Jakarta, CNBC Indonesia - Dalam forum Economic Update yang digelar CNBC Indonesia pada Rabu (18/6/2025), ekonom legendaris Arthur Laffer menyuarakan pentingnya menciptakan pasar global yang bebas namun tanpa disrupsi.
Menurutnya, dinamika geopolitik saat ini menunjukkan perubahan besar dalam tatanan global. Negara-negara, kata Laffer, kini semakin berfokus pada upaya mengamankan kepentingan domestik mereka terlebih dahulu dalam menghadapi persaingan global yang semakin kompleks.
"Persaingan global hari ini tidak hanya soal ekonomi, tapi juga merambah ke ranah politik, ideologi, militer, hingga keamanan. Ketika satu pihak merasa menang, maka pihak lain seolah otomatis harus kalah," ujar Laffer.
Situasi saat ini menciptakan apa yang ia sebut sebagai "uncertainty" atau ketidakpastian. Bahkan, menurutnya, ketidakpastian yang paling parah justru tampak paling lunak, karena efeknya bisa merembet secara perlahan namun mengubah tatanan dunia secara fundamental.
Menariknya, Laffer juga menyoroti ironi yang terjadi di Amerika Serikat, negara dengan ekonomi terbesar di dunia sekaligus advokat utama sistem globalisasi.
Dalam dua dekade terakhir, AS justru merasa menjadi korban dari sistem globalisasi yang ia bangun sendiri. Pasalnya, banyak sektor manufaktur dalam negeri kalah bersaing dan akhirnya pindah ke negara-negara dengan upah lebih rendah.
"Akibatnya, perekonomian AS kini ditopang oleh sektor jasa, terutama digital dan finansial, yang memang bernilai tinggi, tapi tidak menyerap tenaga kerja sebanyak sektor manufaktur. Ini memunculkan keresahan sosial dan politik, karena jutaan pekerja kehilangan pekerjaan akibat kompetisi global," jelasnya.
Sistem demokrasi di AS, lanjut Laffer, memberikan ruang bagi masyarakat untuk memilih pemimpin yang mewakili keresahan mereka. Dan keresahan itu, dalam beberapa tahun terakhir, diwujudkan dalam kebijakan proteksionis dan skeptisisme terhadap globalisasi.
Tanggapan atas pandangan ini datang langsung dari Menteri Keuangan Sri Mulyani. Menurutnya, kondisi yang diuraikan Laffer justru menjadi pengingat penting tentang fungsi stabilisasi dalam perekonomian global.
Ia menegaskan bahwa Indonesia, sebagai negara berbasis Pancasila, tidak bisa melihat persaingan global sebagai permainan zero-sum game, di mana satu negara harus kalah demi yang lain menang.
"Semua negara memang bergerak untuk melindungi dirinya sendiri, tapi di sinilah pentingnya kerja sama multilateral. Lembaga seperti WTO, IMF, dan Bank Dunia dibentuk untuk memastikan bahwa perbedaan kepentingan bisa diselesaikan secara adil dan tidak menimbulkan instabilitas global," kata Sri Mulyani.
Ia menambahkan bahwa ketidakpastian global seharusnya menjadi dorongan bagi negara-negara untuk memperkuat tata kelola, bukan malah menarik diri dari sistem yang sudah dibangun bersama.
Belajar dari AS berikut bukti yang saat ini tengah dihadapi sebagai imbas dari ketidakpastian global, terutama dari konflik geopolik yang berkelanjutan :
Suku Bunga Tinggi Bertahan Lama (Higher for Longer)
Pasca pandemi, negei Paman Sam (AS) mengalami inflasi yang panas akibat melonjaknya harga komoditas, terutama minyak pada 2022 sempat spike ke atas US$ 120 per barel.
Akibat inflasi panas, bank sentral AS, The Federal Reserve akhirnya menaikkan suku bunga acuan-nya untuk menstabilkan mata uang dan mendinginkan inflasi.
Sejak Maret 2022, the Fed untuk pertama kali menaikkan suku bunga, siklus ini pun berlanjut sampai 11 bulan ke depannya. Pada Juli 2023, menandai suku bunga di level tertinggi dalam kurun waktu setidaknya lima tahun di kisaran 5,25%-5,50%,
Sekitar setahun kemudian, pada September 2024 baru the Fed menurunkan suku bunga. Tercatat ada tiga kali pemangkasan pada tahun lalu.
Sayangnya, setelah itu, belum ada pemangkasan lagi. Sebelumnya, pasar sempat berekspektasi bahwa the Fed kemungkinan bisa cut rate pada Maret 2025, sayangnya ini harus mundur karena geopolitik dan tarif yang membuat the Fed menjadi lebih hati-hati.
Saat ini kita menanti pertemuan the Fed pada Juni 2025 apakah akan ada nada the Fed mulai dovish, meskipun sejauh ini pelaku pasar memproyeksi bank sentral AS ini masih bisa menahan suku bunga acuan, karena konflik geopolitik Israel-Iran mengubah outlook ekonomi pada paruh kedua tahun ini.
Ekonomi Terkontraksi
Akibat ekonomi yang tak pasti dan terkena efek suku bunga tinggi, ekonomi AS pun mengalami kontraksi. Ini terjadi pada kuartal pertama tahun ini di mana produk domestik bruto (PDB) negeri Paman Sam minus 0,2% secara tahunan.
Ini menjadi kontrakasi pertama yang terjadi dalam tiga tahun terakhir. Konflik geopolitik dan ketidakpastian tarif yang ikut memicu perang dagang, membuat pelaku pasar mengimpor barang dan jasa lebih banyak hingga 42,6%.
Ini terjadi karena pelaku usaha dan konsumen buru-buru membeli dan menimbun barang sebelum harga naik akibat serangkaian pengumuman tarif baru dari pemerintahan Trump.
Sementara itu, pertumbuhan belanja konsumen melambat ke 1,2%, yang merupakan tingkat terlemah sejak kuartal kedua 2023. Belanja pemerintah federal juga turun sebesar 4,6%, menjadi penurunan paling tajam sejak awal 2022.
Yield Terbang, Investor Lego Obligasi AS
Korban yang ketiga adalah pasar obligasi AS yang mengalami aksi jual besar-besaran. Konflik geopolitik dan perang dagang, terutama dengan China membuat negeri sang Naga Asia mengurangi kepentingan dengan AS melalui penjualan treasury.
Sejak 2018, China terus mengurangi porsi UST, bahkan terbaru pada Mei lalu, negeri Tirai Bambu ini sudah turun tahta sebagai pemegang UST terbesar nomor tiga, setelah bertahun-tahun di urutan ke-dua.
Aksi jual yang masif terjadi di UST kemudian mengimplikasi yield terbang. Merujuk data Refinitiv, UST tenor 10 tahun pada pertengahan Mei sempat reli sampai ke atas 4,5%. Adapun saat ini mulai bergerak terkonsolidasi di kisaran 4,4%.
CNBC INDONESIA RESEARCH
Sanggahan : Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investor terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.(tsn/tsn)