Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Pengantar Serial Matinya Ilmu Ekonomi: Di tengah dunia yang terus bergerak cepat namun terasa semakin kosong, kami mengajak anda untuk berhenti sejenak, untuk menoleh ke belakang, menatap ke dalam, dan melihat ke depan. Serial Matinya Ilmu Ekonomi bukan sekadar kumpulan kritik. Ia adalah upaya jujur untuk memandang ilmu ekonomi dari sudut yang jarang diterangi: dari sisi yang tidak selalu efisien, tidak selalu rasional, tapi sepenuhnya manusiawi.
Di sini, kami ingin menyegarkan kembali ingatan kita akan mengapa ekonomi ada, bukan hanya sebagai alat hitung, tetapi sebagai cermin kegembiraan, pencapaian, penderitaan, ketimpangan, dan harapan zaman. Adapun Episode Ke-3 ini penulis beri judul: "TIADA LAGI ABAH". Semoga bermanfaat, Selamat Menikmati.
Ini adalah kisah di zaman Ketika kita tak mau lagi mendengar kegagalan. Di zaman ini, kegagalan bukan lagi kisah, tapi catatan buruk yang tak bisa ditebus.
Dulu, ada sosok yang kita panggil Abah. Ia bukan tokoh besar dalam buku sejarah, tapi wajahnya ada di banyak kepala kita yang tumbuh di Indonesia era 90-an.
Ia bukan pebisnis unicorn, bukan lulusan universitas top dunia, dan bukan pula selebritas layar kaca. Tapi kita mengingatnya, karena ia adalah simbol dari sesuatu yang kini hilang: kehormatan dalam kegagalan.
Abah dalam kisah Keluarga Cemara adalah seorang mantan pengusaha. Ia tidak jahat, tidak bodoh, tidak malas. Ia hanya seperti banyak orang baik lainnya, gagal.
Usahanya bangkrut. Rumahnya hilang. Ia dan keluarganya terpaksa pindah ke rumah kecil di kampung. Semua berubah. Tapi satu hal tidak berubah: kehormatannya sebagai ayah.
Di dunia hari ini, kegagalan seperti itu tidak diberi ruang. Ia dianggap kelemahan. Ia dicatat dalam sistem kredit, diperingatkan dalam laporan risiko, dan didiamkan dalam percakapan sosial.
Tidak ada pengampunan. Hanya "red flag" yang mengikuti seseorang seumur hidupnya. Dunia ini terlalu canggih untuk menerima kejatuhan sebagai bagian dari proses. Ia hanya mengenal dua hal: sukses, atau keluar dari sistem.
Tapi Abah tidak keluar. Ia tetap ada dan ia tetap memanggil anak-anaknya dengan lembut. Ia tetap berdiri setiap pagi, mencari nafkah dari menarik becak.
Ia tetap menyuapi istrinya dengan rasa syukur, meski nasinya kini lebih sedikit. Ia tetap bercerita, bernyanyi, dan mengajarkan bahwa nilai hidup tidak tergantung pada rekening bank, tapi pada kasih yang dibagi.
Kepada anak-anaknya, Abah tak pernah bilang "kita miskin." Ia bilang, "kita sedang belajar hidup lebih sederhana." Dan ketika anaknya bertanya, "Kenapa kita tak bisa beli seperti dulu, Bah?" Ia tak menjawab dengan keluhan. Ia menjawab dengan pelukan.
Di dunia hari ini, tidak ada lagi Abah. Karena sistem telah memutuskan bahwa kegagalan adalah dosa yang tak bisa diampuni. Pengusaha kecil yang bangkrut dianggap ceroboh. Karyawan yang kena PHK dianggap tak kompeten. Seseorang yang menolak menumpuk utang untuk mempertahankan gaya hidup dianggap tidak ambisius.
Tak ada lagi ruang untuk air mata yang ditampung di meja makan kecil, untuk cerita kehilangan yang diceritakan pelan-pelan sebelum tidur. Kita hidup dalam dunia yang hanya mau mendengar kisah sukses, motivasi, dan angka-angka naik.
Kita malu bercerita bahwa kita pernah jatuh. Bahwa kita pernah harus mulai dari nol. Bahwa kita pernah bertahan bukan dengan rencana bisnis, tapi dengan kasih sayang. Padahal, justru di situlah kemanusiaan diselamatkan.
Dunia kini punya sistem yang menghukum kegagalan secara permanen.Tak ada lagi rehabilitasi martabat, seperti dulu ketika seorang ayah tetap duduk di depan rumah walau usahanya bangkrut. Sekarang, orang gagal dihapus dari sistem. Tak ada tempat bagi mereka kecuali meme motivasi. Ada hukum, tapi tiada pengampunan.
Abah adalah wajah terakhir dari dunia yang masih mau memahami sebelum menghakimi. Di dunia yang sekarang cepat, tanggap, dan brutal, Abah tidak cepat, Abah lambat, tapi dalam. Ia mendengarkan terlebih dahulu, sebelum berkata: "Sudah. Istirahat dulu."
Abah tidak mengukur hidup dengan CV, tapi dengan siapa yang masih duduk bersamamu ketika kamu gagal. Kalau saat ini Abah masih ada, di era algoritma, di mana nilai manusia ditentukan oleh rating, bukan niat, oleh hasil, bukan proses.
Ketika algoritma menuntut respons dalam milidetik, Abah pasti akan menjawab: "Tenangkan dulu hatimu." Abah tahu, yang cepat bukan selalu benar, dan yang benar kadang butuh waktu untuk dicerna oleh jiwa.
Abah adalah simbol bahwa laki-laki bisa diam, namun tetap hadir, bukan pemarah, bukan superior. Ia adalah pelindung yang tidak perlu bicara banyak, apalagi uang banyak, atau akses kepada financing.
Karena kehadirannya sudah cukup membuatmu merasa ada yang akan tetap menunggumu pulang. Dunia kehilangan itu, dan saat dunia kehilangan sosok seperti itu, manusia mulai merasa hidup ini hanya kompetisi, bukan perjalanan.
Abah seperti sebuah izin untuk gagal, tapi tidak tersesat. Dulu, gagal berarti pulang ke Abah. Sekarang, gagal berarti tidak ada siapa-siapa. Dulu, pulang itu rumah. Sekarang, pulang itu berarti reminder cicilan atau kewajiban lainnya.
Mungkin sudah saatnya kita tulis ulang narasi. Bahwa orang yang gagal bukan berarti tak berguna. Bahwa rumah kecil di desa bisa lebih penuh cinta daripada gedung pencakar langit. Bahwa seorang ayah bisa bangkrut secara ekonomi, tapi menang secara kemanusiaan. Mungkin sudah saatnya kita berkata pada dunia: kami ingin mendengar cerita Abah lagi.
Mengingat Abah, adalah menghidupkan kembali dunia yang masih mau memberi maaf, bukan hanya memberi notifikasi. Kami ingin tahu bahwa kehormatan bukan milik yang berhasil saja. Tapi juga milik mereka yang jatuh, dan memilih untuk tetap mencintai.
Kami tidak rindu kemapanan dan kegemerlapan, kami rindu Abah yang bisa berkata: "Tak apa-apa, nak. Hidup ini bukan soal menang atau kalah. Tapi soal siapa yang tetap mau duduk bersamamu ketika kamu tak bisa menjelaskan apa-apa.'"
(miq/miq)