Jakarta -
Anggota Komisi VI DPR RI, Mufti Anam, menyoroti kasus restoran legendaris ayam Goreng Widuran di Solo yang baru-baru ini viral disebut nonhalal. Ia menilai kasus ini bukan sekadar kelalaian, tetapi kelengahan dalam pelabelan produk.
"Kami menilai kasus ini tidak dapat disederhanakan sebagai kesalahan komunikasi atau kelalaian belaka. Ini merupakan cerminan dari lemahnya sistem pengawasan terhadap pelabelan produk konsumsi di Indonesia, dan perlu ditindaklanjuti secara serius oleh instansi terkait," kata Mufti Anam kepada wartawan, Selasa (3/6/2025).
Mufti pun berpandangan restoran Ayam Goreng Widuran memiliki tanggung jawab terhadap transparansi informasi, terlebih telah beroperasi lebih dari 50 tahun. Menurutnya, praktik usaha yang tidak jujur merugikan pelaku usaha lain yang patuh pada aturan dan etika dagang.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Label halal maupun nonhalal bukan sekadar simbol. Ini menyangkut keyakinan, etika konsumsi, dan hak dasar setiap warga negara untuk mendapatkan informasi yang jujur tentang apa yang mereka konsumsi," ujar Mufti.
"Ketika informasi kehalalan itu disembunyikan dengan sengaja atau tidak, maka ini merupakan bentuk pengabaian terhadap hak konsumen," tambahnya.
Mufti pun menegaskan bahwa sistem pengawasan yang lemah berpotensi menciptakan iklim persaingan usaha yang timpang. Ia khawatir kuliner lain yang jujur mencantumkan label halal atau nonhalal justru dipertanyakan oleh publik.
"Kita tidak ingin karena praktik pengawasan yang kurang, hal tersebut merugikan pelaku usaha yang sudah disiplin," kata Mufti.
Legislator PDIP ini menilai ada celah dalam sistem pengawasan pelabelan halal dari kasus Ayam Widuran. Ia ingin adanya evaluasi perbaikan ke depan.
"Abainya stakeholder yang bertanggung jawab untuk memastikan rumah makan mencantumkan keterangan label halal tidak boleh terjadi lagi," ucap Mufti.
"Pelabelan halal dan nonhalal bukan soal agama semata, tetapi tentang etika perdagangan dan kejujuran dalam bisnis. Bahkan konsumen nonmuslim juga berhak tahu dengan jelas komposisi makanan yang mereka beli," sambungnya.
Lebih lanjut, Mufti mendesak adanya penjelasan resmi dari kementerian dan lembaga terkait, termasuk melakukan evaluasi atas mekanisme pengawasan yang telah berjalan. Ia berharap kepercayaan publik tak dikesampingkan begitu saja.
"Jika diperlukan, revisi regulasi yang masih abu-abu demi memperkuat perlindungan konsumen. Kasus ini harus menjadi momentum perbaikan, bukan sekadar sensasi sesaat," jelas Mufti.
"Kepercayaan publik adalah modal utama industri kuliner nasional. Dan kepercayaan itu hanya bisa dibangun dengan kejujuran dan keterbukaan," imbuhnya.
(dwr/lir)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini