Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Hari ini, lewat berbagai media sosial, kerap melintas penawaran penggunaan artificial intelligence (AI), untuk keperluan akademis. Mulai yang bersifat penggunaan praktis seperti belajar bahasa asing, belajar statistik, belajar mengolah dan menganalisis data penelitian, juga yang bersifat produksi pengetahuan konseptual semisal penulisan buku, hingga pelaksanaan penelitian mendalam.
Seluruhnya menjanjikan: cepatnya hasil, mudahnya proses dan murahnya biaya. AI makin dapat diandalkan sebagai asisten kerja akademik. Entah ini jadi kabar yang menggelisahkan --alih-alih menggembirakan-- bagi bidang yang diandalkan untuk mengembangkan kecerdasan manusia.
Sementara itu OpenAI, perusahaan yang dikenal sebagai pengembang ChatGPT, awal Februari lalu, meluncurkan perangkat yang disebutnya sebagai Deep Reseearch. Pada halaman pembuka aplikasinya, terpampang kalimat yang menyebut: "Agen yang menggunakan penalaran untuk mensintesa sejumlah besar informasi daring dan menyelesaikan tugas penelitian multi-langkah untuk Anda. Tersedia untuk pengguna Pro hari ini, Plus dan Team selanjutnya".
Menarik ketika perangkat penelitian ini diidentifikasi sebagai agen. Terutama ketika dalam pengertian sosiologisnya: agen adalah kapasitas individu untuk bertindak secara otonom. Ini diikuti kemampuannya membuat pilihan, terhadap nasib hidupnya di dalam struktur sosial yang didiaminya.
Deep Research tak ubahnya makhluk sosial di dalam struktur masyarakat. Artinya, seluruh hasil pengembangan perangkat berbasis AI itu, dijanjikan untuk memerankan profesi penuh peneliti. Peran yang selama ini dijalankan manusia. Sedemikian andalnyakah?
Salah satu jawaban diberikan The Economist, edisi 3 Februari 2025. Terurai lewat artikelnya, "The Danger of Relying on OpenAI's Deep Research". Artikel ini memuat berbagai pandangan akademisi yang mengujicoba perangkat baru ini. Ada yang gembira menyambutnya, ada pula yang skeptis.
Sambutan gembira disampaikan Ethan Mollick dari University of Pennsylvania. Mollick menyebut Deep Research dapat menghasilkan makalah tentang topik apa pun, dalam hitungan menit. Banyak akademisi lain yang menilai sama seperti dirinya: sangat bermanfaat.
Hanya dengan bertanya tentang topik yang sedang ditulis, hasilnya berbentuk makalah segera diperoleh. Senada, Kevin Bryan dari Toronto University menyebut Deep Reseach dapat diandalkan untuk menghasilkan jurnal tingkat B, dengan hanya memerlukan satu hari pengerjaan.
Kepuasan yang tinggi juga disampaikan Tyler Cowen, ekonom dari George Mason University. Cowen menyebut --perangkat berbasis AI itu-kualitasnya setara dengan punya asisten penelitian bergelar PhD. Dengan memanfaatkannya selama satu hingga dua minggu, dihasilkan penelitian yang berkualitas.
Namun puja-puji di atas tak menghilangkan adanya skeptisisme para peneliti. Termasuk Cowen yang mencoba menelusuri keandalan perangkat baru ini. Dalam deskripsinya, Deep Research tak dapat menyelenggarakan penelitian primer. Termasuk mengatur terselenggaranya jajak pendapat. Juga tak mampu merasakan bahasa tubuh CEO yang hendak memimpin perusahaan baru.
Permasalahan lainnya, disebut sebagai tiga isu penting, masing-masing adalah: kreativitas data, tirani mayoritas dan jalan pintas intelektual. Dua permasalahan pertama melekat pada perangkat berbasis AI ini. Sedangkan yang lain, lebih berakibat kepada peneliti sebagai penggunanya.
Pertama, ketika Deep Research mendapat pertanyaan terkait "angka pengangguran di sebuah negara pada tahun tertentu". Jawaban yang diberikan cepat dan memuaskan. Hal yang sama ketika permintaan dilanjutkan untuk "angka pengangguran di beberapa negara pada tahun tertentu, berikut rasionya terhadap jumlah penduduk di masing-masing negara".
Jawaban yang diberikan bakal memudahkan para peneliti. Ini jika dibanding, para peneliti sendiri yang harus menemukan seluruh informasi dari publikasi di situs-situs lembaga yang berwenang, memilah dan menghitungnya.
Dengan Deep Learning, banyak diperoleh penghematan waktu. Namun berbeda keadaannya ketika pertanyaan dikreasikan lebih dalam. Misalnya "jumlah pengeluaran untuk transportasi, dari keluarga yang dikepalai individu berusia 25-35 tahun, di Amerika". Jawaban andal tak bisa diberikan perangkat. Kreativitas data, jadi penghalang Deep Research memberikan jawaban yang diharapkan.
Kedua, tirani mayoritas. Ini terjadi ketika Deep Research cenderung menggunakan data dari sumber-sumber yang paling sering diakses publik. Seperti koran, media populer, atau perbincangan khalayak di medium digital.
Saat mendapat permintaan penelusuran, informasi yang diberikan berasal dari ide-ide yang sering dibahas atau dipublikasikan. Bukan ide yang terbaik. Terjadi penindasan volume informasi terhadap kualitas informasi. Data-data berkualitas yang berkantong di situs-situs berbayar, sulit diakses. Tirani mayoritas mengancam kualitas penelitian yang dihasilkan.
Ketiga, jalan pintas intelektual. Adalah ketika Deep Research mampu menyelenggarakan penelitian berdasar prompt para peneliti, hingga tuntas sebagai laporan. Kerja peneliti terpangkas oleh keandalan perangkat, seraya diperoleh surplus waktu.
Surplus yang dapat dimanfaatkan untuk aktivitas-aktivitas akademis lainnya. Termasuk memperbanyak jumlah penelitannya yang dapat dipublikasikan. Namun saat mengandalkan seluruh kerja penelitian pada perangkat, ada risiko yang mengintip: intelektualitas yang tak berkembang.
Merancang, meneliti dan menulis laporan adalah berpikir. Peneliti yang berhenti melakukan aktivitas-aktivitas itu, telah mengundang kebodohannya sendiri. Kepekaannya pada gejala, kemampuannya membedakan nuansa dan intuisinya saat menganalisis data, tak lagi terasah. Alih-alih makin banyak penerbitan yang dipublikasikan, kemandegan intelektualitas yang terjadi.
Hal lain yang patut direnungkan --saat perangkat berbasis AI makin dominan dimanfaatkan dalam penelitian-- adalah terjadinya fenomena 'kolam keruh'. Dapat dibayangkan adanya kolam yang diisi material yang dikehendaki -ini artinya terstruktur-- berupa ikan, tumbuh-tumbuhan yang berguna membentuk habitat ikan, juga batu dan pasir yang menjernihkan air.
Pada material yang terstruktur itu, menumpang pula material tak dikehendaki -ini artinya tak terstruktur- lumpur yang melekat pada kulit ikan, virus yang ada di dalam tubuhnya, material mikro yang menyertai tumbuhan, batu dan pasir. Material terstruktur tak sepenuhnya bisa dipisah dari material tak terstruktur.
Ekosistem kolam yang proporsional, menghasilkan ikan maupun tumbuhan yang berkembang sesuai harapan. Ikan yang makin besar, dapat dipanen sebagai sumber protein. Sedangkan yang kecil, dibiarkan berkembang. Saat ikan besar diolah jadi masakan, sisa yang tak dikonsumsi dimasukkan kembali ke dalam kolam.
Maksudnya sebagai sumber makanan bagi ekosistem kolam. Yang terjadi, tak tampak adanya material baru. Isi kolam bersiklus dengan material yang sama kecuali muatan tak tersrukturnya. Ini dapat membentuk realitas yang tak direncanakan. Setidaknya kolam terlihat makin keruh.
Serupa dengan siklus kolam di atas, sumber kecerdasan AI adalah data. Dalam kemasifan datanya, terdapat data terstruktur dan data tak terstruktur. Data ini diolah machine learning dan dipelajari lebih lanjut oleh deep learning, menghasilkan produk kecerdasan.
Kecerdasan prediktif, rekomendatif dan agentif. Seluruhnya dimanfaatkan penggunanya, termasuk untuk memperoleh hasil penelitian yang berkualitas. Laporan penelitian lalu dipublikasikan di berbagai media digital. Oleh media digital yang berbasis AI -artinya dilengkapi machine learning maupun deep learning -- laporan diperlakukan sebagai data: dianalisis dan disusun algoritmanya. Berakhir dengan dihasilkannya pengetahuan.
Pada penelitian tentang pengaruh media sosial pada kelompok usia muda, misalnya. Peneliti semula melakukan tanpa Deep Research. Kesimpulannya menyebut: kelompok usia muda yang intensif terpapar unggahan media sosial, akan rentan mengalami depresi. Seluruh hasil penelitiannya terpublikasi di media digital.
Selain berupa data yang terstruktur, juga terkandung data tak terstruktur. Dua kategori data ini, tak seluruhnya dapat dipisahkan, saling menyelip satu sama lain. Saat hasil penelitian terpublikasi datanya diolah dan dianalisis media digital sebagai algoritma AI. Termasuk algoritma yang dimanfaatkan Deep Research.
Maka adanya penelitian sejenis yang memanfaatkan Deep Research, prompt yang diajukan akan memperoleh jawaban: depresi pada kelompok muda sebagai pengaruh media sosial. Dengan catatan, hasil penelitian ini mengandung data yang tak terstruktur. Keadaan tak terstuktur, yang dapat mengantar pada kesalahan yang tak disadari.
Dapat digambarkan, terjadinya siklus: (ambil data(A)-publikasi data(A))- (ambil data(A') dari Deep Research1- publikasi(A'))- (ambil data (A") dari Deep Research2-publikasi (A")), dan seterusnya. Pengambilan dari tempat yang sama, dengan hasil yang serupa. Juga kesalahan tak disadari, yang makin terakumulasi. Semuanya lantaran, tak adanya input data baru.
Itu pula gambaran, saat penelitian maupun kehidupan makro makin didominasi AI. Sumber data dan hasil pengetahuannya berada dalam siklus tanpa pembaruan. Material yang dihasilkan, masuk kembali menjadi material produksi. Siklus yang hanya akan menghasilkan kecerdasan yang makin keruh.
Akankah kekeruhan, jadi masa depan yang dialami bersama AI? Atau harus diputus, dengan produksi data baru? Artinya ada pengetahuan baru hasil pikiran alamiah manusia.
(miq/miq)