Jakarta, CNBC Indonesia- Pare, sayuran yang kerap dicibir karena pahit dan mirip lidah anak-anak, namun disanjung dalam khazanah pengobatan Timur dan lembar-lembar perdagangan global.
Di tengah keresahan dunia atas pangan sintetis dan penyakit metabolik, tanaman pahit ini justru menjelma jadi primadona, dengan China di kursi puncak, dan Indonesia perlahan mencuri sorotan.
Sebagai produsen terbesar pare di dunia, China memanfaatkan sinergi antara tradisi, cuaca, dan sistem pertanian industrial.
Lebih dari 50% produksi global berasal dari provinsi-provinsi tropis seperti Guangdong dan Guangxi. Pare tak hanya hadir di piring makan, tapi juga di botol kapsul, teh herbal, hingga pasar ekspor-dari Hong Kong hingga Amerika Serikat. Bagi China, pare bukan sekadar komoditas, tapi simbol budaya sekaligus kendaraan devisa.
Namun jangan anggap enteng peran Indonesia. Di ladang-ladang Sumatera, Jawa, dan sebagian Kalimantan, pare tumbuh dengan daya tahan yang tangguh. Pada 2023, Indonesia mencetak rekor ekspor tertinggi sepanjang sejarah, dengan volume mencapai 1.646 ton dan nilai US$ 1,94 juta.
Sekitar 75% dari nilai tersebut diserap oleh Singapura, menunjukkan bahwa pare RI memiliki tempat khusus di pasar regional. Meski pada 2024 terjadi koreksi nilai menjadi US$ 1,33 juta, volume tetap tinggi di 1.243 ton, menandakan daya saing kuantitas tetap terjaga.
Permintaan pare di pasar dunia memang tak sekadar soal rasa. Dari pengobatan Ayurveda hingga TCM (Traditional Chinese Medicine), pare dipercaya mampu menurunkan kadar gula darah, menyeimbangkan hormon, dan menyegarkan hati-baik secara medis maupun spiritual.
Di tengah gaya hidup serba instan, tanaman ini tampil sebagai bentuk "resistensi sehat" yang sedang naik daun di kalangan diaspora dan komunitas vegan.
Sayangnya, keunggulan Indonesia masih terkendala pada tahap hilir. Tidak seperti China yang telah mengembangkan varietas hibrida, fasilitas pasca-panen, dan ragam produk turunan, Indonesia masih bergantung pada pare segar. Di saat negara lain ekspor dalam bentuk kapsul dan teh herbal, RI belum konsisten menyuplai produk olahan bernilai tambah tinggi.
Tantangannya bukan pada budidaya, tetapi pada ekosistem ekspor. Tanpa dukungan rantai dingin, standar kemasan internasional, dan kemitraan logistik, pare segar RI berisiko kehilangan nilai begitu meninggalkan ladang. Sementara negara pesaing terus memperluas inovasi dan branding produk, Indonesia harus segera berbenah agar tidak sekadar jadi penyedia bahan mentah.
Pare memang pahit, tapi pasar global justru manis. Dunia sedang melirik bahan alami dan fungsi pangan, dan Indonesia memiliki semua syarat untuk jadi pemain utama-asal mampu menjadikan pare bukan sekedar sebagai produk, tapi juga sebagai identitas ekspor yang diperkuat oleh sains, teknologi, dan cerita budaya.
CNBC INDONESIA RESEARCH
[email protected]
(emb/emb)