Ironi Anggaran Fantastis Makan Bergizi Gratis

1 day ago 3

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Saya terkejut ketika mendengar pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam Sidang Paripurna DPR, saat menyampaikan Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM PPKF) untuk APBN 2026. Di forum yang semestinya menjadi ajang penyampaian arah kebijakan fiskal yang hati-hati dan terukur, justru diumumkan bahwa pada APBN 2026 pemerintah akan memprioritaskan anggaran jumbo sebesar Rp217,86 triliun untuk program Makan Bergizi Gratis (MBG).

Angka ini bukan sekadar besar, melainkan sudah luar biasa besar, melonjak tinggi 206 persen dari yang semula Rp71 triliun di tahun ini. Nilainya nyaris setara gabungan anggaran TNI dan Polri.

Yang lebih mengkhawatirkan, kinerja implementasi program ini pada tahun 2025 menunjukkan sinyal merah. Dari total pagu anggaran sebesar Rp71 triliun tersebut, hingga bulan Mei 2025, realisasi serapannya baru mencapai 3,36 persen. Ini bukan sekadar soal keterlambatan teknis, tetapi cerminan dari belum siapnya infrastruktur kelembagaan, tata kelola, dan desain penyaluran.

Kalau dengan Rp71 triliun saja pemerintah kewalahan menyalurkan secara tepat waktu dan tepat sasaran, bagaimana jika kelak dana sebesar Rp217,86 triliun digelontorkan serentak secara nasional? Di sinilah kebijakan berubah dari niat mulia menjadi eksperimen fiskal berisiko tinggi.

Masalah tidak berhenti di lambannya penyerapan. Sejumlah kasus pelaksanaan juga memperlihatkan betapa rapuhnya tata kelola program ini. Sudah banyak ditemukan kasus keracunan massal yang terjadi setelah anak-anak sekolah mengonsumsi makanan dari program MBG.

Temuan itu menyoroti lemahnya pengawasan terhadap pelaku pengadaan serta kualitas dapur dan logistik yang digunakan. Bahkan ada temuan bahwa pihak-pihak yang tidak memiliki pengalaman atau kapasitas dalam pengolahan makanan tiba-tiba menjadi rekanan pemerintah. Bukannya mendatangkan gizi, program ini justru menciptakan risiko kesehatan baru.

Ironisnya, program MBG ini justru mengemuka di tengah realitas fiskal yang semakin sempit. Defisit anggaran melebar, penerimaan perpajakan terus mengalami kontraksi, rasio utang mendekati batas psikologis, dan tekanan terhadap fundamental ekonomi kita akibat deindustrialisasi, lemahnya daya beli, hingga gelombang PHK yang tak kunjung reda.

Secara moral, tidak ada yang salah dari program MBG. Indonesia memang darurat stunting; 24,4% balita masih kekurangan gizi kronis. Tapi moralitas saja tidak cukup. Dalam kebijakan publik, niat baik bisa berujung bencana bila tidak ditopang oleh kalkulasi fiskal dan kesiapan teknokratik.

Masalahnya, pengelolaan fiskal bukan semata urusan hitung-hitungan ekonomi, melainkan juga merupakan produk dari keputusan politik. Karena itu, setiap kali muncul program populis dengan anggaran jumbo, selalu ada konsekuensi yang menyertainya.

Saat pemerintah mengalokasikan Rp217,86 triliun untuk satu pos belanja, artinya ada sektor lain yang harus dikorbankan. Para ekonom lazim menyebut fenomena ini dengan trade off. Artinya adalah dengan keterbatasan fiskal saat ini, mengucurkan dana sebesar itu berarti kita mengurangi ruang untuk investasi produktif jangka panjang: pendidikan, kesehatan, infrastruktur digital, transisi energi, hingga insentif riset dan inovasi.

Lebih jauh lagi, MBG tidak otomatis menurunkan stunting. Studi menunjukkan bahwa intervensi paling efektif dalam mengatasi stunting justru berasal dari akses air bersih, sanitasi, pendidikan ibu, dan layanan kesehatan primer. Tanpa intervensi sistemik pada faktor-faktor ini, makanan bergizi bisa berubah menjadi solusi jangka pendek yang tidak menyentuh akar masalah.

Program ini muncul bukan dari proses perencanaan teknokratik, melainkan dari janji kampanye yang ingin segera diwujudkan, bahkan sebelum presiden baru dilantik. Kita berhadapan dengan fenomena klasik dalam politik populis: menggunakan instrumen fiskal sebagai alat legitimasi politik, bukan sebagai sarana menciptakan kesejahteraan yang berkelanjutan.

Program MBG sudah pasti akan memperbesar belanja negara secara signifikan. Bila tidak disertai dengan peningkatan penerimaan negara yang memadai, maka pilihan yang tersedia hanya dua: menambah utang atau mencetak uang. Keduanya membawa risiko besar bagi stabilitas makro.

Utang yang berlebihan akan mengerek rasio debt-to-GDP dan mempersempit ruang fiskal untuk krisis mendatang. Sementara cetak uang (monetisasi defisit) bisa memicu inflasi tinggi.

Lembaga seperti Bank Dunia dan IMF sudah mengingatkan: fiskal Indonesia saat ini tidak punya banyak bantalan jika terjadi shock eksternal. Tambahan beban Rp217,86 triliun akan membuat APBN menjadi rumah kartu yang gampang runtuh.

Oleh karena itu, tidak ada jalan lain bagi pemerintah untuk segera menurunkan ego politik dan kembali ke prinsip dasar kebijakan publik: efisiensi, efektivitas, dan keberlanjutan.

Dalam demokrasi, program populis seperti MBG adalah godaan yang sulit ditolak. Ia memberikan "kemenangan cepat" di mata publik. Tapi sebagai bangsa, kita harus bertanya: apakah kita ingin kebijakan yang populer dengan segala risiko fiskalnya, atau yang benar-benar menyelesaikan masalah?

Andai kata pemerintah sudah terlanjur untuk segera menunaikan janji kampanye, maka tidak ada yang salah kalau pemerintah memulai dari skala yang kecil terlebih dahulu dengan fokus dan terarah-misalnya dari daerah-daerah dengan prevalensi stunting tertinggi-sambil merancang skema dan pola penyaluran yang sederhana namun tepat sasaran. Ini akan memberikan ruang uji coba, piloting, dan koreksi kebijakan tanpa membebani APBN secara brutal di awal.

Sebaliknya, jika pemerintah tetap bersikeras melaksanakan program ini dalam skala besar secara serentak, bisa jadi secara politis memang menguntungkan dalam jangka pendek. Namun tanpa perhitungan fiskal yang matang dan kesiapan sistem yang memadai, kita tengah menanam risiko yang mahal bagi generasi mendatang.

Kebijakan yang lahir dari euforia politik sesaat, sering kali menyisakan beban struktural yang bertahan jauh lebih lama dari masa jabatan siapa pun yang menggagasnya.

Syahdan, program MBG bermula dari niat baik seorang presiden yang baru menjabat dan segera melunasi janji kampanye. Tapi sejarah mengajarkan bahwa niat baik saja tidak cukup.

Kebijakan publik yang baik bukan tentang menawarkan "apa yang terdengar baik," melainkan tentang membuat keputusan yang baik pula. Seperti resep dari seorang dokter: ia harus menyembuhkan penyakit, bukan sekadar meredakan gejala (efektif); tidak membebani kantong pasien (efisien); diberikan kepada mereka yang benar-benar membutuhkan (berkeadilan); tersedia dan dapat dijalankan dalam sistem yang ada (feasible);

Tanpa prinsip-prinsip ini, kebijakan seperti MBG ini hanyalah slogan politik yang dikemas rapi, ia terlihat indah di permukaan, tapi rapuh dalam pelaksanaan. Dan sudah tentu kita dengan mudah akan bersepakat bahwa tidak ada yang menginginkan hal tersebut terjadi.


(miq/miq)

Read Entire Article
Kepri Bersatu| | | |