Dilema Strategis Hubungan RI-China: Antara Balancing dan Peluang Ekonomi

6 hours ago 3

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Kebangkitan ekonomi China dalam beberapa tahun ke belakang membawa dua dampak yang sama-sama sulit diabaikan. Di satu sisi, China menyediakan peluang ekonomi yang besar.

Di sisi lain, kebangkitan China menghadirkan tantangan stratejik di masa depan. Tantangan ini, sebagaimana kalangan realis dalam Hubungan Internasional mengajarkan, hadir dalam bentuk niat.

Kita tidak bisa membaca niat China saat dirinya benar-benar mewujudkan diri sebagai super power di Asia. Apakah China bertahan menjadi aktor yang bijak atau malah berubah semakin agresif. Tanda-tanda sikap terakhir dirasa paling dominan oleh banyak kalangan.

Menyikapi kebangkitan kekuatan baru itu, lazimnya negara-negara di dunia akan melakukan balancing atau strategi penyeimbangan. Balancing merupakan sebuah terma yang masyhur dalam diskursus politik global. F

enomena ini, dalam catatan Waltz (1979) merujuk pada upaya negara-negara di dunia, khususnya negara besar dalam mengerahkan seluruh daya kekuatannya untuk menghambat potensi bangkitnya kekuatan baru. Baik itu melalui pembentukan aliansi dengan negara lain, maupun penguatan kekuatan militer, ekonomi, dan strategi secara internal.

Bagi Waltz, fenomena balancing terjadi secara alamiah di alam politik anarki. Negara-negara besar di dunia tidak menginginkan munculnya kekuatan besar lain yang berpotensi merusak status quo.

Sebab, bangkitnya kekuatan baru dipastikan akan merusak tatanan institusi global sebab ia membawa misi dan nilai-nilai baru yang sesuai dengan karakteristik negara bersangkutan.

‎Ketika AS muncul sebagai pemenang Perang Dingin, bahkan jauh sebelum itu, nilai-nilai liberal yang jadi landasan ideologinya, juga coba disebarkan. Nilai-nilai liberal utamanya dipatenkan dalam berbagai kerangka institusi global seperti IMF, WB, dan WTO. Sistem politik demokrasi-liberal, juga tak luput, pun dikampanyekan ke berbagai belahan dunia.

Liberalisme dipandang sebagai ideologi terunggul seiring dengan munculnya AS sebagai satu-satunya hegemon tunggal pascaruntuhnya Uni Soviet. Hampir seluruh organisasi internasional di era unilateral dan negara-negara paskakolonial, beroperasi sesuai dengan corak nilai dan prinsip AS itu: liberalisme. Mereka mengagungkan kebebasan sipil dan pasar, partisipasi pemilu, dan sistem multi-partai.

Uniknya, di tengah pamor liberalisme barat, China tak bergeming mengubah haluan politiknya. Sistem ekonomi China memang sedikit bertransformasi, tapi kendali Partai Komunis China (PKC) dalam aktivitas ekonomi dan politik, tetap besar. Dan kini, China muncul sebagai penantang paling potensial atas nilai dan hegemoni dunia yang bertahun-tahun dipegang oleh AS itu.

‎Kebangkitan China telah melahirkan fobia internal AS karena disinyalir membawa aspirasi baru. China dituduh berniat menggantikan tatanan lama dengan tatanan yang sesuai dengan corak karakternya.

Ketakutan tersebut memang tampak wajar. Secara ideologi politik, China tetap bertahan mengadopsi komunisme, ideologi yang menjadi musuh utama AS di era Perang Dingin. Kebebasan sipil ala AS dan sistem multi-partai yang biasa hadir dalam ruang demokrasi-liberal tidak sedikit pun menggoyahkan prinsip bernegara China. China tetap teguh memegang nilai-nilai politik yang diyakininya.

‎Kebangkitan China karenanya dipandang berbahaya lantaran secara tidak langsung memberikan stimulus terhadap masyarakat internasional bahwa untuk menjadi negara maju, sebuah negara tidak mesti mengamalkan nilai-nilai kebebasan ala libertarian (baik secara politik maupun ekonomi).

Dengan tetap menjadi negara otoritarian sekali pun, buktinya, China tetap berhasil menjadi negara maju dan sukses menerobos anomali resep modernisasi meski lewat implementasi pemerintahan partai tunggal itu. Kira-kira seperti itulah pesan tersirat yang ditangkap AS lewat kebangkitan China. Sistem yang diadopsi tidak menentukan derajat miskin-kaya sebuah negara di kancah global.

‎Dilema antara Balancing dan Peluang Ekonomi
‎Jika dicermati dengan seksama, status China saat ini memang bertolak belakang dengan kondisi China di bawah Mao yang miskin dan sengsara. China, kini, benar-benar telah berubah menjadi raksasa ekonomi baru.

Makanya, strategi penyeimbangan terhadap kekuatan China oleh AS belakangan ini dianggap sebagai kondisi wajar. Sebab, tidak ada satu pun negara besar yang merasa senang bila posisinya diusik oleh bangkitnya satu kekuatan baru.

‎Di samping itu, sebagai kekuatan hegemon satu-satunya, AS juga merasa khawatir jika China mampu berubah menjadi pesaing yang setara di Asia. Jika kebangkitan China tidak dihentikan, bukan hanya posisi hegemonik AS yang terancam, tatanan global yang sudah dirancang sedemikian rupa olehnya juga berpotensi bubar oleh institusi baru yang China inisiasi.

‎Saat ini, China terbukti giat membentuk dan ikut berkecimpung dalam berbagai institusi multilateral yang sesuai dengan aspirasinya. Beberapa di antaranya tampak seperti BRICS, AIIB (Asian Infrastructure Investment Bank), dan SCO (Shanghai Cooperation Organisation).

BRICS merupakan blok ekonomi-politik, yang mayoritas diisi negara-negara selatan di samping Rusia. Negara-negara tersebut kini muncul sebagai kekuatan ekonomi baru. Sebut saja Brazil, India, China, dan Afrika Selatan.

Sementara AIIB merupakan bank bentukan China yang fokus pada pembiayaan infrastruktur di Asia. Bank ini bisa dibilang merupakan anti-tesa dari bank yang berorientasi barat seperti ADB, WB, IMF.

Adapun SCO merupakan pakta kerja sama keamanan antara China dan negara-negara Asia Tengah serta Rusia. Kini, keanggotaan SCO semakin meluas mencakup negara-negara lainnya di luar kawasan Asia Tengah, seperti India, Pakistan, dan Iran.

Belum lagi, saat ini, China pun aktif memainkan perannya dalam berbagai inisiasi proyek infrastruktur berskala internasional. Hal ini seperti tercermin dalam program Belt Road Initiative (BRI).

Semuanya tidak lain menjadi bukti awal bahwa China mulai menunjukkan taringnya sebagai hegemon baru di Asia.

‎Sikap AS atas Kebangkitan China
‎‎Gagasan pentingnya menghambat kebangkitan China bersumber dari logika realisme politik. Tesis realis menggemakan gagasan bahwa kekuatan baru cenderung akan menciptakan tatanan yang hanya akan melayani kepentingannya dan merusak status quo. Kemungkinan inilah yang hegemon lama seperti AS takuti.

Hingga kini, AS terus mencoba mengumpulkan sekutunya dan negara yang memiliki satu pandangan dengannya, untuk bersama-sama menghentikan, atau paling tidak memperlambat, laju pertumbuhan China.

Sebab, semakin China berkembang secara ekonomi, semakin luar biasa kekuatan militer yang mereka miliki. Sehingga tak ada cara lain bagi AS selain melakukan balancing (penyeimbangan) melalui beragam cara untuk menghentikan kebangkitan tersebut.

Pertama, AS berupaya melalukan pembatasan ekonomi lewat hambatan tarif seperti yang belakangan ini dilancarkan Trump. Kedua, lewat pembentukan berbagai aliansi strategis di kawasan Indo-Pasifik seperi Quad dan AUKUS.

Serta ketiga, melalui propaganda negatif atas berbagai inisiasi yang dicanangkan China. Salah satunya kampanye negatif soal program BRI dan mekanisme kerja AIIB.

Banyak program bantuan dan pinjaman China dalam BRI yang dianggap sebagai 'jebakan utang' oleh barat. Selain itu, operasionalisasi AIIB juga sering dianggap 'jauh dan minus transparansi'. Semua propaganda tersebut ditujukan agar negara-negara sekutu dan negara-negara berkembang tidak tergiur untuk masuk dalam orbit pengaruh China.

‎Haruskah Indonesia Masuk Koalisi Ekonomi China?
‎‎Haruskah Indonesia menerima mentah-mentah saran realis soal penyeimbangan terhadap kebangkitan China itu?

Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, baiknya kita mempertimbangkan posisi Indonesia dalam struktur politik global. Sebagai negara yang baru berkembang, potensi Indonesia untuk meraup untung sebesar-besarnya dari kebangkitan China amat signifikan. Bukan saja karena keuntungan geografis yang dekat, namun juga secara historis, kontak perdagangan antar kedua negara sudah terjalin lama.

Belum lagi, peranakan Tionghoa yang kini menetap menjadi warga negara Indonesia sangat besar jumlahnya. Artinya, Indonesia semestinya dapat memanfaatkan momentum kebangkitan China dengan sebaik-baiknya agar kemajuan yang China rasakan juga bisa bermanfaat bagi pembangunan ekonomi di Indonesia.

Indonesia dapat memanfaatkan hubungan bilateral kedua negara yang kini terwujud dalam kemitraan strategis komperehensif menjadi ragam proyek pembangunan yang lebih konkret. Tidak sekedar wacana yang mengawang-awang tanpa realisasi di lapangan.

Indonesia harus mampu memoles wajahnya dan menunjukkan raut kesungguhannya agar bisa menjadi kawasan primadona bagi para investor-investor China. Melakukan balancing terhadap China bukan langkah taktis. Apalagi jika langkah balancing yang dilakukan adalah dengan menjadi mitra aliansi barat.

Jangan sampai kebangkitan China selalu dipandang dalam kaca mata realis tanpa dasar. Propaganda-propaganda yang menyudutkan, yang memandang China sebagai calon raksasa yang berbahaya dan pencari kekuasaan hegemonik di kawasan harus disaring sebelum benar-benar diejewantahkan dalam bentuk kebijakan yang bermusuhan. Lebih baik Indonesia bandwagoning (berkoalisi) secara ekonomi dengan China namun tetap netral secara militer.

Satu-satunya langkah balancing paling rasional untuk menghadapi ketidakpastian kebangkitan China di masa depan adalah melalui penguatan kekuatan militer internal dibanding memilih beraliansi dengan pihak lain yang menonjolkan rasa permusuhan. Dan maksimalisasi kekuatan militer secara internal hanya akan terwujud jika Indonesia mampu bertransformasi menjadi kekuatan ekonomi maju.

Sementara untuk bertransformasi menjadi negara ekonomi maju, salah satunya, Indonesia justru bisa meniru kesuksesan China itu sendiri (Nurcholis, 2025). Indonesia mesti belajar metode kebangkitan ekonomi China yang merangkak naik perlahan tapi pasti.

Proses transformasi China yang dimulai dari langkah berani Deng Xiaoping melakukan strukturisasi ekonomi memang telah menghasilkan hasil nyata yang bisa ditiru. Tentu, strukturisasi ekonomi Deng Xiaoping juga melibatkan kedisiplinan dan komitmen teguh pemerintah China terhadap penegakan hukum internal negara.

Komitmen Indonesia terhadap kemajuan ekonomi dalam negeri juga bisa dimulai dengan hal sederhana seperti itu. Misalnya seperti keseriusan awal pemerintah untuk memberantas korupsi lewat pengesahan RUU Perampasan Aset (Nurcholis, 2025). Korupsi menjadi penghalang struktural paling urgen yang wajib cepat dibenahi. Selain itu, pemerintah juga mesti memastikan iklim investasi yang kondusif lewat pemberantasan premanisme.

Dua kondisi itu adalah gambaran faktual paling penting untuk segera diselesaikan. Investor butuh kepastian dan kenyamanan dalam menjalankan usaha.


(miq/miq)

Read Entire Article
Kepri Bersatu| | | |