Geger! Bersandar di Pintu, Pria Terkaya Dunia Tewas Jatuh dari Pesawat

1 day ago 3

Jakarta, CNBC Indonesia - Sebelum matahari terbenam, Alfred Loewenstein menaiki tangga pesawat pribadinya dengan langkah mantap. Dia hendak pulang ke Brussel, Belgia, setelah menyelesaikan urusan bisnis di Croydon, Inggris.

Bagi Alfred, terbang dari Croydon ke daratan Eropa hanyalah rutinitas biasa dalam hidupnya yang serba cepat dan mewah. Dia sudah ratusan kali menempuh rute serupa. Begitu pula lima orang bawahannya yang ikut serta dalam penerbangan tersebut. Namun, kali ini tidak ada yang menyadari bahwa penerbangan pada 5 Juli 1928 itu akan menjadi yang terakhir bagi sang konglomerat.

Setelah pesawat lepas landas pada pukul 6 sore dan mencapai ketinggian 4.000 kaki atau 1,2 Km, Alfred terlihat sibuk dengan dirinya sendiri. Dia merobek-robek kertas dan menulis sesuatu dengan serius.

Tak seorang pun tahu apa yang sedang ditulisnya. Namun ketika pesawat memasuki wilayah Selat Channel, yang memisahkan Inggris dan daratan Eropa, aktivitasnya mendadak terhenti. Dia bangkit dari kursi dan berjalan menuju toilet di bagian belakang pesawat.

Menurut laporan koran Belanda Nieuwe Venlosche Courant (6 Juli 1928), semua orang mengira pria kelahiran 11 Maret 1877 itu hanya hendak buang air. Namun, perlahan muncul keheranan.

Beberapa menit berlalu, Alfred tak juga kembali. Dengan perasaan khawatir, salah satu penumpang kemudian mendobrak pintu dan terkejut mendapati Alfred menghilang, sementara pintu belakang pesawat dalam keadaan terbuka.

"Diduga dia keliru membuka pintu keluar dan terjatuh dari pesawat. Dia jatuh ke laut dan kemungkinan besar tenggelam," tulis koran tersebut.

Seketika itu juga, pilot memutuskan untuk mendarat darurat. Dalam waktu singkat, kabar hilangnya Alfred menyebar luas dan memicu misteri yang belum terpecahkan hingga kini.

Bunuh Diri atau Dibunuh?

Alfred Loewenstein adalah seorang pengusaha asal Belgia yang meraih kejayaan di sektor energi. Dia memiliki perusahaan listrik yang memasok energi ke berbagai negara berkembang di seluruh dunia. Dari sinilah dia mulai membangun kekayaannya, yang kemudian dialihkan sebagian ke sektor investasi.

Sejak tahun 1910, Alfred mulai aktif berinvestasi di industri perbankan Eropa. Keberhasilan dalam mengelola aset membuatnya melesat menjadi salah satu tokoh paling berpengaruh dalam dunia keuangan.

Pada puncak kariernya, dia tercatat sebagai orang terkaya ke-3 di dunia. New York Times (11 September 1928) menyebut, total kekayaannya mencapai 12 juta pound sterling pada 1928. Nominal tersebut setara 728 juta pound sterling pada masa kini atau setara Rp14,5 triliun. 

Beberapa hari sebelum peristiwa nahas itu, Alfred dikabarkan mengalami kerugian besar.

Berbagai rencana keuangan yang dia susun gagal total. Ekspansi perusahaan listriknya ke Amerika Serikat tidak berjalan mulus. Bantuan yang dijanjikannya kepada pemerintah Belgia kandas. Bahkan upayanya untuk mengakuisisi sebuah perusahaan tekstil di Belanda pun tidak berhasil.

Dari sini, harian Aaltensche courant (20 Juli 1928) mewartakan, bahwa insiden jatuhnya Alfred dari pesawat mungkin berkaitan dengan tekanan mental akibat serangkaian kegagalan tersebut. Kemungkinan tindakan bunuh diri pun menjadi dugaan awal.

Namun, kesimpulan ini dibantah oleh awak dan penumpang pesawat. 

Kapten pesawat, Drew, bersaksi kepada koran Voorwaarts: sociaal-democratisch dagblad (6 Juli 1928), jatuhnya sang bos dari pesawat merupakan kecelakaan.  Alfred diduga tidak sengaja bersandar pada pintu keluar di bagian belakang pesawat.

Tanpa disadari, tindakannya itu mendorong pintu hingga terbuka, yang kemudian mengakibatkan tubuhnya terlempar keluar dari pesawat. Dugaan bunuh diri karena depresi juga dibantah oleh teman bisnis dan juga penumpang pesawat, yakni Andrew Holt. 

"Dia dalam kondisi kesehatan yang sangat baik dan suasana hatinya juga sangat baik. Dia bilang ke saya kalau ingin berpergian lagi selama beberapa hari," ungkap Andrew Holt sembari membantah dugaan bunuh diri temannya.

Meski dugaan bunuh diri atau kecelakaan sempat mencuat, kedua teori itu mulai dipertanyakan setelah Kementerian Udara Inggris merilis temuannya.

Mereka membuktikan bahwa membuka pintu pesawat di ketinggian bukanlah hal mudah. Diperlukan tenaga yang sangat kuat, bahkan lebih dari satu orang. Sebab, tekanan udara dan hembusan angin di ketinggian membuat pintu sulit dibuka secara normal.

Dari sinilah spekulasi bahwa Alfred dibunuh mulai mencuat. Beredar dugaan bahwa dia dihabisi oleh salah satu penumpang di pesawat, lalu jasadnya dibuang dari udara. Motifnya pun bervariasi, mulai dari suruhan pesaing bisnis hingga dendam pribadi.

Namun, teori pembunuhan ini mulai melemah setelah jasad Alfred ditemukan 14 hari kemudian. Pada 19 Juli 1928, seorang nelayan menemukan mayatnya di perairan Prancis.

"Di jenazah Alfred ada luka terbuka di dada kiri dan bahu. Lalu kaki kiri sebagian hilang," tulis Tilburgsche courant (20 Juli 1928). 

Meski terlihat mencurigakan, hasil otopsi tidak menemukan tanda-tanda pembunuhan. Kepada New York Times (11 September 1928), dokter forensik menyebut semua luka bukan tanda pembunuhan. Tak ada pula jejak racun, jeratan, atau luka lebam. Semua luka hasil hantaman air dan pembusukan di lautan.

"Artinya, Alfred masih hidup ketika menghantam air," ungkap tim dokter forensik. 

Dokter mengungkap alasan dia jatuh paling logis adalah kecelakaan karena bersandar di pintu.

"Sekarang tinggal dibuktikan, apakah korban bisa membuka pintu pesawat selama penerbangan?," kata dokter.

Sayang, pertanyaan tak terjawab. Kepolisian akhirnya menutup kasus tersebut tanpa kesimpulan pasti mengenai motifnya. Alhasil, kematian Alfred Loewenstein masih menyisakan tanda tanya besar sampai sekarang.


(mfa)

Saksikan video di bawah ini:

Video: Lirik Prospek Bisnis Produk Perawatan Rambut Lokal Go Global

Read Entire Article
Kepri Bersatu| | | |