Jakarta, CNBC Indonesia - Dominasi dolar Amerika Serikat (AS) selama puluhan tahun sebagai mata uang global mulai mendapat tantangan serius. Di tengah ketidakpastian geopolitik, ekonomi, dan kemajuan teknologi, dunia perlahan mulai beralih menuju sistem multi mata uang.
Saat ini dolar AS masih memegang posisi dominan. Menurut Dana Moneter Internasional (IMF), lebih dari 57% cadangan devisa global masih disimpan dalam bentuk dolar. Sebagai informasi, total cadangan devisa di seluruh dunia menurut data IMF tahun 2024 menyentuh US$11,46 triliun.
Dominasi ini membuat dolar menjadi pusat sistem keuangan global, sekaligus memberi Amerika kekuatan geopolitik yang luar biasa. Namun tren ini mulai menunjukkan pelemahan.
Tanda-tanda pergeseran muncul setelah banyak negara besar seperti China, yang semakin agresif dalam mendorong permintaan terhadap mata uang renminbi nya lewat proyek Belt and Road.
Eropa juga memiliki ambisi yang sama untuk memperkuat mata uang Euro nya sebagai mata uang yang lebih stabil.
Di kawasan Asia, Timur Tendah, dan organisasi BRICS telah menggunakan mata uang lokal dalam perdagangan antar negara. Ketegangan geopolitik yang terjadi membantu percepatan proses ini, seiring meningkatnya kekhawatiran terhadap sanksi sepihak AS.
Dolar Masih Terlalu Kuat?
Meski banyak perdebatan soal penurunan dominasi dolar AS, faktanya dolar masih mencakup 57% cadangan devisa global, 54% faktur ekspor, dan 88% transaksi valuta asing.
Selama derivatif komoditas masih sebagian besar diperdagangkan dalam dolar AS masih panjang perjalanan sebelum dominasi dolar benar-benar pudar. Namun, para investor sudah sepatutnya mulai membayangkan dunia di mana dolar AS, renminbi, dan euro memiliki jangkauan yang lebih setara.
China secara sengaja mendorong internasionalisasi mata uangnya. Inisiatif Sabuk dan Jalan (Belt and Road) membangun infrastruktur dengan pinjaman berdenominasi renminbi, sementara jaringan jalur swap mata uang membantu mendorong arus renminbi secara global. Renminbi digital berada di garis depan dalam memodernisasi sistem pembayaran yang pasti akan mendorong adopsi di luar negeri.
Namun, meski menjadi mitra dagang terbesar untuk 120 negara, China tidak dapat berharap penggunaan luas mata uangnya selama mata uang itu belum sepenuhnya dapat dikonversi secara bebas.
Meskipun suatu hari Presiden China Xi Jinping atau penerusnya mengambil langkah berani ini, ketiadaan regulator independen dalam sistem satu partai akan membuat siapa pun yang memegang renminbi terus bertanya-tanya kapan aturannya bisa berubah lagi.
Jika China mungkin enggan mengambil langkah yang diperlukan agar mata uangnya dapat dikonversi, Eropa tampaknya tidak mampu melakukannya.
Bulan lalu, Presiden Bank Sentral Eropa (ECB) Christine Lagarde memaparkan langkah konkret agar euro menjadi mata uang global yang lebih andal. Langkah itu akan menurunkan biaya pinjaman Eropa, melindungi bisnis Eropa dari volatilitas kurs, dan mengurangi ketergantungan geopolitik benua itu pada Amerika yang semakin tak terduga.
Meski begitu, transisi ke sistem multi mata uang bukan perkara yang mudah. Dalam jangka pendek, dolar masih akan mempertahankan posisinya sebagai mata uang utama di dunia.
Dalam jangka panjang, memang arah global terlihat bergerak ke sistem yang lebih beragam. Dunia tidak hanya akan bergantung pada satu mata uang seperti dolar AS, namun menuju situasi dimana dolar AS, Euro, dan Renminbi bisa setara atau memiliki pengaruh yang lebih seimbang.
CNBC INDONESIA RESEARCH
[email protected]
(evw/evw)