Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Tekanan dunia terhadap krisis iklim kian meningkat. Sementara transisi ke energi bersih terus didorong, kenyataannya permintaan global terhadap minyak dan gas (migas) masih belum surut-terutama di negara berkembang seperti Indonesia.
Dalam dilema ini, muncul kebutuhan akan solusi yang tidak hanya ideal secara lingkungan, tetapi juga realistis secara ekonomi dan teknologi. Salah satu pendekatan paling menjanjikan adalah subsea carbon capture and storage (CCS): teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon di bawah dasar laut.
Berbeda dengan solusi iklim konvensional yang bergantung pada efisiensi energi atau penetrasi energi terbarukan yang membutuhkan waktu dan infrastruktur besar, subsea CCS bekerja dengan prinsip sederhana: emisi CO₂ dari fasilitas migas ditangkap, lalu disuntikkan ke formasi geologi kosong di bawah laut-seperti lapisan batu pasir bekas sumur gas.
Di sinilah letak keunggulan Indonesia. Sebagai negara kepulauan dengan sejarah eksplorasi migas lebih dari 50 tahun, kita memiliki ribuan kilometer kubik ruang penyimpanan karbon bawah laut yang belum dimanfaatkan.
Beberapa wilayah, seperti Cekungan Sunda, Natuna Timur, dan Laut Jawa bagian utara, memiliki struktur geologi yang sangat cocok untuk menyimpan karbon dalam jangka panjang secara aman. Bahkan menurut studi awal dari Kementerian ESDM dan lembaga internasional, potensi kapasitas penyimpanan karbon bawah laut Indonesia bisa mencapai lebih dari 400 gigaton-.
Angka tersebut cukup untuk menampung emisi nasional selama ratusan tahun. Namun potensi itu masih belum dijadikan fondasi utama dalam strategi transisi energi kita.
Sementara itu, dunia mulai bergerak cepat. Norwegia, Inggris, dan Amerika Serikat (AS) telah meluncurkan proyek-proyek subsea CCS skala besar seperti Northern Lights, Acorn, dan Gorgon. China pun mulai menggali kapasitas penyimpanan CO₂ di laut Bohai.
Bahkan Malaysia dan Australia telah menandatangani kontrak komersial pertama di kawasan ASEAN untuk ekspor karbon lintas batas. Artinya, jika Indonesia tidak segera menyusul, kita bisa tertinggal dalam rantai nilai karbon global yang sedang dibentuk saat ini.
Subsea CCS bukan hanya soal mitigasi emisi. Ia adalah peluang strategis yang juga realistis untuk dilaksanakan.
Pertama, teknologi ini bisa menjadi jembatan transisi yang realistis untuk sektor migas nasional yang menyumbang sekitar 14% PDB Indonesia. Kedua, ia membuka pintu baru bagi investasi energi rendah karbon tanpa harus menunggu hilirisasi EBT yang masih berkembang lambat.
Ketiga, Indonesia bisa menjadi tujuan ekspor karbon bagi negara tetangga yang tidak punya kapasitas penyimpanan CO₂. Dengan posisi geografis yang strategis, kita bisa membangun hub penangkapan karbon regional di Selat Makassar, Laut Jawa, atau perairan Natuna.
Lebih jauh, penerapan subsea CCS juga membuka ruang diplomasi baru. Di tengah perundingan iklim internasional yang makin menuntut aksi konkret, Indonesia bisa mengambil posisi proaktif dengan menunjukkan komitmen net-zero yang berbasis teknologi.
Saat dunia menilai siapa yang serius dalam menurunkan emisi, proyek CCS di bawah laut Indonesia bisa menjadi simbol bahwa negara berkembang juga mampu memimpin, bukan hanya mengikuti.
Namun, jalan menuju subsea CCS juga tidak mudah. Tantangan pertama adalah biaya. Teknologi ini memang membutuhkan investasi awal yang besar-baik untuk pembangunan fasilitas penangkap karbon, pipa bawah laut, maupun sistem injeksi geologi. Namun dalam jangka panjang, CCS justru bisa menjadi lebih murah dibanding biaya sosial dan ekonomi dari gagal mencapai target iklim.
Untuk itu, pemerintah perlu menyusun insentif fiskal dan kebijakan pembiayaan campuran (blended finance) yang menarik bagi investor swasta. Seperti yang dilakukan Norwegia melalui skema carbon contracts for difference, atau Amerika Serikat melalui kredit pajak 45Q, Indonesia bisa menciptakan kerangka insentif yang membuat CCS menjadi investasi rasional.
Tantangan kedua adalah kerangka hukum dan perizinan. Saat ini, Indonesia belum memiliki regulasi CCS yang spesifik dan terintegrasi. Hal tersebut membuat investor ragu, dan proyek-proyek potensial terhambat karena ketidakpastian hukum.
Perlu segera diterbitkan peraturan presiden atau bahkan UU khusus CCS yang menjawab pertanyaan dasar: siapa pemilik karbon yang disimpan? Siapa yang bertanggung jawab setelah injeksi? Berapa lama izin berlaku? Dan bagaimana karbon lintas negara diperlakukan?
Tantangan ketiga adalah dukungan infrastruktur dan sumber daya manusia. Kita butuh peta bawah laut yang lebih perinci, sistem pemantauan karbon yang akurat, serta tenaga ahli geologi dan teknik yang paham skenario injeksi jangka panjang. Ini menjadi peluang baru bagi universitas dan lembaga riset nasional untuk menciptakan program studi dan pusat keunggulan baru yang fokus pada teknologi CCS.
Meski kompleks, subsea CCS memberi kejelasan arah: ia bukan sekadar teknologi, melainkan strategi nasional. Dalam skenario ideal, Indonesia bisa memanfaatkan infrastruktur migas yang sudah ada-seperti pipa bawah laut dan sumur tua-untuk dikonversi menjadi fasilitas penyimpanan karbon.
Hal itu akan menghemat biaya dan mempercepat implementasi. Proyek-proyek seperti Tangguh LNG di Papua Barat, Corridor di Sumatra Selatan, atau Mahakam di Kalimantan Timur bisa menjadi lokasi awal uji coba CCS skala penuh.
Jika dikelola dengan baik, subsea CCS bahkan bisa menjadi ekspor jasa baru bagi Indonesia. Bayangkan, negara-negara seperti Singapura, Brunei Darussalam, atau bahkan Jepang menyewa ruang penyimpanan karbon di reservoir bawah laut Indonesia, membayar jasa pengelolaan emisi sebagaimana mereka menyewa terminal LNG atau bandwidth internet. Dengan mekanisme ini, karbon bukan hanya beban, tetapi aset ekonomi baru.
Sudah saatnya pemerintah menyatakan secara terbuka bahwa subsea CCS adalah bagian dari strategi net-zero Indonesia. Jangan sampai pendekatan dekarbonisasi hanya terjebak dalam narasi subsidi EBT, panel surya atap, atau kendaraan listrik semata-yang meski penting, tidak cukup untuk mengurangi emisi industri besar dan sektor energi fosil dalam waktu dekat.
Subsea carbon capture adalah strategi realistis menuju net-zero migas. Ia tidak bertentangan dengan agenda energi bersih, melainkan menjembatani kekosongan waktu dan teknologi antara hari ini dan masa depan yang sepenuhnya terbarukan. Dalam dunia yang diburu tenggat waktu iklim, pilihan teknologi yang bisa diterapkan sekarang dan berdampak besar harus ditempatkan di garis depan kebijakan.
Indonesia punya semua komponen untuk memimpin di kawasan Asia Tenggara: sumber geologi yang kaya, kapasitas teknis yang sedang tumbuh, dan kebutuhan untuk mempertahankan ekonomi migas tanpa mengorbankan iklim.
Yang dibutuhkan sekarang adalah keberanian untuk memulai dan kemauan politik untuk menjadikannya prioritas nasional. Karena dalam pertarungan menuju net-zero, yang bergerak pertama akan jadi penentu. Dan Indonesia, bisa-dan harus-menjadi yang terdepan di kawasan.
(miq/miq)