Jakarta -
Forum Jaminan Sosial (Jamsos) Pekerja dan Buruh menolak rencana penerapan sistem Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) satu ruang perawatan. Kebijakan ini dikhawatirkan akan menurunkan kualitas layanan bagi peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), terkhususnya pekerja dan buruh.
Implementasi sistem KRIS ini direncanakan berlaku mulai 1 Juli 2025. Sebagai wadah dari berbagai serikat pekerja tingkat nasional, Forum Jamsos menyoroti kurangnya pelibatan kelompok pekerja dalam proses penyusunan kebijakan KRIS. Mereka menilai bahwa penghapusan sistem kelas 1, 2, dan 3 dalam layanan rawat inap dapat menurunkan kualitas layanan serta mempersempit akses terhadap fasilitas kesehatan
"Tidak pernah ada keluhan dari pekerja terkait kelas rawat inap 1, 2, dan 3. Saat ini, pekerja/buruh memiliki hak pelayanan rawat inap di kelas 1 atau 2 yang jumlah tempat tidurnya antara satu sampai tiga tempat tidur sehingga bila nanti diturunkan ke empat temepat tidur, maka ini akan menurunkan kualitas layanan kepada pekerja/buruh dan keluarganya. Pekerja/buruh sudah membayar iuran cukup besar untuk iuran program JKN," tutur Koordinator Forum Jamsos Pekerja dan Buruh, Jusuf Rizal, dalam keterangannya, Rabu (21/5/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain itu, Forum Jamsos juga menyoroti kemungkinan meningkatnya beban biaya pribadi (out of pocket) peserta JKN jika kebijakan KRIS diterapkan, terutama jika peserta ingin mendapatkan layanan yang lebih baik. Mereka juga meminta agar prinsip gotong royong dalam sistem JKN tetap dijaga, sebagaimana diamanatkan dalam UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).
"Forum Jamsos Pekerja dan Buruh dan Konfederasi Serikat Pekerja menolak KRIS satu ruang perawatan dan sistem iuran tunggal, serta meminta Presiden Prabowo Subianto mengkaji ulang kebijakan jaminan sosial agar tidak menyulitkan pekerja," tambah Jusuf.
Dukungan terhadap aspirasi Forum Jamsos juga datang dari Pengamat Perlindungan Konsumen dan Kebijakan Publik, Tulus Abadi. Ia menilai bahwa skema KRIS berpotensi menaikkan iuran bagi peserta JKN, khususnya mereka yang saat ini berada di kelas 3.
"Dengan kebijakan ini, khususnya peserta JKN kelas 3 akan mengalami kenaikan iuran. Mereka dipaksa naik ke kelas 2, dan harus merogoh kocek lebih dalam. Ini sangat memberatkan, terutama bagi peserta mandiri dari kelompok ekonomi bawah," ujar Tulus.
Menanggapi hal tersebut, Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional, Nunung Nuryartono, menyampaikan apresiasinya terhadap aspirasi dari Forum Jamsos Pekerja dan Buruh beserta Konfederasi Serikat Pekerja. Ia menegaskan bahwa proses perumusan kebijakan masih terus berjalan, dan diharapkan tidak akan mengurangi manfaat layanan JKN.
"Kami mencermati bahwa setiap kebijakan yang dihasilkan diharapkan tidak akan menimbulkan kegaduhan yang tidak kita inginkan, manfaat yang ada dalam layanan JKN diharapkan tidak turun dan dipertahankan. Berbagai pesoalan mendasar seperti ketahanan finansial DJS juga perlu diperhatikan tanpa menurunkan manfaat. Kami akan mengawal itu semua," tutur Nunung.
Sementara itu, Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timbul Siregar, juga menyampaikan kekhawatirannya terkait kesiapan fasilitas kesehatan jika sistem KRIS satu kelas diberlakukan. Ia menyoroti potensi keterbatasan ruang rawat inap yang dapat berdampak pada peserta JKN.
"Kami khawatir jika hanya ada satu kelas rawat inap dengan kondisi tempat tidur yang terbatas di rumah sakit. Peserta JKN yang sedang sakit bisa tidak mendapatkan ruang. Lalu, mereka mau dititipkan di mana? Kami takut mereka malah ditawarkan menjadi pasien umum non-JKN. Kondisi saat ini karena ada 3 kelas, jika salah satu kelas penuh bisa dititip di kelas di atasnya sehingga tetap dijamin oleh BPJS Kesehatan," ucap Timbul.
(akn/ega)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini