Menata Relasi Politik dan Bisnis untuk Demokrasi yang Bermartabat

1 day ago 6

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Keterlibatan aktor bisnis dalam politik bukanlah hal baru dalam demokrasi modern. Namun ketika keterkaitan ini menjadi begitu luas, masif, dan sistemik, maka yang muncul bukanlah simbiosis mutualistik, melainkan potensi dominasi satu arah: bisnis mengendalikan arah politik, bukan sebaliknya.

Sebuah studi dari Damanik dkk. (2025) mencatat bahwa hingga akhir 2023, sekitar 45% anggota DPR dan 65% anggota kabinet memiliki hubungan langsung dengan perusahaan, baik sebagai pemilik saham, komisaris, maupun direktur aktif. Angka ini jauh melampaui negara-negara demokrasi mapan seperti Jerman atau Inggris, dan lebih mendekati pola-pola relasi kekuasaan di negara dengan karakter oligarkis seperti Rusia atau Afrika Selatan.

Meritokrasi yang Terpinggirkan
Dalam pandangan HIPMI, persoalan utamanya bukan sekadar keterlibatan pengusaha dalam politik, tetapi ketiadaan kerangka meritokrasi yang sehat. Biaya politik yang tinggi, dominasi patronase politik, dan lemahnya transparansi membuat ruang partisipasi bagi profesional muda, teknokrat, dan pelaku usaha berbasis inovasi menjadi sangat sempit.

Demokrasi yang baik harus membuka ruang bagi siapa pun yang punya kompetensi, integritas, dan visi kebangsaan untuk ikut serta. Namun hari ini, terlalu banyak kursi kekuasaan yang ditentukan oleh kemampuan finansial, bukan oleh kualitas gagasan atau dedikasi pada kepentingan publik.

Pelajaran dari Masa Lalu
Kita bisa belajar dari masa Orde Baru, yang meski otoriter, masih menyediakan ruang bagi representasi non-partai di DPR melalui utusan golongan, termasuk akademisi, teknokrat, dan tokoh masyarakat. Meski mekanismenya belum demokratis, namun model representasi fungsional ini mengakui pentingnya keberagaman perspektif dalam proses legislasi.

Ironisnya, setelah reformasi 1998, sistem rekrutmen politik justru menjadi lebih eksklusif. Jalur masuk ke legislatif dan jabatan publik kini sepenuhnya ditentukan oleh partai dan logika elektoral. Ini membuat mereka yang tidak memiliki "kendaraan politik" dan dana kampanye besar sulit bersaing, sekalipun memiliki kapasitas luar biasa.

Menata Ulang Relasi Politik-Bisnis
Sebagai organisasi yang menghimpun pengusaha muda dari seluruh Indonesia, HIPMI melihat urgensi untuk menata ulang relasi antara dunia usaha dan politik agar menjadi relasi yang sehat, transparan, dan akuntabel. Kami tidak memusuhi keterlibatan dunia usaha dalam politik. Justru kami ingin mendorong model partisipasi yang tidak menciptakan konflik kepentingan, melainkan mendorong kepentingan nasional.

Beberapa rekomendasi konkret dari HIPMI adalah:
1. Transparansi dan Etika Publik
Semua calon pejabat publik harus terbuka tentang kepemilikan usaha dan potensi konflik kepentingan, dengan audit independen yang dapat diakses publik.

2. Dewan Etik Politik-Bisnis
Sebuah lembaga etik permanen yang bertugas menilai dan memberikan rekomendasi atas potensi konflik kepentingan dalam pengangkatan pejabat publik.

3. Reformasi Pembiayaan Politik
Mendorong skema pendanaan kampanye publik dan crowdfunding politik untuk membuka akses bagi calon-calon berkualitas dari kalangan non-oligarki.

4. Rekrutmen Terbuka Partai Politik
Partai politik perlu membuka proses seleksi caleg dan jabatan publik kepada profesional, akademisi, dan pengusaha muda melalui jalur open recruitment berbasis merit.

5. Penguatan Kaderisasi Profesional
HIPMI siap menjadi inkubator kader pengusaha muda yang tidak hanya sukses secara bisnis, tetapi juga berjiwa nasionalis dan siap berkontribusi dalam perumusan kebijakan publik.

Demokrasi yang Produktif
Demokrasi tidak cukup hanya dengan proses elektoral. Demokrasi yang sehat harus bisa melahirkan pemimpin-pemimpin yang produktif, yang mampu menjawab tantangan zaman dengan solusi berbasis data dan keberpihakan pada kepentingan luas, bukan kepentingan sempit kelompok elite.

Kita harus menolak dikotomi palsu antara "pengusaha baik" dan "politisi buruk" atau sebaliknya. Yang kita butuhkan adalah sistem yang memungkinkan siapa pun yang layak, baik dari dunia usaha, akademik, maupun komunitas sipil, untuk terlibat dalam penyusunan arah bangsa.

Di sinilah pentingnya meritokrasi dan penataan kelembagaan. Kita harus memastikan bahwa kekuasaan tidak hanya beredar di antara mereka yang punya modal besar, tetapi juga bisa diakses oleh mereka yang punya ide besar.

HIPMI percaya, Indonesia akan jauh lebih kuat jika relasi politik dan bisnis diletakkan dalam kerangka yang adil dan transparan. Agar demokrasi kita tidak hanya bersuara setiap lima tahun, tapi juga bekerja setiap hari untuk rakyat.


(miq/miq)

Read Entire Article
Kepri Bersatu| | | |