Jakarta, CNBC Indonesia - Ketegangan di Timur Tengah akibat perang antara Israel dan Iran mulai terasa dampaknya di Asia Selatan. Di Pakistan, pemerintahnya secara resmi mengutuk serangan Israel terhadap fasilitas nuklir Iran, yang menewaskan sejumlah jenderal dan ilmuwan penting negara tersebut.
"Ini adalah provokasi terang-terangan dan pelanggaran terhadap kedaulatan teritorial Iran," demikian pernyataan Kementerian Luar Negeri Pakistan, seperti dikutip Al Jazeera.
"Masyarakat internasional dan PBB bertanggung jawab menegakkan hukum internasional dan menghentikan agresi ini."
Namun, di balik sikap diplomatik itu, Pakistan dilanda kecemasan. Serangan udara Israel dan balasan rudal dari Iran yang telah menewaskan lebih dari 240 orang di kedua pihak menyisakan kekhawatiran akan potensi eskalasi yang dapat mempengaruhi stabilitas domestik Pakistan, khususnya di provinsi Balochistan yang berbatasan langsung sepanjang 900 kilometer dengan Iran.
Balochistan selama ini menjadi wilayah rawan konflik akibat gerakan separatis bersenjata dan ketimpangan pembangunan. Selain kaya sumber daya seperti gas, emas, dan tembaga, wilayah ini juga menjadi lokasi strategis proyek Koridor Ekonomi China-Pakistan (CPEC) dan pelabuhan Gwadar.
"Ada kekhawatiran besar bahwa jika perang terus meningkat, kelompok bersenjata seperti Tentara Pembebasan Balochistan (BLA) dan Front Pembebasan Balochistan (BLF) bisa menyusup kembali ke Pakistan melalui perbatasan yang keropos," ujar Abdul Basit, peneliti di S. Rajaratnam School of International Studies, Singapura.
Sebagai langkah pencegahan, sejak 15 Juni pemerintah Pakistan menutup lima titik penyeberangan perbatasan di Balochistan. Lebih dari 500 warga Pakistan, termasuk pelajar dan peziarah, telah dipulangkan dari Iran.
Di sisi lain, pemerintah Pakistan berupaya menampilkan diri sebagai penengah konflik. Menteri Luar Negeri Ishaq Dar mengaku telah berbicara dengan mitranya dari Iran dan menyampaikan kesiapan Islamabad untuk memfasilitasi upaya damai.
"Iran mengatakan jika Israel menghentikan serangan, mereka siap kembali ke meja perundingan," kata Dar dalam pidatonya di parlemen.
Namun, para analis menilai Pakistan cenderung berhati-hati dalam mengambil peran lebih jauh, mengingat hubungan sensitifnya dengan Amerika Serikat (AS), yang juga merupakan sekutu utama Israel, dan upayanya membangun kembali hubungan bilateral yang retak.
"Retorika diplomatik tetap penting, tapi Pakistan kemungkinan tidak akan mengambil posisi tegas yang bisa merusak kepentingan strategisnya dengan AS," ujar Umer Karim, peneliti Timur Tengah dari Universitas Birmingham.
Trauma Pengungsi dan Ancaman Udara Israel
Pakistan juga waspada terhadap potensi gelombang pengungsi seperti yang pernah terjadi akibat konflik Afghanistan. Pemerintah Pakistan kini mencemaskan masuknya warga sipil dan kombatan Iran melalui jalur ilegal.
"Sejarah hubungan lintas perbatasan yang erat bisa menjadi faktor penentu dalam keputusan Islamabad menutup perbatasan," tambah Basit.
Di sisi lain, pengaruh udara Israel yang makin dominan di kawasan juga menjadi sumber kecemasan strategis. "Pakistan menolak dominasi udara Israel atas wilayah Iran karena dapat mengganggu keseimbangan keamanan kawasan," kata Karim.
Di sisi lain, Pakistan, yang mayoritas Sunni, memiliki populasi Syiah lebih dari 15%. Keterlibatan terbuka dalam konflik yang melibatkan Iran bisa memperburuk ketegangan sektarian di dalam negeri.
"Secara historis, Pakistan berpihak ke AS dalam perang regional. Tapi kali ini, risiko polarisasi sektarian membuat pemerintah lebih berhati-hati," kata analis keamanan Ihsanullah Tipu Mehsud.
Konflik Israel-Iran telah membuka kembali luka lama Pakistan, mulai dari persoalan keamanan perbatasan, potensi konflik sektarian, hingga dilemanya dalam posisi geopolitik global. Meskipun berusaha mengambil sikap netral dan diplomatis, realitas di Islamabad menuntut respons lebih dari sekadar pernyataan kecaman.
(luc/luc)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Pakistan Hukum Mati 4 Orang Penghina Al Quran dan Ulama