Pertamina Masih Kaji Rencana Peralihan Impor Minyak dari AS

5 hours ago 1

Jakarta, CNBC Indonesia - PT Pertamina (Persero) masih mengkaji rencana peralihan atau shifting impor minyak, khususnya dari Singapura ke Amerika Serikat (AS). yang pasti, peralihan impor ini membutuhkan dukungan regulasi dari pemerintah.

"Jadi ketika kajiannya memang nanti sudah selesai, dan memang secara regulasi nanti juga sudah diterbitkan oleh pemerintah, baru kita bisa eksekusi," ucap Vice President Corporate Communication Pertamina Fadjar Djoko Santoso di sela acara Kick Off Anugerah Jurnalistik Pertamina (AJP) 2025, di Jakarta, Selasa (17/6/2025).

Salah satu kajian yang dilakukan oleh Pertamina berkaitan dengan spesifikasi minyak mentah, apakah sesuai dengan kriteria fasilitas pemrosesan atau kilang minyak di Tanah Air.

"Ya harus dipastikan sesuai, karena kan ya buat apa kita mengimpor sesuatu yang tidak sesuai spek ya. Makanya kita kaji secara komprehensif, baik itu dari jenis crude-nya, kemudian dari cost-nya, dari jarak waktunya, itu semua kita kaji, supaya kajiannya kompresif nanti yang kita sampaikan ke pemerintah," tandasnya.

Sebelumnya, Direktur Utama Pertamina Simon Aloysius Mantiri mengungkapkan bahwa setidaknya ada tiga hal yang diperhatikan oleh pihaknya sebelum menambah jumlah impor migas dari AS. Adapun hal ini harus dimitigasi dengan matang karena bisa berdampak pada ketahanan energi nasional.

"Dalam menindaklanjuti rencana peningkatan porsi impor migas dari AS ini tentu tidak lepas dari berbagai tantangan teknis dan resiko yang harus dipertimbangkan secara matang baik dari segi logistik dan distribusi, kesiapan infrastruktur hingga aspek keekonomian untuk mitigasi risiko yang dapat mengganggu ketahanan energi nasional," jelasnya dalam Rapat Dengar Pendapat Komisi VI DPR RI, Jakarta, dikutip Jumat (23/5/2025).

Simon mengatakan bahwa jarak AS dengan Indonesia terpaut hingga 40 hari untuk bisa mengantar migas. Hal itu dinilai jauh lebih lama dibandingkan jika Indonesia mengimpor dari negara-negara Timur Tengah.

"Risiko utama adalah dari sisi jarak dan waktu pengiriman dari Amerika Serikat yang jauh lebih panjang yaitu sekitar 40 hari dibandingkan sumber pasokan dari Timur Tengah ataupun negara Asia," jelasnya.

Risiko lain adalah perihal kondisi cuaca yang dinilai bisa berdampak kepada ketahanan stok nasional.

"Karena itu, Pertamina saat ini sedang melakukan kajian komprehensif mencakup aspek teknis, komersial, dan risiko operasional untuk memastikan bahwa skenario peningkatan suplai dari Amerika Serikat dapat dilakukan secara efektif," tambahnya.

Maka, Pertamina menilai perlunya dukungan kebijakan dari pemerintah dalam bentuk payung hukum sebagai dasar pelaksanaan kerjasama suplai energi untuk RI.

"Komitmen kerjasama secara G2G antara pemerintah Indonesia dan pemerintah Amerika Serikat akan memberikan kepastian politik dan regulasi dan selanjutnya dapat diturunkan ke dalam bentuk kerjasama bisnis to bisnis di level teknis dan operasional antar perusahaan," tutupnya.


(pgr/pgr)
[Gambas:Video CNBC]

Next Article Kasus Minyak Berdampak pada Impor BBM RI? Ini Kata Dirut Pertamina

Read Entire Article
Kepri Bersatu| | | |