-
IHSG dan Obligasi RI berhasil hijau pekan lalu, tapi rupiah masih loyo dihadapan dolar AS.
-
Wall Street mulai koreksi gara-gara ulah Trump tuntut tarif sampai 20% ke Uni Eropa
-
Sentimen eksternal masih akan menjadi sorotan pekan ini mulai dari efek dari tarif Trump sampai menanti pidato Jerome Powell.
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar saham dan obligasi Tanah Air bergerak positif pekan lalu, tetapi rupiah dalam melawan dolar Amerika Serikat (AS) masih loyo.
Bursa saham dan rupiah diperkirakan akan sedikit volatile pada pekan ini. Selengkapnya mengenai proyeksi dan sentimen hari ini dan satu pekan ke depan bisa dibaca pada halaman 3 artikel ini.
Membahas soal pasar saham pekan lalu, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terpantau hijau royo-royo.
IHSG pada perdagangan Jumat (18/7/2025) parkir di zona hijau 7311,91, dalam sehari menguat 0,34%, mengakumulasi penguatan sepanjang pekan sebesar 3,75%. IHSG berhasil bertahan di tren positif selama 10 hari beruntun, ini merupakan rekor yang pertama sejak Oktober 2019 atau lima tahun lebih.
Nilai transaksi yang terjadi pada Jumat lalu (18/7/2025) juga ramai sampai Rp17 triliun melibatkan 31,16 miliar lembar saham yang berputar sebanyak 1,67 juta kali. Ada sebanyak 284 saham menguat, 324 melemah, dan sisanya 197 saham stagnan. Dengan begitu, market cap IHSG berada di Rp13,10 kuadriliun.
Menariknya, asing mulai terpantau mencatat net buy setelah berbulan-bulan terus melego saham RI. Pada Jumat asing mencatat beli bersih Rp217,87 miliar di keseluruhan pasar saham, menandai dua hari asing membeli saham RI, jika diakumulasi mencapai lebih dari Rp800 miliar, nilai ini lumayan menghapus net sell sepanjang pekan menjadi Rp1,45 triliun.
Sayangnya, net buy di pasar saham RI ini tidak berdampak optimal ke pasar nilai tukar yang terlihat dari rupiah masih loyo di hadapan dolar Amerika Serikat (AS).
Merujuk data Refinitiv, rupiah berakhir di posisi Rp16.285/US$, pada perdagangan Jumat sebenarnya ada penguatan sebesar 0,25%, sayangnya ini belum bisa menutup pelemahan dalam sepekan sebanyak 0,49% terhadap dolar AS.
Pelemahan rupiah terjadi seiring dengan indeks dolar AS (DXY) yang terus menguat. Sepanjang pekan lalu, the greenback menanjak 0,61% ke posisi 98,46.
Penguatan dolar AS baru-baru ini didorong oleh inflasi negeri Paman Sam yang kembali naik, kebijakan tarif impor Presiden Trump, serta ketidakpastian pasar terhadap arah suku bunga The Fed.
Inflasi tahunan AS naik menjadi 2,7% pada Juni 2025, dengan inflasi inti mencapai 2,9%. Kenaikan harga paling signifikan terjadi pada sektor makanan, transportasi, serta mobil dan truk bekas, sementara harga energi turun lebih lambat dari bulan sebelumnya. Kenaikan harga gas alam hingga 14,2% juga turut memperburuk tekanan inflasi.
Kondisi ini memicu kekhawatiran bahwa The Fed akan menunda pemangkasan suku bunga, karena tekanan inflasi belum mereda. Pasar pun mulai menyesuaikan ekspektasi kebijakan moneter.
Di sisi lain, pasar obligasi masih terpantau hijau, tercermin dari yield surat utang acuan dengan tenor 10 tahun (ID10Y) yang menunjukkan penurunan.
Perlu dipahami dulu, yield dan harga pada obligasi bergerak berlawanan arah. Jadi, yield yang turun, menunjukkan harga obligasi sedang naik, artinya investor masih terus membeli.
Mengutip data Refinitiv, sepanjang pekan lalu yield SBN tenor 10 tahun turun 2,6 basis poin (bps) menjadi 6,55%. Dalam empat minggu, yield obligasi ini terus turun, menandai minat investor masih banyak di aset konservatif ini.
Pages