- Pasar keuangan Indonesia ambruk berjamaah, IHSG dan rupiah ambles
- Bursa global melemah sementara Wall Street tutup pada perdagangan kemarin
- Masih memanasnya perang, kebijakan suku bunga dan rebalancing di IHSG akan menjadi penggerak pasar hari ini
Jakarta, CNBC Indonesia - Pergerakan pasar keuangan Tanah Air pada perdagangan kemarin ambruk berjamaah. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan rupiah mengalami pelemahan yang sangat tajam. IHSG harus kembali ke level psikologis 6.900, sementara rupiah harus berada di level psikologis Rp16.300/US$1.
Mengingat hari ini adalah hari terakhir perdagangan pasar keuangan Tanah Air, diperkirakan IHSG & rupiah masih berpeluang untuk aksi taking profit ditengah ketidakpastian global yang masih tinggi akibat dinamika negosiasi tarif resiprokal AS serta ketegangan geopolitik di Timur Tengah, hal ini memperlambat pertumbuhan ekonomi global ke depannya.
Selengkapnya mengenai sentimen dan proyeksi pasar hari ini dapat dibaca pada halaman 3 pada artikel ini. Dan para investor juga dapat mengintip agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini baik dalam negeri dan luar negeri pada halaman empat.
IHSG pada perdagangan kemarin Kamis (19/6/2026) ditutup anjlok 1,96% atau turun 139 poin di level 6.968,64. Penurunan ini menjadi penurunan paling tajam di periode bulan ini dan menjadi terburuk sejak 14 Mei 2025 atau sebulan lebih.
Sebanyak 571 saham turun, 92 saham naik, dan 139 tidak bergerak. Nilai transaksinya mencapai Rp 13,97 triliun yang melibatkan 24,9 miliar saham dalam 1,45 juta kali transaksi. Kapitalisasi pasar pun kembali menciut jadi Rp 12.223,67 triliun.
Emiten blue chip dan perbankan tercatat menjadi pemberat utama kinerja IHSG. Asing mencatat net sell sebesar Rp 1,25 triliun pada perdagangan kemarin.
Seluruh sektor perdagangan bursa melemah, dengan konsumer primer dan konsumer non primer masuk dalam sejumlah sektor yang tertekan paling dalam hari ini.
Market Analyst Mirae Asset Sekuritas Nafan Aji Gusta mengatakan, penurunan sektor konsumer disebabkan oleh dinamika penurunan kelas menengah dan bukan imbas dari keputusan bank sentral dalam menantikan kebijakan suku bunga acuannya.
"Kalau misalnya jika terkait dengan konsumen non-primary yang mengalami penurunan, kan sebenarnya sudah menjadi bagian dari dinamika, dinamika tren penurunan kelas menengah yang terjadi ya di tanah air semenjak pandemi Covid19," ujarnya kepada CNBC Indonesia, Kamis (19/6).
Menurutnya, saat ini pertumbuhan ekonomi kita lebih didorong oleh golongan kelas atas. Dan kelas menengah itu lebih menyebabkan kepada peningkatan kemampuan savings mereka.
Nafan juga mengungkapkan pandangannya soal Bank Indonesia yang menilai bahwa ketidakpastian global masih tinggi akibat dinamika negosiasi tarif resiprokal AS serta ketegangan geopolitik di Timur Tengah, hal ini memperlambat pertumbuhan ekonomi global ke depannya
Sementara, Analis mata uang Doo Financial Futures, Lukman Leong mengatakan, konsumer non primer memang paling sensitif dan mengikuti keadaan ekonomi, mencerminkan kekuatiran ekonomi kedepannya.
"Dengan inflasi yang sangat rendah, BI memang diharapkan investor agar menurunkan suku bunga yang terlalu tinggi bagi perekonomian saat ini," pungkasnya.
Beralih ke rupiah, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS pada Kamis (19/6/2025) ditutup pada posisi Rp 16.390/US$1 atau melemah 0,58%. Pelemahan ini telah menjadi kejatuhan rupiah terhadap dolar AS selama tiga hari beruntun.
Pelemahan ini menyeret rupiah ke level Rp16.390/US$1 untuk pertama kalinya sejak 20 Mei 2025. Penutupan rupiah pada perdagangan kemarin juga menjadi yang terlemah sejak 21 Mei 2025 atau sebulan lebih.
The Fed memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan di kisaran 4,25-4,50%. Hal ini membuat pasar menilai The Fed belum siap untuk menurunkan suku bunga. Akibatnya, dolar AS menguat terhadap mata uang lain termasuk rupiah.
Bank Indonesia turut serta memilih untuk mempertahankan suku bunga acuan di level 5,50%. Meskipun ini sesuai dengan ekspektasi pasar, kebijakan ini dinilai memperkecil selisih suku bunga antara BI dan The Fed. Akibatnya daya tarik ke rupiah berkurang.
Ketegangan di Timur Tengah, khususnya konflik antara Iran dan Israel, Kembali memicu penguatan dolar AS sebagai aset safe haven.
Adapun dari pasar obligasi Indonesia, pada perdagangan Kamis (18/6/2025) imbal hasil obligasi tenor 10 tahun terpantau menguat 0,49% di level 6,710%. Imbal hasil obligasi yang menguat menandakan bahwa para pelaku pasar sedang membuang surat berharga negara (SBN). Begitu pun sebaliknya, imbal hasil obligasi yang melemah menandakan bahwa para pelaku pasar sedang kembali mengumpulkan surat berharga negara (SBN).
Pages