Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Bagi jutaan warga muslim di Indonesia, impian untuk menunaikan ibadah haji adalah warisan yang diturunkan dari generasi ke generasi. Terucap dalam setiap doa, terpatri dalam harapan, dan kerap menjadi bagian dari rencana hidup jangka panjang. Berdiri di hadapan ka'bah bukan sekadar cita-cita pribadi, melainkan wujud kewajiban agama, bukti ketakwaan, dan bagi banyak orang, merupakan perjalanan paling sakral dalam hidup.
Namun, sekuat apapun niat itu, jalan untuk mewujudkan tujuan suci ini tidaklah mudah. Saat ini, lebih dari lima juta warga Indonesia masih berada dalam antrean menunggu kesempatan untuk menjalankan ibadah haji.
Sebagian harus menunggu satu bahkan hingga tiga dekade. Di beberapa provinsi, seseorang yang mendaftar hari ini mungkin baru bisa berangkat haji pada tahun 2040, atau lebih lama.
Di balik lamanya antrean ini, bukan hanya keterbatasan administratif yang menjadi kendala, tetapi juga realitas finansial yang secara perlahan membentuk atau menghambat mimpi jutaan orang.
Jalan Menuju Makkah: Cara Kerja Tabungan Haji Saat Ini
Untuk dapat masuk dalam antrean haji, calon jemaah terlebih dahulu harus membuka rekening tabungan haji di bank yang ditunjuk sebagai Bank Penerima Setoran Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPS-BPIH). Setoran awal minimum sekitar Rp25 juta diperlukan agar bisa terdaftar dalam sistem informasi haji milik Kementerian Agama RI (SISKOHAT).
Setelah itu, jalan menuju Tanah Suci terbagi dalam beberapa pilihan: (1) Haji Reguler, yang dikoordinasi oleh pemerintah, menjadi opsi paling terjangkau, namun waktu tunggunya bisa mencapai sepuluh tahun atau lebih (bahkan hingga 39 tahun); (2) Haji Plus, yang dikelola oleh penyelenggara perjalanan haji resmi, memangkas waktu tunggu menjadi sekitar empat hingga tujuh tahun namun dengan biaya mulai dari Rp135 juta; (3) Haji Furoda, yang memungkinkan keberangkatan langsung melalui visa khusus, mensyaratkan kesiapan dana lebih dari US$ 28.000 atau sekitar Rp453 juta-Rp485 juta.
Secara struktur, sistem ini tampak tertata. Namun bagi muslim Indonesia pada umumnya, menjalani proses ini disertai tantangan yang tak selalu terlihat. Mulai dari sistem pembukaan rekening yang masih dilakukan secara manual di sebagian besar bank, hingga pola menabung yang tidak konsisten akibat ketiadaan sistem pengingat yang memadai.
Ketika Niat diadang Rintangan
Impian untuk berhaji adalah impian yang kuat. Namun, di antara niat dan tindakan, banyak orang mendapati jalan yang ditempuh ternyata jauh lebih sulit dari yang dibayangkan.
Salah satu hambatan datang dari tidak fleksibelnya model tabungan yang ada. Sebagian besar rekening tabungan haji dirancang seperti produk tabungan konvensional: setoran tetap, jadwal kaku, dan fleksibilitas yang minim.
Padahal, perekonomian Indonesia sebagian besar bersifat informal, di mana banyak keluarga menggantungkan hidup pada pendapatan yang tidak tetap. Tagihan medis mendadak, panen yang gagal, atau usaha yang merugi bisa langsung mengganggu pola menabung. Dalam sistem yang dibangun untuk kepastian, ketidakpastian hidup justru menjadi tembok penghalang yang sulit ditembus.
Bahkan ketika upaya menabung berhasil dilakukan, tantangan berikutnya segera muncul: akses. Di negara yang mana dompet digital dan e-commerce berkembang pesat, mayoritas tabungan haji masih berjalan secara tradisional.
Banyak bank masih mengharuskan nasabah datang langsung ke cabang hanya untuk memperbarui informasi atau sekadar menanyakan status tabungan. Bagi calon jemaah yang tinggal di desa terpencil atau pulau-pulau terluar, perjalanan ke kantor cabang bisa memakan waktu, biaya, dan tenaga.
Kemudian muncul kesenjangan dalam segi pengetahuan. Data OJK pada 2023 menunjukkan bahwa literasi keuangan syariah di Indonesia adalah 39,11% sementara inklusi keuangan syariah baru mencapai 12,88%-angka yang masih tergolong rendah, meski ekonomi syariah tumbuh signifikan dalam beberapa tahun terakhir.
Bagi banyak orang, membuka rekening tabungan haji adalah pencapaian besar. Namun tanpa pemahaman yang utuh tentang syarat dan prosesnya, niat bisa terhenti di tengah jalan. Tak sedikit yang mengira bahwa membuka rekening otomatis membuat mereka mendapat nomor antrean, tanpa menyadari bahwa saldo minimum adalah syarat utama untuk masuk ke daftar tunggu. Kesadaran ini sering datang terlambat, kadang setelah bertahun-tahun.
Mungkin inilah bagian yang terberat: pudarnya disiplin dalam menabung. Menabung untuk haji bukanlah upaya jangka pendek, butuh komitmen yang konsisten selama bertahun-tahun.
Tanpa alat digital yang bisa membantu otomatisasi setoran, memantau perkembangan, atau sekadar memberi semangat, kebutuhan sehari-hari seperti uang sekolah anak, perbaikan rumah, atau keadaan darurat lainnya, dapat mengambil alih prioritas menabung. Impian yang dulu terasa mendesak perlahan memudar.
Tantangan-tantangan ini bukan muncul karena kurangnya iman atau niat. Hambatan itu hadir karena sistem yang mendukung impian ini belum sepenuhnya berkembang untuk menyesuaikan diri dengan realitas kehidupan orang-orang yang ingin mewujudkannya.
Transformasi Perjalanan Haji: Potensi Digitalisasi Keuangan Syariah
Namun, bagaimana jika perjalanan menuju tanah suci ini bisa diubah? Bayangkan sebuah sistem di mana calon jemaah tak lagi khawatir melewatkan setoran. Di mana tabungan dapat berjalan otomatis setiap bulan, meskipun dalam jumlah kecil, perlahan membawa mereka lebih dekat ke tujuan setiap kali menerima penghasilan.
Bayangkan jika saldo tabungan bisa dipantau secara real-time, mengetahui secara pasti seberapa jauh lagi menuju persyaratan saldo SISKOHAT, lengkap dengan pengingat, dorongan, dan panduan yang humanis di sepanjang perjalanan menabung.
Bayangkan tidak perlu lagi meninggalkan desa hanya untuk membuka rekening, mengecek saldo, atau memastikan status pendaftaran. Hal ini terwujud bukan melalui birokrasi yang rumit, melainkan melalui ponsel yang ada dalam genggaman. Hal ini bukan lagi angan-angan.
Keuangan syariah berbasis teknologi, yang berakar pada prinsip syariah dan didorong oleh inovasi digital, menawarkan kemungkinan ini. Fitur seperti tabungan otomatis, panel informasi mengenai progres tabungan, dan kerangka investasi yang sepenuhnya sesuai syariah ke dalam platform yang berbasis ponsel, kita bisa membangun sistem yang tidak hanya lebih cerdas, tapi juga sesuai dengan nilai yang ada. Sistem yang tidak hanya melayani sisi administratif dari tabungan haji, tetapi juga makna spiritual di balik perjalanan itu sendiri.
Tanggung Jawab yang Kita Emban Bersama
Ibadah haji adalah salah satu bentuk pengabdian paling mendalam yang bisa dilakukan seorang muslim. Ini adalah komitmen spiritual yang diimpikan selama bertahun-tahun, bahkan puluhan tahun.
Kini, pelaku industri keuangan, inovator, dan pemangku kepentingan dalam ekonomi syariah, perlu melangkah maju untuk memikul tanggung jawab bersama itu, yakni menciptakan jalan yang menjadikan ibadah suci ini lebih mudah diakses, perjalanannya lebih bermartabat, dan persiapannya lebih memberdayakan.
Impian itu telah hidup dalam hati jutaan orang. Komitmennya pun telah kuat. Kini saatnya sistem yang ada hadir menyambut mereka, dengan kepekaan, inovasi, dan dengan amanah yang tak tergoyahkan.
(miq/miq)