketat dapat berpotensi disalahgunakan.
Masalah ini menjadi lebih kompleks ketika tidak ada regulasi yang kuat dan mekanisme pengawasan yang efektif terhadap praktik pengumpulan dan pemanfaatan data.
Kasus penyalahgunaan data dan pengawasan berlebihan melalui teknologi berbasis AI telah banyak terjadi di berbagai negara. Di Indonesia, belum adanya undang-undang perlindungan data pribadi yang benar-benar diterapkan secara ketat membuka peluang terjadinya pelanggaran hak privasi warga negara.
Dalam artikel opini yang membahas polemik keamanan nasional, disebutkan bahwa penguasaan teknologi oleh aktor-aktor tertentu bisa disalahgunakan untuk kepentingan politik atau kontrol sosial yang menyalahi prinsip hak asasi manusia (CNBC Indonesia, 2025). Penggunaan teknologi semacam pengenalan wajah (facial recognition) atau pengawasan digital yang tidak transparan dan tidak akuntabel bisa mengarah pada praktik otoriter dan penindasan kebebasan sipil.
Tantangan lain yang juga signifikan adalah resistensi dari masyarakat terhadap penggunaan AI dan AR, terutama akibat rendahnya tingkat literasi digital. Banyak masyarakat yang masih belum memahami cara kerja dan manfaat teknologi tersebut, sehingga muncul ketakutan dan kecurigaan terhadap penggunaannya dalam kehidupan sehari-hari.
Misalnya, penggunaan AR dalam dunia pendidikan atau pariwisata sering kali dianggap sebagai "gimmick" semata karena kurangnya pemahaman tentang cara mengakses dan memanfaatkannya secara optimal.
Selain itu, kekhawatiran mengenai hilangnya lapangan kerja akibat otomatisasi oleh AI juga menjadi hambatan sosial yang tidak bisa diabaikan. Banyak tenaga kerja yang merasa posisinya terancam digantikan oleh mesin atau sistem otomatis, terutama di sektor-sektor pekerjaan yang bersifat rutin dan administratif (ILO, 2020).
Oleh karena itu, penting bagi pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya untuk melakukan pendekatan edukatif dan transformatif, guna membangun kesadaran dan keterampilan digital yang merata di semua lapisan masyarakat.
AI dan AR berkembang sangat cepat, jauh melampaui kecepatan penyusunan kebijakan dan hukum yang dapat mengaturnya. Saat ini, Indonesia masih tertinggal dalam merumuskan kebijakan teknologi yang adaptif dan berbasis pada prinsip-prinsip etika digital dan Hukum. Padahal, dalam era Masyarakat 5.0, regulasi yang jelas dan proaktif menjadi kunci untuk memastikan bahwa teknologi digunakan secara bertanggung jawab dan tidak merugikan masyarakat.
Ketiadaan standar etika global dalam pengembangan dan penggunaan AI juga menimbulkan dilema dalam penerapannya. Tanpa koordinasi lintas negara dan kerjasama internasional, AI dapat menjadi alat yang dimonopoli oleh segelintir korporasi besar atau negara kuat untuk kepentingan mereka sendiri.
Dalam konteks ini, penting untuk mengembangkan prinsip-prinsip inklusif dan partisipatif dalam tata kelola teknologi, agar AI dan AR dapat benar-benar berkontribusi pada keadilan sosial dan pembangunan berkelanjutan.
Masyarakat 5.0 menawarkan sebuah visi masa depan yang menjanjikan, di mana teknologi seperti AI dan AR tidak hanya menjadi alat bantu, tetapi juga solusi nyata bagi berbagai tantangan sosial. Namun, implementasi teknologi ini tidaklah mudah.
Tantangan infrastruktur yang belum merata, persoalan etika dan privasi, resistensi sosial, serta belum adanya regulasi yang kuat menjadi hambatan serius dalam proses transformasi ini. Jika tidak ditangani dengan tepat, keberadaan AI dan AR justru bisa memperdalam ketimpangan sosial, memperbesar risiko pelanggaran hak asasi manusia, dan menciptakan kontrol teknologi yang membahayakan demokrasi.
Pendekatan yang inklusif dan strategis sangat dibutuhkan. Pemerintah harus berperan aktif dalam membangun infrastruktur digital yang merata, menyusun regulasi yang adaptif dan berorientasi pada hak-hak sipil, serta mendorong peningkatan literasi digital masyarakat.
Di sisi lain, perusahaan dan pengembang teknologi juga memiliki tanggung jawab moral untuk menciptakan sistem yang adil, transparan, dan etis dalam penggunaannya. Kolaborasi antara berbagai pihak pemerintah, swasta, akademisi, dan masyarakat sipil merupakan kunci untuk memastikan bahwa AI dan AR benar-benar menjadi teknologi yang human-centered, sesuai dengan semangat Masyarakat 5.0.
Surat Edaran Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 9 Tahun 2023 tentang Etika Kecerdasan Artifisial tidak memiliki implikasi Hukum yang konkret dan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang informasi transaksi elektronik sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tidak dengan tegas membahas secara tegas tentang batasan AI & AR sehingga perlu adanya suatu UU khusus yang dapat mengakomodasi segala ruang lingkup, larangan, nilai ekonomi (hak cipta) terkait AI & AR.
(miq/miq)