Jakarta, CNBC Indonesia - Serangan Israel ke Iran yang berhasil menewaskan ilmuwan dan menghantam fasilitas nuklir kunci, bukannya menghentikan, justru berisiko mempercepat ambisi Tehran memiliki senjata nuklir. Para analis memperingatkan bahwa aksi militer ini bisa menjadi bumerang, terutama jika tidak diikuti dengan solusi diplomatik jangka panjang.
"Serangan ini hanya menunda kemampuan Iran untuk 'break out' selama beberapa bulan," ujar seorang pejabat militer Israel yang enggan disebutkan namanya.
Pernyataan ini diperkuat oleh laporan intelijen AS yang meyakini bahwa Iran masih membutuhkan waktu tiga tahun untuk benar-benar dapat meluncurkan senjata nuklir, seperti dilaporkan CNN International.
Ironisnya, tindakan militer Israel dinilai bisa memicu efek sebaliknya. Alih-alih menghentikan proliferasi nuklir, Iran bisa jadi semakin terdorong untuk mengejar senjata nuklir sebagai langkah perlindungan.
"Jika perang ini berakhir tanpa penghancuran total program nuklir atau kesepakatan yang ketat, Iran kemungkinan akan mempercepat usahanya," ujar Sima Shine, mantan kepala divisi penelitian di badan intelijen Israel, Mossad, seperti dikutip The Guardian, Rabu (18/6/2025).
Shine mengaku belum pernah melihat perbincangan publik di Iran tentang kemampuan militer nuklir sebanyak dalam satu setengah tahun terakhir. "Keputusan Iran untuk menahan diri bisa berubah kapan saja," katanya.
Seorang pejabat militer Barat dengan pengalaman di kawasan itu turut menyuarakan kekhawatiran serupa. "Jika mereka (Iran) masih memiliki kapasitas setelah serangan ini, mereka mungkin akan bergerak secepat mungkin untuk mendapatkan senjata nuklir," ujarnya.
Fasilitas Fordow di dekat Qom disebut sebagai tantangan utama karena terletak jauh di bawah pegunungan dan hanya dapat dihancurkan dengan bom bunker milik Amerika Serikat (AS). Israel sendiri tak memiliki senjata sekuat itu.
Dalam euforia usai serangan awal, Penasihat Keamanan Nasional Israel, Tzachi Hanegbi, mengingatkan bahwa militer tidak dapat menghancurkan program nuklir Iran sendirian. "Itu tidak bisa dicapai lewat kekuatan militer saja. Kami hanya bisa menciptakan kondisi untuk kesepakatan jangka panjang yang dipimpin AS," katanya.
Namun, Perdana Menteri Benjamin Netanyahu tampaknya lebih memilih opsi militer ketimbang diplomasi. Dalam wawancara dengan ABC, ia menyindir sikap pasif Washington, "Saya tidak mengerti Amerika yang sudah mati." Netanyahu juga secara terbuka menginginkan perubahan rezim di Tehran.
Meski demikian, setiap rudal yang menghantam wilayah sipil Iran justru memperlemah narasi moral Israel, menurut Vali Nasr, profesor hubungan internasional di Universitas Johns Hopkins.
"Israel menunjukkan keinginan untuk membunuh sesuka hati, terutama warga sipil," katanya, menambahkan bahwa toleransi Barat terhadap taktik brutal Israel telah mengikis kepercayaan pada tatanan liberal internasional.
David Albright, presiden Institute for Science and International Security, memperingatkan bahwa strategi militer tanpa solusi diplomatik jangka panjang hanya akan menciptakan siklus kehancuran yang berulang. "Jika Israel berhenti mengebom, Iran bisa membangun kembali. Dan mereka harus mengebom lagi," ujarnya.
Sementara itu, analis militer Alex Grinberg menyebut bahwa Israel mungkin memiliki alternatif lain untuk melumpuhkan Fordow, seperti operasi khusus dengan pasukan elit. "Israel mungkin bisa menerbangkan tim menggunakan C-130 untuk menyerbu fasilitas bawah tanah," katanya.
Namun, banyak pihak menilai bahwa hanya melalui kesepakatan diplomatik ketat dengan mekanisme inspeksi yang kuat, ambisi nuklir Iran bisa benar-benar ditekan.
(luc/luc)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Iran Kuasai Dokumen Rahasia Israel, Siap 'Telanjangi' Nuklir Musuhnya