Mencermati Rencana Pengadaan Jet Tempur Indonesia Periode 2025-2029

5 hours ago 2

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas sampai saat ini belum meluncurkan Daftar Rencana Pinjaman Luar Negeri Jangka Menengah (DRPLN-JM) 2025-2029 untuk Kementerian Pertahanan yang dinantikan oleh para pemangku kepentingan.

Walaupun demikian, nampak jelas bahwa ambisi belanja peralatan pertahanan sampai akhir dasawarsa ini cukup besar dengan munculnya sejumlah wacana pengadaan oleh Kementerian Pertahanan. Dapat dipastikan ketika wacana pengadaan tersebut dibandingkan dengan kapasitas fiskal pemerintah, akan muncul ketidaksesuaian antara ambisi belanja dengan kemampuan fiskal yang tersedia.

Sebagai acuan, asumsi yang menjadi dasar kapasitas fiskal pemerintah adalah alokasi Pinjaman Luar Negeri (PLN) pada kisaran US$ 20 miliar untuk tempo 2025-2029.
Pada era kedua Presiden Joko Widodo, Kementerian Keuangan sudah menetapkan bahwa alokasi PLN untuk Kementerian Pertahanan untuk kurun 2020-2034 ialah US$ 55 miliar.

Dari kuota tersebut, sebanyak US$ 25 miliar telah dialokasikan bagi periode 2020-2024, walaupun berapa daya serap anggaran tersebut belum dapat diketahui mengingat lebih sekitar 50 kontrak pengadaan belum berstatus efektif.

Saat ini tersisa jatah PLN US$ 30 miliar untuk aktivitas pengadaan sistem senjata di era 2025-2029 dan 2030-2034. Sampai sejauh ini, belum tersedia informasi bahwa Kementerian Keuangan telah mengubah kuota PLN yang ditetapkan lima tahun lampau.

Di antara ambisi belanja peralatan perang adalah akuisisi jet tempur, di mana terdapat wacana pengadaan pesawat tempur selain F-15EX. Rencana pembelian F-15EX mungkin akan diwujudkan pada periode 2025-2029 jika program tersebut tercakup dalam Blue Book, selain diterbitkannya lisensi ekspor oleh Departemen Luar Negeri Amerika Serikat.

Keraguan terhadap impor F-15EX bukan sekadar disebabkan oleh belum terbitnya DRPLN-JM 2025-2029, akan tetapi oleh sikap politik Indonesia dalam enam bulan terakhir yang justru bisa memicu alarm bahaya pada realisasi rencana perolehan penempur buatan Boeing. Sikap politik Indonesia yang dimaksud bukan saja soal kedekatan Jakarta dengan Beijing dan Moskow, tetapi juga rencana Indonesia melakukan upgrade F-16 ke Turki tanpa seizin Amerika Serikat.

Pembelian pesawat tempur J-10 bekas dari China tercatat sebagai salah satu diskursus dalam memenuhi kebutuhan jet tempur hingga dekade ini berakhir. Wacana tersebut apabila diwujudkan akan menimbulkan implikasi politik dan teknis bagi Indonesia, apalagi rencana akuisisi bersifat top-down di mana calon pengguna hanya berperan pasif, yakni menerima arahan dari atas saja.

Dari aspek politik, Indonesia tidak dapat berdalih atas nama status sebagai negara non-blok dalam rencana impor J-10, sebab dalam urusan penyebaran teknologi tidak dikenal istilah non-blok. Salah satu kemungkinan implikasi politik bila Jakarta memutuskan pengadaan J-10 ialah Amerika Serikat dapat saja mengurangi dukungan logistik terhadap armada F-16, selain tidak menyetujui ekspor F-15EX.

Merupakan hal yang aneh bila Indonesia melakukan akuisisi jet tempur dari negara yang di masa depan memiliki probabilitas tinggi untuk menjadi musuh Indonesia dibandingkan negara-negara lain di kawasan Indo Pasifik. Tindakan China yang konsisten merongrong hak berdaulat Indonesia di Laut China Selatan adalah sebuah fakta tidak terbantahkan, terlepas berapa banyak investasi negara itu di sini.

Andaikata kepentingan nasional jangka panjang menjadi salah satu acuan Indonesia dalam rencana pengadaan jet tempur, para rencana strategis mustahil memiliki kehendak mendatangkan pesawat tempur buatan China. Masalahnya adalah wacana pembelian J-10 bekas tidak pernah didiskusikan secara intensif yang mengikutkan semua pemangku kepentingan.

Adapun dari aspek teknis, Indonesia semakin jauh dari upaya melakukan pengurangan jenis pesawat tempur yang sudah lama menjadi tantangan karena terkait dengan kerumitan penyediaan logistik maupun personel berkualifikasi untuk pemeliharaan dan perawatan. Kini Indonesia mengoperasikan empat tipe jet tempur berbeda dengan dasar pembelian adalah alasan klasik yaitu diversifikasi sumber sistem senjata.

Kalau Indonesia jadi mengimpor J-10 bekas, kerumitan penyediaan logistik dan personel berkualifikasi akan bertambah di tengah tidak ada perbandingan lurus antara pengadaan peralatan perang baru dengan kenaikan alokasi anggaran pemeliharaan dan perawatan.

Belum lagi isu familiarisasi dengan sistem pesawat tempur China yang memerlukan waktu panjang, di mana sangat mungkin terdapat perbedaan dengan sejumlah tipe penempur buatan Barat atau mengandung teknologi Barat yang selama ini dioperasikan.

Indonesia sekarang sedang menunggu penyerahan tiga unit Rafale yang dijadwalkan akan dilakukan pada triwulan pertama 2026 sebagai bagian dari akuisisi 42 Rafale. Jakarta pun menunjukkan niat untuk menambah 12 Rafale lewat penandatanganan Letter of Intent (LOI) saat kunjungan Presiden Prancis Emmanuel Macron pada akhir Mei 2025.

Apakah Indonesia akan mengimplementasikan LOI menjadi kontrak pengadaan, lalu kapan kontrak akan ditandatangani? Mewujudkan LOI pesanan susulan Rafale menjadi kontrak sebenarnya tidak mendesak hingga 2029, justru program pengadaan yang harus dipastikan mendapatkan alokasi PLN pada kurun 2025-2029 ialah pengadaan Integrated Logistics Systems (ILS) jet tempur itu.

Kontrak pengadaan 42 Rafale senilai US$ 8,1 miliar tidak didukung oleh pembelian ILS yang cukup guna mendukung semua pesawat tempur yang akan diterima oleh Indonesia pada 2030.

KF-21 adalah pesawat tempur lain yang termasuk dalam daftar antrian untuk dibeli. Apakah Indonesia akan membeli KF-21 pada tempo 2025-2029, berapa unit dan blok apa yang akan diimpor?

Kini Seoul masih menantikan kepastian pembelian KF-21 dari Jakarta, sebab mengacu pada kesepakatan awal Indonesia berkomitmen mengakuisisi penempur generasi 4.5 tersebut. Terlepas dari sejumlah tantangan yang dihadapi Indonesia dalam program pengembangan pesawat tempur itu, sudah sepatutnya bila Indonesia mengakuisisi KF-21 mengingat ada kontribusi finansial dan engineering Indonesia dalam program KFX/IFX.

Memperhatikan kondisi keuangan negara, perlu dipertimbangkan secara seksama antara ambisi membeli sejumlah pesawat tempur dengan kapasitas fiskal pemerintah yang tersedia. Kementerian Pertahanan hendaknya menyusun skala prioritas pengadaan jet tempur untuk periode 2025-2029 berdasarkan kapasitas fiskal pemerintah.

Apakah F-15EX akan menduduki prioritas nomor satu lalu disusul J-10 atau KF-21? Tidak elok bila program modernisasi kekuatan udara mengorbankan alokasi PLN bagi bagi kekuatan darat dan laut.

Mengingat bahwa perdagangan pertahanan adalah isu politik, patut dipertimbangkan secara seksama bagaimana Indonesia melakukan mitigasi jika melaksanakan akuisisi J-10 bekas dari aspek geopolitik.

Boleh saja pengambil keputusan di Jakarta kurang senang dengan Washington, namun fakta menunjukkan bahwa kekuatan pertahanan udara Indonesia setidaknya hingga 2030 masih akan bertumpu pada jet tempur asal Amerika Serikat.

Proses pengambilan keputusan pengadaan pesawat tempur hendaknya mempertimbangkan segala aspek yang bersifat jangka pendek dan jangka panjang, baik dari aspek politik, fiskal maupun teknis.


(miq/miq)

Read Entire Article
Kepri Bersatu| | | |