Ekonom Soroti Masalah BSU Pekerja, dari Penerima sampai Nominal

4 hours ago 1

Jakarta, CNBC Indonesia - Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia mencatat banyaknya tenaga kerja produktif Indonesia yang belum tercakup ke dalam program insentif pemerintah, tatkala perekonomian Indonesia tengah goyah.

Dalam laporan CORE Insight bertajuk "Setengah Daya Pacu Ekonomi" edisi Juni 2025, para peneliti CORE telah menegaskan bahwa ekonomi Indonesia saat ini dalam kondisi yang terperosok. Namun, stimulus yang digelontorkan pemerintah hanya dinikmati segelintir masyarakat.

Kondisi ekonomi yang melemah ini tercermin dari berbagai indikator, misalnya Indeks Ekspektasi Konsumen (IEK) pada April 2025 yang tercatat merosot ke angka 129,8, lebih rendah dibanding bulan sebelumnya yang mencapai 131,7.

"Meski masih berada di zona optimis, penurunan ini menjadi sinyal bahwa kepercayaan masyarakat terhadap arah ekonomi mulai goyah," dikutip dari laporan yang ditulis ekonom CORE, Yusuf Rendy Manilet, Azhar Syahida, dan Eliza Mardian.

Dari salah satu indikator itu, CORE mencatat yang mengkhawatirkan ialah harapan terhadap ketersediaan lapangan kerja dan kegiatan usaha ke depan ikut menurun. Indeks Ekspektasi Ketersediaan Lapangan Kerja (IEKLK) melemah ke 123,5 dari sebelumnya 125,9, sementara Indeks Ekspektasi Kegiatan Usaha (IEKU) turun ke 128,5 dari 132,2.

"Melihat kondisi ekonomi yang lesu, tak mengherankan jika lembaga internasional seperti Bank Dunia memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2025 hanya 4,7%. Prediksi ini sejalan dengan perkiraan CORE Indonesia pada April lalu, yang menempatkan proyeksi pertumbuhan di kisaran 4,6%-4,8%," tulis tim ekonom CORE dalam laporannya.

Di tengah permasalahan itu, pemerintah memang telah menggelontorkan berbagai insentif guna menopang daya beli masyarakat, di antaranya diskon tarif transportasi, diskon tarif tol, bansos bantuan pangan, bantuan subsidi upah (BSU), serta diskon iuran jaminan kecelakaan kerja (JKK).

Sayangnya, untuk cakupan penerima bantuan stimulus pemerintah masih terbatas. Pada program Bantuan Subsidi Upah (BSU) misalnya, pemerintah berencana menyalurkan bantuan kepada 17,3 juta pekerja dengan gaji di bawah Rp 3,5 juta per bulan.

Padahal, menurut data BPS, jumlah pekerja dengan gaji di bawah Rp 3,5 juta mencapai sekitar 95 juta orang, atau sekitar 75% dari total tenaga kerja Indonesia. Artinya, BSU yang disalurkan pemerintah hanya menjangkau sekitar 18% dari kelompok pekerja yang seharusnya menjadi target bantuan.

"Bantuan Subsidi Upah (BSU) yang disalurkan pemerintah hanya menjangkau sekitar 18% dari kelompok pekerja yang seharusnya menjadi target bantuan," kata tim ekonom CORE dalam laporannya.

Selain jumlah penerima yang masih terbatas, skema penyaluran Bantuan Subsidi Upah (BSU) juga belum menyasar pekerja di sektor informal. Salah satu syarat utama untuk menerima bantuan ini adalah penerima harus terdaftar sebagai peserta aktif di BPJS Ketenagakerjaan.

"Persyaratan ini secara otomatis mengecualikan jutaan pekerja informal, seperti pedagang kaki lima, pengemudi ojek daring, buruh harian, tukang bangunan, dan pekerja lepas lainnya," ucap CORE.

"Padahal, kelompok pekerja informal ini juga terdampak tekanan ekonomi, terutama dalam situasi harga kebutuhan pokok yang terus naik dan daya beli yang melemah. Mereka bekerja tanpa kepastian pendapatan tetap, tanpa jaminan sosial, dan sangat rentan terhadap guncangan ekonom," tegas mereka.

Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) FEB UI sebelumnya juga telah mewanti-wanti besaran nominal Bantuan Subsidi Upah (BSU) yang kembali digelontorkan pemerintah untuk periode Juni-Juli 2025 tak akan memberi efek menjaga daya beli masyarakat.

Dalam Labor Market Brief edisi Juni 2025 bertajuk "Bantuan Subsidi Upah (BSU) Setelah Lima Tahun: Masihkah Relevan? Bagaimana Seharusnya Ke Depan?" terungkap nominal BSU yang diberikan pemerintah tak sejalan dengan kenaikan biaya hidup masyarakat.

"Dari sisi real value, besaran manfaat BSU menunjukkan tren penurunan yang tidak sejalan dengan kenaikan biaya hidup," dikutip dari kajian LPEM FEB UI itu yang ditulis Muhammad Hanri dan Nia Kurnia Sholihah, Senin (16/6/2025).

Kenaikan biaya hidup ini tergambar dari angka inflasi yang terus terjadi dari tahun ke tahunnya. Sementara itu, nilai BSU menurut LPEM FEB UI tak mengalami perubahan sejak digulirkan pertama kali saat masa Pandemi Covid-19 pada 2020.

Pada gelombang pertama (2020), penerima memperoleh Rp 600.000 per bulan selama empat bulan (total Rp 2,4 juta). Pada 2025, besaran manfaat yang diberikan hanya Rp 300.000 per bulan selama dua bulan (total Rp 600.000).

Sementara itu, inflasi terus terjadi selama lima tahun ini. Pada 2020, tekanan inflasi yang tergambar dari indeks harga konsumen (IHK) BPS sebesar 1,68% secara tahun berjalan (ytd). 2021 menjadi 1,87% ytd, 2022 sebesar 5,51% ytd, 2023 menjadi 2,61% ytd, dan pada 2024 sebesar 1,57% ytd.

"Selama periode yang sama, inflasi kumulatif, baik yang bersumber dari inflasi domestik maupun tekanan harga global telah menyebabkan daya beli riil dari manfaat BSU turun signifikan," tulis LPEM FEB UI dalam laporannya.

Tanpa mekanisme penyesuaian otomatis atau indeksasi terhadap inflasi atau upah minimum, LPEM FEB UI menganggap efektivitas BSU dalam menjaga daya beli penerima makin tergerus.

Tidak hanya dari sisi nilai riil, desain pelaksanaan BSU adalah pemberian bantuan dalam nominal yang seragam secara nasional, tanpa memperhitungkan variasi biaya hidup antar daerah.

Selama empat gelombang pelaksanaannya sejak 2020, baik di tengah pandemi maupun di masa normalisasi ekonomi tahun 2025, besaran BSU selalu ditetapkan dalam angka absolut yang sama, misalnya Rp 600 ribu per penerima, terlepas dari di mana pekerja tersebut tinggal dan bekerja.


(arj/haa)
[Gambas:Video CNBC]

Next Article Catat! Syarat Utama Penerima Bantuan Subsidi Upah Rp 150 Rb/ Bulan

Read Entire Article
Kepri Bersatu| | | |