Jakarta, CNBC Indonesia - Harga minyak mentah dunia menguat tipis pada perdagangan Jumat hari ini (27/6/2025) merespon indeks dolar AS (DXY) yang terus turun.
Merujuk data Refinitiv, pada perdagangan kemarin Kamis (26/6/2025) harga minyak berakhir di zona hijau, menandai dua hari penguatan beruntun. Untuk jenis Brent terpantau naik tipis 0,07% ke posisi US$ 67,73 per barel, sementara jenis West Texas Intermediate (WTI) menguat 0,49% ke posisi US$ 65,24 per barel.
Kenaikan harga minyak juga berlanjut pada hari ini hingga pukul 10.00 WIB, Brent terlihat naik 0,63%, sedangkan WTI naik 0,66% sejak dibuka pada pagi tadi.
Salah satu pendorong utama kenaikan harga minyak dunia adalah pelemahan indeks dolar AS (DXY), yang merosot ke level terendah dalam tiga tahun.
Pelemahan ini terjadi setelah muncul laporan bahwa Presiden AS Donald Trump berniat menunjuk Ketua The Federal Reserve yang baru lebih awal dari jadwal, memicu ekspektasi pasar terhadap kemungkinan pemangkasan suku bunga.
Melemahnya dolar membuat harga minyak menjadi lebih murah bagi pemegang mata uang lain, sehingga permintaan global pun meningkat.
Di sisi pasokan, data dari Energy Information Administration (EIA) menunjukkan bahwa persediaan minyak mentah dan bahan bakar di AS mengalami penurunan signifikan hingga 20 Juni 2025.
Penurunan sebesar 5,8 juta barel ini jauh melampaui perkiraan analis dalam survei Reuters yang hanya memproyeksikan penarikan sebesar 797.000 barel. Penurunan ini dipicu oleh meningkatnya aktivitas kilang dan menguatnya permintaan domestik, terutama karena musim berkendara musim panas di AS yang semula lambat kini mulai menunjukkan lonjakan konsumsi, sebagaimana dicatat oleh analis ANZ.
Phil Flynn, Senior Analyst di Price Futures Group, menekankan bahwa pasar mulai merespons kondisi pasokan minyak mentah yang tiba-tiba sangat ketat. Menurutnya, dari perspektif musiman, stok saat ini berada di posisi terendah dalam satu dekade untuk periode yang sama.
Sementara itu, analis UBS Giovanni Staunovo mengamati bahwa pergerakan harga minyak juga mengikuti sentimen pasar saham sepanjang pekan ini.
Dari sisi geopolitik, sentimen pasar mendapat angin segar setelah Presiden Trump mengumumkan bahwa perang antara Iran dan Israel telah berakhir dengan cepat. Ia menyatakan bahwa AS tetap menerapkan tekanan maksimum terhadap Iran, termasuk pembatasan ekspor minyak, namun juga membuka peluang perundingan pekan depan untuk mencapai kesepakatan nuklir baru. Trump bahkan mengisyaratkan kemungkinan pelonggaran penegakan sanksi sebagai bagian dari upaya membantu pemulihan ekonomi Iran.
Menurut catatan Citi, reaksi cepat terhadap gencatan senjata ini menunjukkan bahwa Presiden Trump cukup memperhatikan dampak harga minyak yang tinggi. Hal ini dinilai dapat membatasi peningkatan risiko geopolitik, meskipun ketegangan kawasan belum sepenuhnya mereda.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(tsn/tsn)