Polemik 4 Pulau Aceh-Sumut dari Sudut Pandang Intelijen

19 hours ago 2

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Sebuah surat keputusan dari Kementerian Dalam Negeri mengenai penguasaan empat pulau, yakni Pulau Panjang, Pulau Mangkir Gadang, Pulau Mangkir Ketek, Pulau Lipan pada April 2025 yang sebelumnya menjadi bagian dari Provinsi Aceh berpindah tangan ke Provinsi Sumatra Utara.

Dalih yang digunakan Kemendagri adalah mengenai sengketa batas provinsi ini telah dikaji secara mendalam oleh Kemendagri, Pemerintah Provinsi Aceh dan Pemerintah Provinsi Sumatra Utara sejak tahun 2022.

Namun, publik Aceh terhenyak. Bagi sebagian orang, ini bukan sekadar persoalan teknis birokrasi. Ini adalah persoalan martabat, wilayah, dan - lebih dalam lagi adalah posisi Aceh dalam bingkai keutuhan Republik.

Keempat pulau yang terletak di perairan barat Sumatra itu memang tidak berpenghuni, namun bukan berarti tak bernilai. Wilayah sekitarnya diyakini menyimpan potensi besar cadangan gas dan minyak, menjadikannya kawasan yang krusial dari perspektif potensi sumber daya alam.

Meski pernyataan Gubernur Aceh tentang potensi migas di wilayah itu belum divalidasi secara teknis oleh BPMA, SKK Migas maupun Kementerian ESDM, lokasi pulau-pulau tersebut diketahui berdekatan dengan wilayah eksplorasi migas aktif di kawasan Aceh Singkil yang dikelola oleh Conrad Asia Energy Ltd.

Di tengah meningkatnya kebutuhan energi nasional dan desentralisasi kewenangan daerah dalam pengelolaan sumber daya alam, gesekan administratif seperti ini tidak bisa dipisahkan dari konteks perebutan akses terhadap potensi ekonomi strategis.

Dari Sengketa Batas ke Sinyal Ancaman: Perspektif Intelijen
Dari sudut pandang intelijen, konflik administratif antarprovinsi seperti ini tidak boleh dilihat sebagai kasus birokrasi belaka. Di balik peta, terdapat spektrum potensi gangguan yang lebih luas - mulai dari meningkatnya ketegangan horizontal, polarisasi elite lokal, hingga eksploitasi isu oleh aktor-aktor yang memiliki agenda terselubung.

Kecenderungan elite daerah untuk membangun narasi ketertindasan serta ketidakadilan terhadap pusat dapat menjadi pemicu bangkitnya kembali semangat separatisme kultural, terutama di daerah yang memiliki sejarah panjang perlawanan seperti Aceh.

Selain itu, intelijen perlu memperhatikan dinamika informasi yang berkembang di ruang digital. Klaim kehilangan wilayah, jika tidak ditangani secara transparan dan terkoordinasi, dapat dijadikan bahan propaganda oleh kelompok tertentu, baik yang berada di dalam maupun di luar negeri.

Beberapa akun anonim mulai memunculkan narasi seperti "Aceh kembali dicurangi oleh Jakarta", atau menyandingkan peristiwa ini dengan "pengkhianatan" terhadap MoU Helsinki. Ini merupakan early indicator dari operasi persepsi yang bisa membentuk opini publik Aceh secara negatif terhadap negara.

Aspek geostrategis juga tak bisa diabaikan. Walaupun pulau-pulau tersebut tidak memiliki penduduk tetap, namun keberadaannya berperan dalam penentuan garis dasar wilayah laut, zona ekonomi eksklusif (ZEE), dan klaim yurisdiksi atas sumber daya alam.

Secara intelijen teritorial, kehilangan kendali atas wilayah semacam ini - meskipun lewat prosedur administratif dapat memicu efek domino di tempat lain, khususnya di wilayah yang juga memiliki sejarah sensitivitas identitas dan sumber daya seperti Papua, dan Maluku.

Pencegahan Disintegrasi Lunak sebagai Rekomendasi
Bagi komunitas intelijen, ada tiga lapis risiko nyata yang harus segera diantisipasi:

1. Risiko Polarisasi Lokal dan Radikalisasi Wacana
Isu kehilangan wilayah bisa dipelintir menjadi narasi kecurangan terstruktur oleh pemerintah pusat, selain itu kelompok simpatisan GAM yang masih aktif secara politik atau sosial dapat memanfaatkan momen ini untuk memobilisasi opini yang dapat merugikan pemerintah.

Adanya potensi meningkatnya simpati masyarakat dalam berbagai kalangan terhadap ide self-determination pasca kesepakatan Helsinki.

2. Ancaman Ekonomi-Politik oleh Elite Lokal
Sengketa ini dapat menjadi alat tekanan politik untuk tawar-menawar dana otonomi khusus, pembagian hasil migas, serta alokasi proyek strategis. Elite lokal dapat memainkan isu ini ke tingkat nasional untuk memperkuat posisi tawarnya di depan pemerintah, bahkan jika harus mempertaruhkan stabilitas jangka panjang.

3. Eksploitasi oleh Aktor Eksternal dan Jaringan Transnasional
Aceh memiliki sejarah keterkaitan dengan jaringan internasional, termasuk berbagai akses ke forum HAM, NGO asing, dan opini media global yang dapat menekan kebijakan pemerintah pusat. Isu kedaulatan atas wilayah yang "dipindahkan" secara sepihak dapat dengan mudah dikapitalisasi dalam narasi adanya pelanggaran hak kolektif masyarakat lokal.

Rekomendasi
Pemerintah pusat perlu segera menjelaskan dasar hukum dan urgensi pemindahan ini secara terbuka, dengan melibatkan tokoh masyarakat Aceh serta pihak yang berkepentingan lainnya agar tidak menimbulkan kesan bahwa pemindahan registrasi empat pulau tersebut tidak didorong oleh kepentingan politik sesaat.

Badan Intelijen Negara (BIN), Kemendagri, dan Kementerian Koordinator Bidang Politik dan Keamanan harus memperkuat deteksi dini di media sosial, forum lokal serta komunikasi secara informal dengan elite di daerah.

Perlu adanya evaluasi ulang terhadap pendekatan komunikasi publik dan penangan isu sensitif terkait wilayah dengan melibatkan unsur kepercayaan, yakni tokoh-tokoh yang diyakini dapat menjembatani antara pihak pemerintah dengan masyarakat Aceh, sehingga diharapkan dapat diselesaikan masalah ini dengan baik.

Aceh dan Luka yang Tak Boleh Dibiarkan Terbuka
Kisah Aceh adalah kisah Republik Indonesia. Tidak ada satu wilayah lain di Indonesia yang punya sejarah luka dan rekonsiliasi sedalam Aceh.

Maka ketika sebagian tubuhnya - walau hanya berupa empat pulau tak berpenghuni kemudian berpindah tangan tanpa komunikasi yang memadai, luka itu menganga kembali. Negara boleh saja berdalih bahwa ini hanya urusan garis koordinat, tetapi bagi rakyat Aceh, ini tentang rasa memiliki.

Dari sudut pandang intelijen strategis, kehilangan wilayah bukan hanya soal peta, melainkan kehilangan legitimasi, kepercayaan, dan kontrol naratif. Dalam era di mana perang tak selalu ditembakkan dengan peluru, melainkan dengan opini dan persepsi, pengabaian terhadap sensitivitas lokal bisa menjadi bahan bakar yang berbahaya.

Pertanyaannya kini kembali menggema: Masihkah Aceh penting untuk republik? Jawaban itu tak boleh lahir dari rapat birokrasi - melainkan dari pengakuan mendalam bahwa keutuhan Indonesia dibangun dari rasa adil, rasa dihargai, dan rasa dimiliki bersama.


(miq/miq)

Read Entire Article
Kepri Bersatu| | | |