K3 MPR RI Rumuskan Opsi Strategis Sikapi Putusan MK tentang Pemilu

6 hours ago 2

Jakarta -

Komisi Kajian Ketatanegaraan (K3) MPR RI merumuskan sejumlah opsi strategis untuk menyikapi Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXI/2024 yang mewajibkan pemisahan jadwal pemilu nasional dan pemilu daerah.

Ketua K3 MPR RI Taufik Basari menegaskan putusan ini menimbulkan dilema konstitusional dan menuntut respons kelembagaan yang cermat dari MPR RI sebagai satu-satunya lembaga negara yang berwenang mengubah UUD 1945. Pada rapat kelompok dengan dua agenda, yakni pembahasan penugasan tambahan dari Pimpinan MPR RI terkait Putusan MK mengenai pemilu, serta kajian terhadap evaluasi implementasi Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945, khususnya Pasal 2 dan Pasal 3 terkait kedudukan dan kewenangan MPR RI.

"Dua-duanya problematik. Jika dilaksanakan, maka bisa terjadi perpanjangan masa jabatan DPRD yang tak memiliki landasan konstitusional karena tidak dipilih oleh rakyat," ujar Taufik, dalam keterangannya, Rabu (9/7/2025).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Namun jika tidak dilaksanakan, berarti kita melanggar prinsip dasar bahwa putusan MK wajib dijalankan," sambungnya.

Taufik menjelaskan rapat ini digelar sebagai tindak lanjut penugasan tambahan dari pimpinan MPR RI setelah adanya Putusan MK Nomor 135/PUU-XXI/2024 yang dibacakan pada 26 Juni 2025. Dalam putusan tersebut, MK menyatakan pemilu nasional dan pemilu daerah harus dilaksanakan secara terpisah, dengan rentang waktu minimal dua tahun dan maksimal dua setengah tahun antara keduanya.

Pemilu nasional meliputi pemilihan DPR, DPD, serta Presiden dan Wakil Presiden, sedangkan pemilu daerah meliputi DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, serta kepala daerah. Implementasi putusan ini dinilai menimbulkan dilema konstitusional.

Di satu sisi, melaksanakan pemilu dengan pemisahan waktu sebagaimana amar putusan MK berpotensi melanggar ketentuan dalam Pasal 22E ayat (1) dan (2) serta Pasal 18 ayat (3) UUD NRI 1945 yang mengatur pemilu harus dilaksanakan setiap lima tahun dan anggota DPRD dipilih melalui pemilu. Di sisi lain, mengabaikan putusan MK juga berarti melanggar Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 yang menegaskan putusan MK bersifat final dan mengikat.

Terkait hal ini, K3 MPR RI terus menjaring berbagai perspektif dari para anggotanya, sebab kata Taufik, pembahasan ini akan melengkapi dan memperkaya kajian yang akan disampaikan kepada pimpinan MPR RI. Taufik juga menekankan pentingnya mempertimbangkan kewenangan MPR RI dalam memberikan respons atas situasi ini.

"MPR adalah satu-satunya lembaga negara yang memiliki kewenangan mengubah Undang-Undang Dasar. Maka, sikap atau rekomendasi MPR atas kondisi dilematis ini harus mempertimbangkan kekuatan konstitusional yang dimilikinya," ujar Taufik.

Sejumlah anggota K3 MPR RI turut memberikan pandangannya, seperti Andi Mattalatta, Dr Achmad Farhan Hamid, Prof Dr Satya Arinanto, dan Martin Hamonangan Hutabarat. Diskusi yang berlangsung selama dua jam itu kemudian menghasilkan kesimpulan yaitu mendorong agar pimpinan MPR mengambil inisiatif untuk menggelar rapat konsultasi dengan DPR, Presiden, dan MK.

Konsultasi tersebut dinilai penting untuk membahas berbagai opsi rekayasa konstitusi atau constitutional engineering yang memungkinkan sebagai respons atas putusan MK yang menuai kontroversi. Taufik menekankan MPR akan memberikan bahan pertimbangan atau feeding bagi pimpinan.

Beberapa poin yang disiapkan antara lain mencakup skenario apabila terjadi gugatan kembali, kemungkinan penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu), hingga langkah-langkah alternatif lainnya. Rapat tersebut juga menyimpulkan meskipun MPR adalah bagian dari lembaga negara yang memiliki otoritas, namun bola panas utama tetap berada di tangan DPR.

Karenanya, MPR perlu mengambil posisi strategis dengan menyediakan ruang diskusi dan opsi-opsi yang dapat dijadikan bahan bagi DPR dan lembaga lain dalam merespons polemik tersebut. Menurut Taufik, nantinya keputusan akan ditentukan berdasarkan opsi-opsi yang disepakati dalam forum konsultasi.

Hasil akhir dari kajian ini akan menjadi masukan resmi MPR RI dalam menyikapi dinamika konstitusional pasca-putusan MK terkait penyelenggaraan pemilu nasional dan daerah. Selain itu, diskusi kajian ini juga diharapkan mampu menghasilkan rumusan pandangan kelembagaan yang komprehensif serta menjadi dasar pertimbangan strategis MPR RI dalam menghadapi dinamika ketatanegaraan, khususnya terkait kedudukan MPR dalam sistem ketatanegaraan Indonesia dan respons terhadap putusan MK.

(akn/ega)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

Read Entire Article
Kepri Bersatu| | | |