Jakarta, CNBC Indonesia - Di era supremasi udara, kekuatan tidak lagi diukur dari jumlah armada, melainkan dari kemampuan setiap unit menjangkau, menghindar, dan menyerang sebelum terdeteksi. Dalam medan ini, siapa yang unggul bukan sekadar siapa yang punya jet tercepat, tapi siapa yang menggabungkan rekayasa tercanggih, sistem senjata terintegrasi, dan kecerdasan buatan di kokpit mereka.
Sejauh ini, Amerika Serikat masih menjadi penguasa langit, memimpin pengembangan jet tempur generasi kelima seperti F-35 Lightning II, yang kini diadopsi oleh sekutu NATO, dan F-22 Raptor, jet siluman legendaris dengan kemampuan manuver luar biasa.
F-15EX dan F/A-18 Super Hornet melengkapi armada, menunjukkan kekuatan udara AS yang bukan hanya pada teknologi, tapi juga pengalaman tempur dan jangkauan logistik global.
Namun bayang-bayang baru muncul dari Timur. China mengembangkan J-20 Chengdu, jet siluman untuk menandingi F-22, dengan fokus pada serangan jarak jauh dan penghindaran radar.
Di sisi lain, Rusia punya Su-57, jet tempur siluman multirole dengan kemampuan manuver tinggi, serta Su-35, jet dengan reputasi superior dalam dogfight dan daya jelajah luas. Kedua negara ini secara agresif mengembangkan teknologi lokal demi mengurangi ketergantungan pada Barat.
Sementara itu, Eropa tak tinggal diam. Eurofighter Typhoon, hasil kolaborasi Inggris, Jerman, Italia, dan Spanyol, menjadi simbol kekuatan bersama yang sudah teruji di medan perang. Prancis hadir dengan Dassault Rafale, jet multirole dengan kemampuan presisi tinggi, bahkan dari kapal induk. Swedia, lewat JAS 39 Gripen, menawarkan solusi gesit dan ekonomis, membuktikan bahwa efektivitas tak selalu mahal.
Amerika tetap di puncak karena keunggulan pada tiga aspek: kapabilitas teknis, pengalaman operasional, dan jaringan dukungan global. F-35, misalnya, telah menjadi tulang punggung banyak angkatan udara dunia, tidak hanya karena kecanggihan, tetapi juga karena interoperabilitas dan ekosistem pendukungnya. Namun, jurang keunggulan ini makin menyempit seiring naiknya investasi pertahanan China, Rusia, dan Eropa.
Di balik kecanggihan mesin-mesin ini, berdiri ribuan insinyur, teknisi, dan ahli sistem yang menjadikan visi teknologi menjadi kenyataan.
Jet tempur tak lahir di pabrik saja, tapi dari laboratorium riset, pengujian digital twin, hingga sistem AI yang menopang navigasi dan senjata. Bukan semerta-merta senjata, Industri ini juga pusat inovasi yang memengaruhi aviasi sipil, manufaktur canggih, hingga keamanan siber.
Pengembangan jet tempur adalah investasi strategis yang mendorong lompatan teknologi lintas sektor. Oleh karena itu, perekrutan talenta teknik mulai dari aerospace engineer hingga pakar sistem elektronik menjadi tulang punggung keberhasilan jangka panjang.
CNBC Indonesia Research
(emb)