Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Kurang lebih enam bulan menjalani tahun 2025, negeri kita masih menghadapi tekanan ekonomi yang tak ringan. Ketegangan geopolitik global, terutama akibat tarif tinggi yang diberlakukan Amerika Serikat (AS) di bawah kepemimpinan Donald Trump serta lanjutan perang dagang antara AS dan China, telah mengguncang kestabilan ekonomi dunia. Dampaknya tidak hanya dirasakan oleh sektor industri dan perdagangan ekspor-impor, tetapi juga merembes pada sektor domestik, termasuk industri jasa dan pariwisata nasional.
Di tengah situasi global yang tidak kondusif tersebut, pemerintah Indonesia justru mengambil langkah besar melalui kebijakan efisiensi anggaran yang diatur dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025. Dengan target penghematan sebesar Rp 306,7 triliun, kebijakan tersebut menyasar belanja operasional dan non-operasional pemerintah: dari perjalanan dinas, bantuan pemerintah, hingga pengadaan infrastruktur dan peralatan.
Tujuannya tentu baik-menata kembali orientasi belanja negara agar lebih efektif dan berdampak langsung pada masyarakat. Namun, seperti banyak kebijakan lainnya, implementasi di lapangan kadang justru menghasilkan dampak ikutan yang tidak diantisipasi secara matang. Salah satunya adalah pukulan telak yang dirasakan oleh sektor industri perhotelan.
Tak bisa dimungkiri bahwa selama ini, industri perhotelan di Indonesia sangat bergantung pada serapan belanja birokrasi, terutama untuk kebutuhan rapat, pelatihan, hingga monitoring-evaluasi dari kementerian dan lembaga. Bahkan, menurut data dari Sekjen PHRI, Maulana Yusran, kontribusi belanja APBN/APBD terhadap sektor hotel di beberapa daerah bisa mencapai 40%-60% (CNBC Indonesia, 28/4/2025). Dengan kata lain, denyut nadi hotel-hotel terutama di daerah-sangat bergantung pada aktivitas birokrasi.
Ketergantungan
Ketika Inpres Efisiensi diberlakukan tanpa disertai strategi transisi yang matang, hotel-hotel kehilangan sumber pendapatan utama secara tiba-tiba. Fenomena ini nyata terlihat pada kuartal I-2025, di mana pertumbuhan ekonomi nasional melambat ke angka 4,87 persen, lebih rendah dibanding kuartal sebelumnya dan periode yang sama tahun lalu.
Dampaknya, beberapa hotel seperti Sahira Butik Hotel Paledang dan Sahira Butik Hotel Pakuan di Bogor resmi berhenti beroperasi pada Maret 2025 (Inilah.com, 1/6/2025). Fenomena ini merepresentasikan kesulitan serupa yang melanda hotel-hotel di seluruh Indonesia.
Lebih menyedihkan lagi, lesunya industri ini mengakibatkan gelombang PHK besar-besaran, yang tidak hanya menekan sektor jasa tapi juga menggerus kesejahteraan masyarakat pekerja yang bergantung pada sektor ini.
Pemerintah, dalam niat mulianya untuk melakukan efisiensi, tampaknya masih keliru dalam memahami esensi efisiensi anggaran. Sebagaimana pernah saya nyatakan dalam Kompas.com (13/2/2025), efisiensi bukanlah semata-mata pemotongan anggaran, melainkan kemampuan untuk memaksimalkan hasil layanan publik dengan sumber daya seminimal mungkin. Yang terjadi sekarang justru sebaliknya: pengurangan anggaran diikuti dengan berkurangnya pelayanan, bukan peningkatan efektivitas.
Paradoks Efisiensi
Ironisnya, efisiensi ini dijalankan di tengah pembesaran struktur kabinet yang secara tidak langsung malah memperlebar belanja negara. Tambahan lembaga dan kementerian baru berbanding terbalik dengan semangat penghematan. Jika pemerintah benar-benar ingin efisien, logikanya bukan pada membatasi aktivitas produktif seperti rapat strategis di hotel, tetapi mereformasi struktur birokrasi dan memangkas pos-pos pengeluaran yang tidak produktif.
Kalau kita analisis lebih dalam, kondisi saat ini membuat semakin banyaknya jumlah pejabat bukan hanya menteri dan wamen yang bertambah, namun juga pejabat di level eselon I, II, dan III. Sebagai contoh: Kementerian HAM yang di kabinet era Joko Widodo ada di level Eselon I pada Kemenkumham, maka dengan naiknya menjadi setara kementerian saat ini, tentu akan membuat bertambahnya jumlah pejabat eselon di Kementerian HAM, belum lagi kalau kita berbicara semakin banyaknya pejabat Kementerian HAM di kantor perwakilan Kementerian HAM di seluruh Provinsi Indonesia.
Mengapa ini penting saya sampaikan? Bayangkan saja dengan komposisi kabinet yang ada saat ini, setiap kementerian koordinator, kementerian, hingga lembaga harus menyusun laporan-laporan semester hingga tahunan yang sifatnya sekadar administratif - yang biasanya dilaksanakan di hotel-hotel mewah. Belum lagi, kalau kita bicara soal penyusunan peraturan-peraturan teknis di level menteri, unit eselon I, hingga output kerja-kerja birokrasi yang selama ini kerap kali dikerjakan di hotel-hotel mewah.
Kondisi ini membuka realitas pahit bahwa industri perhotelan Indonesia belum berdiri kokoh sebagai infrastruktur utama pariwisata. Selama ini hotel-hotel lebih berfungsi sebagai ekstensi dari ruang kerja birokrasi, bukan penopang utama dari wisatawan domestik maupun mancanegara. Maka wajar, ketika anggaran belanja birokrasi disunat, industri hotel langsung limbung.
Ini menyisakan pertanyaan strategis: apakah selama ini promosi pariwisata benar-benar memberikan nilai tambah ekonomi, atau hanya menjadi saluran belanja birokrasi ? Kalau industri pariwisata benar-benar hidup, maka hotel-hotel tidak semestinya begitu rentan terhadap pengurangan aktivitas birokrasi.
Perlu Kehati-hatian
Menjawab persoalan ini, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian baru-baru ini membuka kembali ruang bagi pemerintah daerah untuk menggelar kegiatan di hotel dan restoran (Tempo, 5/6/2025). Ini adalah sinyal positif yang patut diapresiasi, namun tetap perlu pengaturan teknis yang ketat. Jangan sampai kebijakan ini kembali menjadi lahan pemborosan dengan melanggengkan kegiatan administratif yang output-nya tidak menyentuh masyarakat.
Rapat-rapat di hotel seharusnya diarahkan pada kegiatan strategis, seperti sinkronisasi kebijakan pembangunan daerah, penguatan layanan publik, atau pelatihan yang berdampak nyata. Dengan begitu, industri perhotelan tetap bisa bergerak, namun tanpa mengorbankan prinsip efisiensi anggaran.
Tahun 2025 semestinya menjadi momen reflektif dan korektif bagi pemerintah dalam menata ulang arah kebijakan fiskal, terutama yang berdampak langsung pada sektor-sektor strategis seperti industri perhotelan. Efisiensi anggaran bukanlah sekadar soal memangkas belanja, melainkan bagaimana memastikan setiap rupiah yang dibelanjakan memberikan manfaat publik yang maksimal. Praktik efisiensi yang salah kaprah, seperti yang terjadi saat ini, justru menimbulkan efek domino yang memukul ekonomi lokal, memperbesar angka pengangguran, dan memperlemah semangat pemulihan di tengah perlambatan global.
Oleh karena itu, pemerintah perlu segera melakukan evaluasi atas kebijakan efisiensi anggaran dengan pendekatan yang lebih holistik. Pengeluaran yang bersifat strategis dan berdampak langsung terhadap pelayanan publik harus tetap dipertahankan, termasuk kegiatan-kegiatan penting yang melibatkan pelatihan, koordinasi lintas sektor, atau penyusunan kebijakan yang benar-benar aplikatif dan dilakukan di fasilitas perhotelan yang layak. Ini penting agar sektor perhotelan tidak lagi hanya menjadi "korban" dari efisiensi, tapi justru bisa menjadi mitra pemerintah dalam menyelenggarakan pembangunan yang berkualitas.
Selain itu, langkah Mendagri yang kembali membuka izin kegiatan rapat di hotel adalah angin segar, namun harus disertai dengan regulasi teknis baik berupa berupa petunjuk teknis hingga surat edaran yang tegas agar tidak membuka ruang pemborosan. Pemerintah pusat maupun daerah perlu menyusun panduan jenis rapat dan kegiatan yang diperbolehkan, berdasarkan urgensi, nilai tambah, dan output kebijakan yang dihasilkan.
Memperbaiki Pariwisata
Namun, ini semua belum cukup. Industri perhotelan dan pariwisata Indonesia harus segera dibebaskan dari ketergantungan tunggal pada serapan belanja birokrasi. Pemerintah perlu menciptakan iklim yang kondusif agar sektor ini bisa tumbuh secara mandiri dan berdaya saing tinggi. Ini mencakup promosi yang terarah, insentif fiskal, peningkatan konektivitas transportasi, hingga penyederhanaan perizinan usaha.
Apalagi, dalam dokumen Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM PPKF) 2026, pemerintah memproyeksikan pertumbuhan ekonomi berada pada kisaran 5,2 - 5,8 persen dengan inflasi 1,5 - 3,5 persen. Nilai tukar rupiah diperkirakan berada di level Rp16.500 - Rp16.900 per dolar AS, sementara suku bunga SBN 10 tahun diprediksi antara 6,6 - 7,2 persen. (Badan Kebijakan Fiskal, 2025)
Angka-angka ini tampak optimistis. Tapi di balik proyeksi makroekonomi yang tampaknya menjanjikan, masih membayangi tantangan klasik dalam pengelolaan fiskal: bagaimana mendorong pertumbuhan tanpa mengorbankan keberlanjutan fiskal. Jika ingin pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi, belanja negara perlu ditingkatkan. Tapi ini tidak akan mungkin tanpa peningkatan penerimaan pajak yang signifikan.
Saya pribadi "agak" pesimis terhadap capaian target-target tersebut apabila efisiensi anggaran masih dipahami secara keliru - sekadar memangkas pengeluaran tanpa mempertimbangkan nilai strategis dan multiplier effect-nya. Bila ini berlanjut, ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran semakin nyata, termasuk di sektor perhotelan. Ujungnya adalah penurunan daya beli masyarakat, yang justru akan melemahkan perekonomian nasional secara keseluruhan.
(miq/miq)