Ungkap Tantangan dan Peluang Bisnis, Bank DBS Indonesia Gelar Forum Ini

6 hours ago 2

Jakarta, CNBC Indonesia - Ekonomi nasional pada awal tahun alami pelemahan. Tantangan semakin berat, sebab pada level global tengah terjadi perang dagang yang dipicu kebijakan tarif Presiden Amerika Serikat Donald Trump.

Anggota Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Chatib Basri mengatakan tidak usah khawatir tentang terjadinya resesi. Keyakinan Chatib ini bukan disebabkan ketahanan ekonomi domestik dari perlambatan ekonomi global akibat perang dagang, melainkan faktor "luck" yang disebabkan keterkaitan ekonomi RI dengan dunia sangat minim.

"Karena apa? dua hal, good policy response and good luck. Ini sebetulnya kita enggak design, tapi karena kita enggak kompetitif," ucap Chatib dikutip Kamis (15/5/2025).

Chatib menjelaskan, tidak terlalu terintegrasinya ekonomi Indonesia dengan global ini tercermin dari besaran porsi ekspor terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia yang minim dibanding Vietnam, Singapura, ataupun Thailand.

Sementara itu, Ekonom dari Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin menilai Trump trade war berpotensi membuat situasi di masa mendatang semakin menantang. Apalagi di Indonesia, juga punta tantangan domestik dan struktural.

Tantangan RI saat ini dinilai Wijayanto bersifat struktural yang diperburuk dengan kebijakan yang bukan merupakan solusi dan seringkali justru memperburuk keadaan. Kondisi birokrasi yang tidak efisien memperburuk situasi.

"Situasi ini menjadi semakin menantang akibat kondisi geopolitik-ekonomi global yang semakin dinamis," ujarnya.

Dalam jangka pendek, ia menilai pemerintah perlu kalibrasi program besar mahal dan berjangka panjang, seperti MBG, 3 Juta Rumah, IKN, Koperasi Merah Putih dan GSW. Sumberdaya dan dana perlu dialokasikan lebih untuk program jangka pendek yang berdampak langsung bagi penciptaan lapangah kerja dan mendongkrak daya beli.

"Penghapusan blokir oleh Kemenkeu sudah tepat, walaupun terkesan terlambat," ujarnya.

Sedangkan Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menjelaskan situasi ekonomi saat ini bukan sedang tertekan akibat pandemi, namun laju pertumbuhan hampir sama dengan masa pandemi. Sehingga adanya gejala resesi teknikal pada triwulan berikutnya.

"Jika dibandingkan per kuartal, angka nya cukup mengkhawatirkan. Pertumbuhan triwulan I 2025 minus 0,98% terendah dibandingkan periode yang sama sejak 5 tahun terakhir. Sektor industri pengolahan yang tertekan menjadi sinyal berlanjutnya tekanan ekonomi. Skenario resesi teknikal harus dihindari," ujar Bhima.

Bhima menilai Indikator Purchasing Managers Index (PMI) Indonesia yang berada di bawah level ekspansi atau 46,7 pada April 2025 perlu jadi perhatian pemerintah. Tekanan akibat adanya perang dagang hanya salah satu faktor pemicu industri berada dibawah kapasitas optimalnya.

"Tapi di dalam negeri, efek industri melemah ibarat lingkaran setan (vicious cycle), menciptakan pelemahan daya beli lebih dalam berujung pada menurunnya permintaan produk industri," ujarnya.

Maka dari itu, ia menilai pemerintah wajib meningkatkan daya beli masyarakat melalui program-program yang sifatnya fiskal ekspansif seperti pembagian bantuan sosial terutama bagi kelompok menengah dan rentan.

Adapun Bank terbesar di Asia Tenggara, Bank DBS Indonesia menyoroti pertumbuhan ekonomi Indonesia yang terdampak oleh sentimen global dan domestik. DBS Group Research pun akan melakukan penilaian kembali atas proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5% pada 2025 yang kini menghadapi risiko penurunan moderat.

Seperti diketahui, pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) Indonesia melambat ke level 4,85% pada kuartal I-2025, dibandingkan dengan kuartal sebelumnya yakni sebesar 5%. Salah satu penyebab perlambatan pertumbuhan ekonomi nasional adalah konsumsi domestik yang melemah. Terbukti, konsumsi pemerintah turun 1,2% year on year (yoy) pada kuartal I-2025, dibandingkan dengan kuartal I-2024 yang mana konsumsi pemerintah tumbuh 20% yoy berkat adanya Pemilu.

Dari sisi global, kebijakan kenaikan tarif impor Amerika Serikat (AS) dikhawatirkan memicu perang dagang, sehingga turut memengaruhi kondisi ekonomi global dan nasional. Ditambah lagi, pasar juga dihantui oleh kebijakan imigrasi dan upaya Departemen Efisiensi Pemerintah (DOGE) AS yang memangkas jumlah pegawai federal, sehingga mengurangi kepercayaan konsumen dan memicu risiko perlambatan pertumbuhan ekonomi.

Kendati mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi, Bank DBS Indonesia menilai Indonesia tetap berpeluang bangkit seiring potensi optimalisasi penanaman modal asing (FDI) serta pemanfaatan ekspor dan konfigurasi ulang Tiongkok+1. Terlebih lagi, di tengah persaingan global yang memanas, Presiden Prabowo Subianto menggarisbawahi pentingnya tetap 'tidak berpihak', tetapi mempertahankan keterkaitan dengan semua mitra global utamanya.

"Di bawah pemerintahan yang baru, Bank DBS Indonesia Group Research berharap aktivitas perdagangan dan investasi akan menerima dorongan baru untuk memanfaatkan konfigurasi ulang rantai pasokan yang sedang berlangsung, yang didorong oleh pertimbangan Tiongkok+1," ungkap laporan Bank DBS Indonesia yang berjudul "Tren Ekonomi Indonesia di Kuartal Pertama 2025: Antara Dorongan Pertumbuhan dan Tantangan Fiskal".

Seperti yang diketahui, pangsa Indonesia dalam ekspor global telah meningkat paling tinggi dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya antara tahun 2018 dan 2022-2023. Peningkatan ini khususnya terjadi pada sebagian besar sektor komoditas, selain bahan kimia, pulp dan kertas, produsen kayu, barang pertanian, tekstil, dan makanan laut.

Berkaca dari situ, tidak heran jika Indonesia telah secara aktif terus mengejar hilirisasi berbagai komoditas untuk memangkas kerentanannya terhadap perubahan harga di pasar global. Hilirisasi ini juga dilakukan untuk menarik nama-nama mapan agar dapat menaikkan rantai nilai dan meningkatkan ekspor versi olahan dari sumber daya alam. Kinerja ekspor (22% dari PDB) Indonesia pun terkait erat dengan siklus komoditas.

"Analisis kami tentang pertumbuhan ekspor masa lalu vis-à-vis harga komoditas (menggunakan Indeks CRB Komoditas FTSE/Inti sebagai proxy) menunjukkan korelasi yang erat antara keduanya," ungkap DBS Group Research.

DBS Group Research juga memaparkan, pertumbuhan konsumsi dan sumber daya manusia juga terus terjadi. Indonesia terus menikmati keuntungan dari dividen demografis, bahkan ketika negara-negara tetangganya menghadapi penurunan jumlah penduduk usia kerja dan meningkatnya usia harapan hidup, sehingga menghasilkan masyarakat menua dengan cepat.

Sebagai negara dengan populasi penduduk terbesar di kawasan ASEAN, Indonesia telah diuntungkan oleh model pertumbuhan yang didorong oleh konsumsi. Selain kuantitas, pemerintah juga diharapkan dapat meningkatkan kualitas angkatan kerja.

Untuk membahas tantangan dan peluang investasi di Indonesia, Bank DBS Indonesia Indonesia akan menggelar Asian Insights Conference dengan tema "Growth in a Changing World". Acara ini akan berlangsung pada Rabu, 21 Mei 2025 di Grand Ballroom Hotel Mulia, Jakarta.

Asian Insights Conference adalah platform utama bagi bisnis dan investor untuk menavigasi perubahan global dan regional. Bank DBS Indonesia memposisikan diri sebagai mitra keuangan yang terpercaya, menawarkan wawasan tentang tren kunci dan solusi untuk pertumbuhan.


(rah/rah)

Saksikan video di bawah ini:

Video: DBS Siap Gelar Asian Insights Conference 2025!

Next Article Bank DBS Indonesia Raup Laba Bersih Rp 303,04 M di Januari

Read Entire Article
Kepri Bersatu| | | |