Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Dunia hari ini sedang menyaksikan salah satu fase terendah dalam sejarah peradaban modern. Perang dan agresi militer terjadi secara terbuka di berbagai kawasan, dari Eropa Timur yang dilanda konflik Rusia-Ukraina hingga kawasan Timur Tengah yang terus bergolak.
Terkini perang berkecamuk antara Israel dan Iran setelah Israel mengagresi wilayah Iran yang menyulut retaliasi (serangan balasan) Iran dan kemarahan negara tetangga lainnya.
Di Gaza, Palestina, dunia menyaksikan sebuah ironi yang memilukan - di abad ke-21, ketika ilmu dan teknologi telah mencapai puncaknya, justru terjadi pembantaian kemanusiaan yang dilakukan secara terang-terangan, sistematis, dan penuh arogansi oleh negara yang merasa kebal dari hukum internasional dan nilai-nilai moral global, yaitu Israel.
Di sana, anak-anak dibunuh, ibu-ibu dan orang tua dihabisi, rakyat sipil dibom, rumah sakit dihancurkan, dan blokade dipertahankan tanpa belas kasih untuk sekadar masuknya misi dan bantuan kemanusiaan. Sementara dunia hanya mampu mengecam dari kejauhan tanpa kuasa menghentikan.
Kita mengira perang mesin antarnegara dan penjajahan atas manusia berhenti di era modern ini, namun ternyata salah. Di tengah pencapaian luar biasa umat manusia dalam ilmu pengetahuan, teknologi, dan demokrasi, praktik kekerasan, penjajahan, dan ketidakadilan justru masih terus berlangsung - bahkan dalam bentuk yang lebih sistematis dan terang-terangan.
Era modern yang seharusnya menjadi simbol puncak kematangan etika manusia justru memperlihatkan ironi besar. Kita punya teknologi canggih, AI, internet, dan akses ke seluruh ilmu di dunia, tapi masih saja ada manusia berwatak jahat yang menggunakan semua itu untuk merancang perang, menciptakan drone pembunuh, dan menyebarkan propaganda kebencian.
Fenomena tersebut menyiratkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tak serta-merta membawa umat manusia kepada peradaban yang lebih beradab dan bermartabat. Bahkan, kecanggihan tersebut justru kerap dijadikan alat untuk menjustifikasi kekerasan, memperkuat dominasi, dan menumpulkan empati. Inilah paradoks besar zaman kita: di saat dunia seharusnya menjadi tempat yang lebih aman, ia justru berubah menjadi panggung pertunjukan kebrutalan yang canggih.
Nilai-nilai kemanusiaan - hak hidup, martabat, kebebasan, dan keadilan - tak lagi menjadi kompas utama, melainkan sering dikorbankan di altar kekuasaan dan kepentingan geopolitik.
Kesadaran Moral Kemanusiaan Sebagai fondasi SDM Global
Dalam konteks inilah, kesadaran moral kemanusiaan global menjadi kebutuhan yang sangat mendesak. Tanpa fondasi moral, kemajuan pengetahuan dan teknologi hanyalah alat netral yang bisa digunakan untuk menyelamatkan atau menghancurkan.
Apa gunanya kecanggihan teknologi jika digunakan untuk menghancurkan kemanusiaan dan menjadi mesin pembunuh masal? Apa maknanya kecerdasan buatan jika dimanfaatkan untuk mengendalikan opini publik demi melanggengkan tirani? Sejarah telah berkali-kali membuktikan bahwa ilmu tanpa nilai, kemajuan tanpa hati nurani, hanya akan membawa manusia pada kehancuran yang lebih sistematis dan tak bermoral.
Para pemikir kontemporer telah lama mengingatkan hal ini. Thomas Lickona (1991) menyebut bahwa krisis terbesar abad ini bukanlah krisis ekonomi atau politik, melainkan krisis karakter. Manusia pintar tanpa budi pekerti, menurutnya, bisa menjadi sosok paling berbahaya dalam peradaban.
Martha Nussbaum (2011), melalui pendekatan capabilities, menekankan bahwa kualitas manusia seharusnya dinilai dari kemampuannya untuk merasa, memahami, dan bertindak secara bermoral terhadap sesama, bukan hanya dari efisiensinya dalam dunia kerja. Di mata Nussbaum, peradaban sejati ditandai oleh keberdayaan manusia untuk berempati dan membela keadilan, bukan oleh kemampuannya mengejar keuntungan pribadi.
Futuris seperti John Naisbit dalam bukunya Megatrends (edisi pertama terbit 1982), menulis satu konsep "The more high-tech we become, the more high-touch we need," yang artinya, semakin canggih teknologi yang kita bangun, semakin besar pula kebutuhan akan sentuhan kemanusiaan (human touch) - nilai moral, empati, dan spiritualitas.
Tanpa "high touch", kemajuan teknologi justru akan membuat manusia terasing dan kehilangan arah. Naisbitt melihat bahwa perubahan sosial, ekonomi, dan teknologi yang cepat membutuhkan penyeimbang berupa nilai-nilai etika dan moralitas.
Dalam Global Paradox (edisi pertama terbit 1994), ia menegaskan bahwa globalisasi hanya akan sukses jika diimbangi oleh akar moral yang kuat dalam komunitas lokal dan identitas budaya. Tanpa fondasi moral ini, globalisasi bisa menjadi bentuk dominasi dan dehumanisasi.
Maka, membangun karakter SDM yang beradab bukanlah proyek pendidikan biasa - ini adalah pekerjaan peradaban. Dunia membutuhkan manusia-manusia yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tapi juga matang secara moral.
Kesadaran moral kemanusiaan global harus menjadi pijakan utama dalam membentuk SDM, agar mereka mampu menghadirkan peran yang berpihak pada kehidupan, bukan kematian; pada keadilan, bukan kekuasaan semata.
Inilah amanat zaman yang tak bisa ditunda: mengembalikan moralitas ke pusat peradaban. Sebab bila tidak, maka ilmu pengetahuan hanya akan menjadi senjata, dan teknologi hanya akan menjadi instrumen kehancuran. Kita tidak hanya sedang mempertaruhkan masa depan umat manusia, tetapi juga esensi dari kemanusiaan itu sendiri.
(miq/miq)