Jakarta, CNBC Indonesia - Di tengah ketidakpastian ekonomi global yang meningkat, investor akan cenderung mengalihkan dananya ke aset safe haven seperti emas, dolar Amerika Serikat (AS), yen Jepang, dan franc Swiss. Aset-aset ini dikenal mampu mempertahankan nilainya bahkan mampu menguat ketika gejolak melanda pasar keuangan global.
Namun kini, analis mulai menyoroti dolar Singapura (SGD) sebagai alternatif baru safe haven aset, terutama di kawasan Asia. Meskipun dolar AS masih menjadi mata uang cadangan utama dunia, nilainya justru mengalami pelemahan dalam beberapa waktu terakhir.
Sejak awal tahun, indeks dolar AS (DXY) telah terkoreksi sekitar 9% dan sempat menyentuh titik terendah dalam tiga tahun di level 96,37 pada awal Juli 2025. Sementara itu, yen Jepang juga tengah dibayangi ketidakpastian di pasar global.
Menurut Christopher Wong, FX strategist OCBC, dolar Singapura kini berperan sebagai "quasi safe haven", khususnya dalam konteks Asia dan pasar negara berkembang.
"Meskipun tidak memiliki status global seperti dolar AS, yen Jepang, atau franc Swiss, SGD cenderung menunjukkan karakter defensif selama periode tekanan finansial terutama yang berpusat di Asia," kata Wong dikutip dari CNBC International.
Melansir Refinitiv, sejak awal 2025, SGD telah menguat hampir 6% secara year-to-date. Dari posisi SGD 1,3641/US$ di awal Januari menjadi SGD 1,2849/US$ pada penutupan Jumat (18/7/2025), bahkan sempat menyentuh level terkuatnya di SGD 1,2695/US$ pada awal Juli 2025.
Apa yang Membuat SGD Jadi Safe Haven?
Omar Slim, Co-Head Asia Fixed Income di PineBridge Investments, menyebut kekuatan institusional Singapura sebagai faktor utama di balik status ini.
"SGD memang salah satu safe haven dunia, meski belum menjadi 'the next safe haven'. Stabilitas fiskal, fondasi ekonomi yang tangguh, serta kerangka kebijakan publik yang disiplin membuat SGD menarik di mata investor," ujar Oman dikutip dari CNBC International.
Senada dengan Oman, Felix Brill, Chief Investment Officer di VP Bank, menilai bahwa SGD memiliki banyak karakteristik safe haven modern, mulai dari stabilitas makroekonomi, institusi kuat, surplus transaksi berjalan yang besar hingga rendahnya risiko politik.
Felix menambahkan bahwa kerangka kebijakan moneter Singapura memberikan stabilitas luar biasa bagi mata uangnya ini merupakan sesuatu yang sangat dicari dalam aliran dana safe haven.
Berbeda dengan banyak negara lain, Singapura tidak menggunakan suku bunga untuk mengelola nilai tukar. Sebaliknya, otoritas moneter mengatur pergerakan SGD terhadap sekeranjang mata uang mitra dagang utama dalam sebuah koridor kebijakan. Kurs SGD tidak ditetapkan secara pasti, melainkan bergerak bebas dalam koridor yang level atas dan bawahnya tidak dipublikasikan.
Jeff Ng, Kepala Strategi Makro Asia di Sumitomo Mitsui Banking Corporation, memperkirakan lebar koridor tersebut sekitar 4%, yang membuat fluktuasi SGD relatif terbatas.
"Volatilitas yang rendah ini mengurangi risiko dan memberikan kepastian lebih besar dalam jangka pendek," ujar Jeff dikutip dari CNBC International.
Tantangan SGD Menjadi Safe Haven Global
Meski menjanjikan, para ahli menilai ada sejumlah hambatan yang harus diatasi sebelum SGD bisa setara dengan safe haven global lainnya.
Salah satu tantangan utama adalah ukuran pasar. Menurut data Bank for International Settlements (BIS) 2022, dolar AS menguasai 88% pasar valas global, diikuti yen (17%) dan franc Swiss (5%). Dolar Singapura hanya mencakup 2%, mencerminkan ukuran pasar yang masih kecil. Survei terbaru BIS dijadwalkan rilis pada September 2025.
"Ekonomi Singapura kecil. Pasar perdagangan dan obligasi dalam SGD belum sedalam pasar yen atau franc," ujar Brill dari VP Bank.
Selain itu, kerangka moneter Singapura yang menjaga stabilitas justru membatasi ruang gerak SGD di pasar global. Karena nilainya dikendalikan dalam koridor, potensi spekulasi dan volume transaksi besar menjadi terbatas, sehingga mengurangi likuiditas dan kedalaman pasar, dua aspek penting bagi sebuah safe haven global.
"Kerangka ini memperkuat kredibilitas, tapi membatasi skalabilitas," tegas Brill.
Faktor lain adalah tingginya ketergantungan Singapura terhadap ekspor. Data Bank Dunia menunjukkan, pada 2024 ekspor menyumbang 178,8% dari PDB Singapura. Karena itu, Otoritas Moneter Singapura (MAS) cenderung tidak membiarkan SGD menguat terlalu tajam, karena bisa menggerus daya saing ekspor.
"Jika investor membeli terlalu banyak aset SGD, kurs akan menguat. MAS kemungkinan akan mencegah hal ini agar tidak merugikan daya saing," ujar Trinh Nguyen, ekonom senior di Natixis CIB, CNBC International.
Meski dihadang sejumlah tantangan, SGD dinilai tetap berpotensi menjadi alat diversifikasi strategis dalam portofolio global.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(evw/evw)