Ini Beda Pandangan Soal Pajak Sri Mulyani vs Penasihat Presiden AS

5 hours ago 1

Jakarta, CNBC Indonesia- Pajak menjadi salah satu isu panas yang dibahas dalam CNBC Economic Update 2025. Menteri Keuangan Sri Mulyani sebagai pemangku kepentingan perpajakan beradu pendapat dengan ekonom kenamaan Amerika Serikat (AS) Arthur Laffer yang pernah menjabat penasehat ekonomi era Presiden Ronald Reagan dan Donald Trump era pertama.

 Di tengah ketidakpastian global dan riuhnya perang dagang CNBC Indonesia menggelar acara CNBC Economic Update 2025: Striving for Economic Growth Despite Global Uncertainty yang digelar di Hotel Borobudur, hari ini (18/6/2025) untuk mengulas lebih lanjut terkait peran dan posisi Indonesia dalam ekonomi global.

Dalam acara ini CNBC Indonesia turut menghadirkan tokoh-tokoh ekonomi penting, seperti Menteri Keuangan Republik Indonesia Sri Mulyani, juga ekonom legendaris AS, Arthur Laffer.

Dalam paparannya Dr. Arthur Laffer percaya bahwa Indonesia punya modal lengkap untuk melesatkan ekonominya hingga tumbuh 8% per tahun. Namun menurutnya, kunci utama bukan pada jumlah sumber daya, melainkan arah kebijakan pemerintah.

"Apakah Indonesia bisa tumbuh 8%? Tentu bisa! Kalian punya penduduk muda, terdidik, dan penuh semangat wirausaha. Tapi pertanyaannya: apakah pemerintah akan menciptakan kebijakan yang mendukung itu?" ujar Laffer dalam sesi pidato pembuka.

Pendiri teori Laffer Curve ini menegaskan bahwa ekonomi pada dasarnya soal insentif. Ketika kebijakan pemerintah mendorong aktivitas ekonomi, masyarakat akan merespons dengan produktivitas. Namun jika kebijakan justru menekan, maka pertumbuhan akan tertahan.

Dr. Laffer juga menyampaikan bahwa ada lima pilar utama yang harus dipegang untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi yang kuat dan berkelanjutan yaitu pajak rendah dan merata, pengeluaran pemerintah yang terkendali, kebijakan moneter yang stabil, regulasi minimalis,dan perdagangan bebas.

1. Filosofi Dasar Pajak:
Arthur Laffer menekankan prinsip "low-rate, broad-based, flat tax" - tarif pajak rendah yang berlaku luas tanpa banyak pengecualian. Baginya, pajak seharusnya menjadi alat netral untuk membiayai negara, bukan untuk merekayasa distribusi kekayaan. Ia percaya bahwa jika tarif terlalu tinggi, justru akan menurunkan basis pajak karena orang akan menghindar, mengurangi kerja, atau bahkan pindah negara.

Di sisi lain, Sri Mulyani mendukung sistem pajak progresif yang mencerminkan fungsi distribusi keadilan sosial. Indonesia menerapkan lima lapisan tarif (5%-35%) untuk membiayai layanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan, terutama bagi kelompok rentan.

2. Pajak dan Pertumbuhan Ekonomi:
Laffer yakin pajak rendah merangsang pertumbuhan ekonomi karena meningkatkan insentif kerja dan investasi. Ia menyebut bahwa tidak pernah ada negara yang "mencapai kemakmuran karena membebani diri dengan pajak tinggi". Ia menyebut bahwa menaikkan tarif bagi yang kaya justru membuat penerimaan menurun dan ekonomi melambat, berdasarkan bukti historis di AS dan Inggris.

Sri Mulyani melihat pajak bukan sekadar beban, tapi alat stabilisasi ketika ekonomi goyah. Dalam situasi pelemahan global, pajak mendanai belanja pemerintah agar ekonomi tetap bergerak. Bagi Sri, APBN bisa menyerap guncangan ekonomi dan justru menjaga stabilitas pertumbuhan.

3. Pajak dan Pemerataan:
Laffer menolak pandangan bahwa sistem pajak harus digunakan untuk mendistribusikan kekayaan secara agresif. Ia mengkritik ekonomi redistributif ala Piketty dan menyatakan bahwa "tujuan dunia ini adalah membuat orang miskin menjadi kaya, bukan membuat orang kaya menjadi miskin".

Sementara itu, Sri Mulyani secara eksplisit menekankan peran pajak untuk keadilan sosial. Pajak progresif digunakan untuk membiayai fasilitas yang menyetarakan kesempatan, seperti gizi anak miskin dan layanan kesehatan publik, guna menciptakan kesetaraan jangka panjang.

4. Pajak dan Kepatuhan:
Laffer menekankan bahwa sistem pajak yang adil akan meningkatkan kepatuhan. Jika orang kaya merasa tarifnya masuk akal, mereka bersedia membayar. Tapi bila mereka merasa diperlakukan tidak adil, mereka akan mencari celah, bahkan keluar dari sistem.

Sri Mulyani tidak secara eksplisit menyebut kepatuhan dalam pidatonya, namun arah reformasi perpajakan Indonesia memang diarahkan pada peningkatan tax ratio melalui sistem yang lebih adil dan transparan, sejalan dengan semangat fungsi distribusi dan efisiensi.

5. Pajak dan Politik Global:
Laffer banyak menyinggung pengalaman internasional dan menganjurkan pengurangan tarif serta perdagangan bebas. Ia mendukung kebijakan pajak AS era Trump yang menurutnya berhasil menurunkan tarif melalui perjanjian dagang, meski secara retorik Trump dikenal proteksionis.

Sri Mulyani lebih banyak mengkaji dinamika global secara sistemik. Ia melihat tarif sepihak AS justru memicu ketidakpastian dan merusak sistem perdagangan multilateral. Oleh karenanya, stabilitas dan multilateralisme menjadi dasar sikap fiskal Indonesia.

6. Pajak dan Peran Negara:
Laffer percaya pemerintah sebaiknya berperan sebagai wasit, bukan pemain. Negara hanya perlu menyediakan infrastruktur dasar dan hukum yang adil. Selebihnya, biarkan pasar bekerja sendiri.

Sri Mulyani menilai negara punya tanggung jawab aktif dalam mengoreksi distorsi dan mendukung kelompok rentan, termasuk melalui kebijakan fiskal yang terarah dan inklusif. Negara tidak bisa hanya pasif di tengah asimetri pasar.

Pandangan Laffer mencerminkan pendekatan supply-side economics khas AS, menekankan insentif individu dan efisiensi pasar. Sementara Sri Mulyani, sebagai teknokrat negara berkembang, menyeimbangkan kebutuhan pertumbuhan dengan pemerataan dan ketahanan sosial. Perbedaan ini mencerminkan posisi geografis, struktur ekonomi, dan mandat politik yang berbeda dari masing-masing tokoh.

Kurva Laffer
Laffer dikenal luas sebagai penggagas kurva Laffer. Kurva ini menjelaskan relasi antara tarif pajak dan penerimaan pajak.

Kurva Laffer adalah konsep dalam ekonomi yang menggambarkan hubungan antara tingkat pajak dan pendapatan pajak yang dikumpulkan pemerintah. Ide utama dari kurva ini bahwa tarif pajak yang tinggi tidak serta merta melipatgandakan penerimaan.

Tarif pajak yang lebih rendah dapat berdampak positif terhadap kerja, produksi, dan penciptaan lapangan kerja yang pada akhirnya memperluas basis pajak karena memberikan insentif bagi peningkatan aktivitas ekonomi.

  • Pada tarif pajak 0%, pemerintah tidak akan memperoleh penerimaan pajak, tidak peduli seberapa besar basis pajaknya.
  • Pada tarif pajak 100%, pemerintah juga tidak akan memperoleh penerimaan pajak karena tidak ada yang mau bekerja jika seluruh pendapatannya diambil sebagai pajak (tidak ada basis pajak).

Jika tarif pajak terlalu rendah, pendapatan pemerintah sedikit karena sedikit yang dipungut. Sebaliknya, jika tarif pajak terlalu tinggi, pendapatan pemerintah juga sedikit karena orang akan menghindari pajak (misalnya mengurangi usaha, beralih ke sektor informal, atau melakukan penghindaran pajak). Ada titik optimal di mana tarif pajak menghasilkan pendapatan maksimum bagi pemerintah.

Kurva ini berbentuk seperti lonceng atau parabola terbalik:

Kurva LafferFoto: pajak
Kurva Laffer

CNBC INDONESIA RESEARCH
[email protected]

(emb/emb)

Read Entire Article
Kepri Bersatu| | | |